Karena Kartini Menulis


Afifah Afra (Yeni Mulati)
(Sebuah Refleksi Hari Kartini)

Dalam sebuah dialog sastra yang menghadirkan narasumber Helvy Tiana Rosa (HTR, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta, pendiri Forum Lingkar Pena), kira-kira 3 tahun silam di T.B. Gramedia Jl. Slamet Riyadi Surakarta, tercetus sebuah statemen yang menghentak. “Mengapa Kartini lebih terkenal dari Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Ratu Shima atau lainnya? Padahal dari segi pengorbanan, barangkali para perempuan Aceh itu lebih dahsyat. Mereka keluar masuk hutan, mengokang senjata, berdarah-darah... sementara apa yang telah dilakukan Kartini?”
Tentu bukan karena HTR memiliki darah Aceh, sehingga ia merasa perlu menggugat ‘heroisme’ RA Kartini yang menurut dia tak semenukik aroma kepahlawanan para pejuang perempuan dari bumi Aceh itu. Justru dari jawaban HTR, memperlihatkan bahwa ada sebuah pengakuan eksistensi RA Kartini dari berbagai kalangan—dalam hal ini adalah Meneer Abendanon yang telah mempopulerkan pemikiran sang puteri Jepara itu—yang membuat RA Kartini dipandang lebih unggul dari yang lain.
“Karena Kartini menulis,” begitu wacana HTR. “Ia menulis surat-surat yang berisi gejolak, pemikiran serta visinya tentang emansipasi perempuan. Lantas surat-surat itu dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Kita perlu diam tertunduk dan merenungi wacana dari HTR tersebut. Menurut Abraham Maslow, tingkat kebutuhan tertinggi dari seorang manusia adalah eksistensi diri. Kebutuhan untuk diakui. Jika seseorang berhasil memuaskan kebutuhan akan eksistensi diri ini, maka dia dianggap memiliki kadar kemanusiaan yang tertinggi. Menulis, adalah sarana pengekspresian ide. Ide bukanlah produk kosong. Ia merupakan hasil analisis dari informasi yang masuk dalam korteks otak kita.
Manusia, dilengkapi dengan berbagai organ penerima respon dari luar. Kita menamakan organ-organ tersebut dengan indera. Ada 5 indera dengan fungsi masing-masing. Respon yang ditangkap oleh indera, akan dibawa sel syaraf menuju korteks otak. Di korteks otak sendiri—sebagai bank memori—akan terjadi proses analisis yang sangat mempengaruhi bentuk reaksi kita akan respon tersebut. Semakin banyak memori yang tersimpan di dalam otak—yang menandakan tingkat pembelajaran yang tinggi—maka proses analisis akan semakin berkualitas, dan reaksi yang muncul pun akan semakin mendekati ketepatan.
Sebagai contoh, seorang yang memiliki pengetahuan tentang perawatan bayi, dalam korteks otaknyanya tersimpan berbagai informasi tentang perawatan bayi. Maka ketika suatu hari mendadak bayinya menangis keras-keras, ia akan dengan mudah mendeteksi, misalnya bayinya sakit perut, sehingga perlu ditidurkan tengkurap dan diolesi minyak telon. Hal tersebut bisajadi berbeda dengan orang yang dalam korteksnya tidak tersimpan informasi semacam itu.
Bagaimana menilai seseorang memiliki informasi yang mendalam, adalah dilihat dari produk ekspresi ide mereka. Dan menulis, adalah ekspresi ide yang paling cerdas, sistematis, efesien dan awet. RA Kartini telah memilih pengekspresian idenya dengan sangat tepat, sehingga meskipun ia telah tiada, warisan ide-ide tersebut masih tetap berdenging. Karena menulis, maka ide-ide R.A. Kartini terbaca oleh publik, dan oleh karenanya pula, R.A. Kartini diakui eksistensinya sebagai ideolog dalam masalah emansipasi wanita—khususnya di tanah Jawa. Jika kita melihat sejarah, memang banyak para ideolog yang menjadikan buku tulisan mereka sebagai propaganda. Bagi kaum Nazi, Mein Kampf tulisan Adolf Hitler merupakan ‘kitab suci’ mereka. Demikian pula, Tan Malaka dengan buku ‘Madilog'. Begitu banyak ulama besar di Timur Tengah, namun umumnya kita lebih mengenal Sayyid Sabiq, Yusuf Qardhawi, Sayyid Qutb dan sebagainya dikarenakan tulisan-tulisan mereka.
RA Kartini memilih menulis sebagai sarana mengekspresikan ide-idenya. Sebuah pencapaian dalam bidang intelektualitas di tengah keterbatasan sarana dan prasarana yang ada saat itu. Bagaimana dengan para perempuan masa kini? Tentu bukan tanpa alasan jika pemerintah menetapkan tanggal kelahiran RA Kartini sebagai hari Kartini. Salah satunya barangkali, adalah agar para perempuan Indonesia mampu mengambil semangat belajar RA Kartini, semangat yang bermuara pada emansipasi antara kaum lelaki dengan perempuan. Maka, jika peringatan hari kartini justru didominasi dengan sekedar lomba puteri-puterian, berkebaya, lomba merias tumpeng dan sebagainya, tentu ada yang tidak match dengan apa yang menjadi pemikiran RA Kartini itu sendiri. Penggalian intelektualitas kaum perempuan, seperti lomba menulis, pidato, diskusi dan sebagainya tentu akan lebih bermanfaat. 
* PERNAH DIMUAT DI SOLOPOS

3 komentar untuk "Karena Kartini Menulis"

Comment Author Avatar
Makasih mbak atas pencerahannya, keep writing ..^^
Comment Author Avatar
@ Fahrie Sadah : Syukron, Fahrie ... doakan semoga istiqomah

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!