Perempuan Dalam Masyarakat Islam (3)


Perempuan dan Jihad Peperangan
Jihad (berperang melawan musuh Islam) adalah wajib bagi setiap lelaki muslim yang berakal, baligh, tidak memiliki cacat fisik, serta memiliki persiapan materi untuk bekal hidupnya dan keluarga yang ditinggalkan, sehingga ia leluasa berjihad. Sedangkan untuk perempuan, Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Adakah kewajiban jihad bagi wanita, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jihad yang tidak ada pertempurannya adalah haji dan umrah.” Dalam riwayat yang lain, “Tetapi jihad yang paling afdhal bagi kalian adalah haji mabrur.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Ummu Salamah pernah memprotes Rasulullah terkait dengan masalah ini. “Wahai Rasulullah, orang laki-laki pergi berperang, sedang kami tidak, kemudian kami pun hanya memperoleh setengah bagian dalam warisan.”
Maka Allah pun menurunkan ayat, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian atas kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. an-Nisa’: 32).
Akan tetapi, jika para perempuan ingin membantu para lelaki untuk berjihad, maka diperbolehkan. Anas berkata, “Aku melihat Aisyah dan Ummu Sulaim dalam keadaan sibuk. Kulihat perhiasan betis keduanya ketika mereka mengangkut air dari wadah. Kemudian wadah itu kosong  diteguk oleh pasukan yang haus. Kemudian mereka mengisi lagi, wadah pun segera kosong kembali…” (HR. Bukhari).
Anas juga berkata, “Rasulullah berperang dengan mengikutsertakan Ummu Sulaim dan sejumlah wanita Anshar. Mereka membawa air dan mengobati anggota pasukan yang terluka.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Jadi, perempuan memang tidak wajib berjihad, akan tetapi ia boleh membantu pasukan yang berperang seperti aktif di dapur umum, mengobati orang sakit—dan dalam beberapa riwayat disebutkan, boleh ikut berperang jika ia memang memiliki kemampuan berperang, seperti memainkan pedang, memanah (saat ini mungkin menembak) atau bela diri.
Perempuan, Karir dan Kepemimpinan
Tak ada satu pun nash yang melarang perempuan untuk meniti karir yang tepat untuknya. Bahkan, seperti dituliskan oleh DR. Muhammad Baltaji, beberapa nash menunjukkan bahwa lelaki dan perempuan harus saling tolong menolong dalam rangka mewujudkan kemashlahatan umum.
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” (QS. at-Taubah: 71). Demikian juga dalam hadits Rasulullah, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain laksana bangunan yang saling menguatkan satu bagian dengan yang lainnya.” Ketika seorang wanita meniti karir—di mana karir tersebut adalah sebuah pekerjaan yang ikut menyumbang kemashlahatan umat—tentunya ia menjadi bagian dari bangunan Islam itu.
Demikian juga, tak ada larangan bagi seorang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin di sebuah organisasi atau perusahaan. Hadits yang menyebutkan, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan” adalah hadits riwayat Bukhari yang terdapat dalam bab tentang peperangan. Nabi mendengar bahwa penduduk Persia—yang sangat memusuhi Islam—mengangkat anak perempuan Kisra menjadi ratu. Jadi, hadits tersebut adalah untuk masalah kepemimpinan puncak suatu negara. Para ulama bersepakat, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pimpinan tertinggi suatu negara atau kekhalifahan, akan tetapi boleh menjadi yang selain itu.
Menurut DR. Mustafa as-Siba’i, perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin bagi anak-anaknya, orang-orang yang terbelakang kapabilitasnya, mewakili organisasi kemasyarakatan, termasuk memimpin karyawan-karyawan di sebuah perusahaan, asal ia berkompeten. Perempuan juga boleh menjadi wakil masyarakat di parlemen, khususnya jika ia mewakili kaum wanita.
Hanya saja, perlu diperhatikan, bahwa wanita boleh bekerja dengan catatan:
·         Tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu
·         Mendapatkan izin dari suami
·         Tidak bekerja di tempat yang lelaki dan perempuan saling berbaur
·         Tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang merusak kepribadian muslimah

Posting Komentar untuk "Perempuan Dalam Masyarakat Islam (3)"