Oh Anak-Anak Malang Itu ... (Fenomena Anak Jalanan di Indonesia)


Pagi ini, seperti biasa, usai menyelesaikan berbagai urusan di rumah, saya berangkat ke kantor. Naik bus, yang berarti harus berjalan sekitar 400 meter dari rumah, dan harus menyeberang rel kereta api jurusan Semarang-Solo. Nantinya, saya harus melewati pula bangunan-bangunan pabrik dan gudang-gudang raksasa yang selalu dipenuhi dengan truk-truk tronton yang membongkar muatan di sana.

Nah, di tepi jalan kereta api, menempel dengan tembok pagar sebuah pabrik kayu, berderet-deret petak rumah liar. Ukurannya bahkan lebih kecil dari kamar tidur anak-anakku di rumah. Di sana, nyaris setiap pagi saya dapati anak-anak yang semestinya sudah duduk di bangku sekolah—khususnya TK, berlarian dengan bebas. Mereka tidak sekolah. Mungkin orang tuanya menganggap bahwa TK itu tidak penting, karena ada pengeluaran-pengeluaran yang jauh lebih penting di tengah mepetnya pemasukan mereka sehari-hari. Padahal, masa-masa golden age—seperti yang kita tahu—adalah masa-masa pembentukan karakter mereka.

Simaklah salah satu perbincangan saya dengan dua orang anak yang saya temui pagi ini. Satu laki-laki, usianya saya tebak sekitar 5 tahun. Satunya perempuan, usianya kira-kira 4 tahun. Percakapan, tentu saja terjadi dalam bahasa jawa ngoko. Tetapi karena Anda semua, saya yakin tak semua Jawa, saya terjemahkan saja ya?

“Kok kalian tidak sekolah?” tanyaku.
“Belum sekolah, Bu!”
“Siapa namamu?”
“Supriyanto!” jawab si anak laki-laki. Saya membatin, kok mirip nama suami saya, Ahmad Supriyanto.
“Kamu?”
“Rahayu, Bu!”
Tiba-tiba Supriyanto menatapku. “Bu, aku minta uang dong! Buat beli layangan.” Ujarnya sambil menunjukkan seuntai benang layang-layang yang tampaknya barusan ia temukan di tumpukan sampah. “Ayo bu, aku minta uang!”
Saya menggeleng. “Huzz, nggak boleh meminta-minta uang sama orang!”
Si Rahayu menyeletuk. “He-eh, betul, tidak boleh!”
Aku tersenyum pada mereka. “Bilang sama orang tua kalian ya, minta didaftarkan ke sekolah, biar jadi anak pintar.”
"Tapi, orang tuaku miskin, nggak bisa bayarin uang sekolah."
"Lagipula, sekolah nggak enak. Enak ngamen, bisa dapat uang."

Sayang saya tak bisa berlama-lama menemani mereka, karena harus segera sampai ke kantor. Tetapi, di sepanjang perjalanan, saya merenung. Tahun 2003, saya dan teman-teman mendirikan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja. Salah satu misinya adalah membantu mengentaskan anak-anak pinggiran yang termarginalkan baik secara ekonomi, sosial maupun politik.

Saya merasakan sendiri, melakukan proses pembinaan ternyata juga tak mudah. Ada anak yang dibina sejak kecil, setelah remaja dan menikah, tetap memilih menjadi pengamen. Dan juga memiliki anak yang menjadi pengamen pula. Seakan-akan mereka memang "dikutuk" untuk turun temurun menjadi pengamen. Meski sudah diberi modal dan kesempatan berdagang, tetapi mereka akhirnya kembali ke jalanan. "Sulit sih, berdagang. Mending ngamen."

Setelah terlibat langsung dalam pembinaan mereka, akhirnya saya menyimpulkan, bahwa upaya mengentaskan anak-anak malang ini, mestinya memang menggunakan sebuah upaya sistematis, yang tentu membutuhkan banyak dana, SDM yang siap sedia, dan fasilitas memadai. Hal itu sulit dipenuhi oleh sebuah LSM yang digerakkan oleh relawan, dengan dana ngepres.

Sebenarnya konstitusi kita sudah memberikan jaminan, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar, semua dipelihara negara. Pada praktiknya, mereka masih saya berkeliaran di mana-mana. Berdasarkan Data Pusdatin Kemensos, 2012, jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 135.983. Jawa Tengah menyumbang angka sejumlah 5.311 anak. Memang lebih sedikit dibandingkan dengan Jawa Barat (11.452), DKI Jakarta (6.500) dan Jawa Timur (5.324). Tetapi, angka ribuan tetaplah suatu jumlah yang memprihatinkan.

Anak-anak ini, sama halnya dengan anak-anak normal, membutuhkan lingkungan sehat, pendidikan yang cukup, bimbingan mental-spiritual, juga harus didampingi untuk bisa mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Sebab, banyak pula di antara mereka yang merupakan warga "liar" alias tidak terdaftar resmi dan orangtuanya pun tidak memiliki KTP.

Sekali lagi, butuh upaya sistematis yang berkelanjutan, agar mereka tidak terus menerus menjadi warga negara kelas dua. Barangkali, memang tak hanya LSM dan pemerintah semata, tetapi, masyarakat luas juga harus ikut berpartisipasi mengentaskan mereka dari keterpurukan.

Anda punya usulan?

2 komentar untuk "Oh Anak-Anak Malang Itu ... (Fenomena Anak Jalanan di Indonesia)"

Comment Author Avatar
risca say : di jogja saya jg melihat banyak anak berkeliaran di per4an jalan mbak. mereka meminta2,, pdhl saat itu jam sekolah. dipojokan jln tampak bbrp ibu sedang mengawasi anak2 itu sambil ngobrol. miris sekali. knp para ibu itu sampai tega mengeksploitasi anakny??
Comment Author Avatar
Iya, memang dilematis, Risca ... pastinya butuh penanganan tegas dari semua pihak yang berwenang, khususnya aparat pemerintah. Karena anak-anak itu adalah penerus kita. Jika masa kecilnya semacam itu, hendak jadi apa mereka kelak? Mungkin hanya akan menambah panjang daftar para kriminal... na'udzubillah...

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!