Pingkan Rahma, Supergirl dari Perth
Judul: Serial Pingkan 1, Sehangat Mentari Musim Semi
Penerbit: Pingkan Publishing
Penulis: Muthmainnah
Harga: Rp 32.000
Di sela-sela mengedit salah satu buku terbaru, daripada bete, bikin revieuw ah... kali ini saya mencoba membikin coretan tentang salah satu buku yang paling 'bersejarah' dalam hidup saya. Yup, Serial Pingkan. Khususnya Pingkan 1: Sehangat Mentari Musim Semi. Buku ini pernah terbit pada akhir tahun 1998-an oleh Penerbit Syaamil... dan direpublish oleh Pingkan Publishing bekerjasama dengan Majalah Gizone pada 2010. Jangan khawatir, kelanjutan Pingkan 1 juga ada lho... judulnya Seperti Daisy di Musim Semi. Tetapi nanti aja deh, kita bahas buku kedua itu ya?!
Buku ini berkisah tentang Pingkan Rahma, gadis padang yang lincah, cerdas, tomboy dan humoris. Ia kuliah di Perth, Australia. Jurusannya fisika, IPK-nya 3,7! (anak MIPA fisika boleh protes tuh, hehe).
Dalam perjalanan hidupnya, ia sempat menjajal beberapa profesi, mulai dari tukang cuci piring di kafe, foto model... dan akhirnya jadi millionaire. Dengan kebeningannya, ia menyelusup masuk ke dalam hati orang-orang di sekitarnya. Nenek Lauren, Daphne, Stef, Diana, Reni, Uda Tom, Beth... satu persatu masuk Islam. Tak sekadar menjadi muslim, tetapi juga aktivis muslim. Hebat ya?
Agak aneh sebenarnya, saya yang sebenarnya lebih menggemari buku-buku yang berbau filsafat, sosial-politik, novel serius yang bikin kening berkerut, naskah teather tulisan Shakespeare seperti Hamlet, Raja Lear dll. 'tiba-tiba' membaca Serial Pingkan. Ceritanya begini... Saat itu, kakak kelas saya, Mbak Niken dan Mbak Rahma, membawa majalah Annida. Serial Pingkan dimuat secara bersambung di majalah itu. Mereka berdua, dedengkot rohis di fakultas MIPA Undip, ternyata penggemar berat Pingkan.
"Hayo baca, Dik!" promo mereka, semangat. Saking semangatnya sampai-sampai saya berpikir, jangan-jangan mereka udah disogok sama penulisnya, hihi...
Jadi, saya pertama kali membaca Pingkan karena rasa sungkan dengan dua kakak kelas yang hebat-hebat itu. Mungkin mereka 'ngeri' dengan performance saya yang memang cool, pendiam dan agak galak (saat itu, hehe). Saya disuruh baca Pingkan agar bisa lebih humoris, lebih lembut, feminim (padahal aslinya saya lebih feminim dari Pingkan loh... saya jago masak, Pingkan enggak kek kek).
Saya pun, dengan agak malas membuka dan membaca-baca majalah yang formatnya sangat sederhana itu. Eh, ternyata keterusan. Dan ketagihan. Maka, setiap majalah Annida terbit, saya langsung memburunya. Pas dibukukan, saya nggak mau kalah. Jadi kecanduan Pingkan. Di sela-sela jadwal praktikum yang menumpuk (klo ada teman-teman yang kuliah di jurusan biologi, ngerasa deh betapa beratnya 4 semester pertama), saya membaca Pingkan. Tak terasa, ada beberapa karakter yang dibentuk oleh akhwat imajiner itu. (Namun, jujur, saya nggak sempat ngebayangin, seperti apa sih sosok authornya).
Bisa dikatakan, karakter yang melekat pada Pingkan, sebagian menjabarkan sebuah alternatif AKU IDEAL, maklum, saat itu kan saya baru keluar dari masa remaja, masih 18-19 tahun. Kata George Stanley Hall, ini masa-masa pencarian jati diri, gitu...
Secara penyajian, sebenarnya Pingkan tak sedahsyat buku-buku HTR (saya juga ngefans sama HTR). Namun, saya merasa buku ini ditulis dengan bahasa hati. Kata Abbas as-Sisy, sesuatu yang keluar dari hati, akan ditangkap oleh hati. Ini membuat saya berpikir, mungkin saat menulis Pingkan, ghirah Mbak Muthmainnah (selanjutnya saya memanggilnya Kak Imun), sedang memuncak setinggi mount everest.
Ini suatu hal yang penting saya kira. Karena, menyitir ucapan Pram, "Penulis itu pasukan avant garde (garda terdepan), ia bukan penghibur, tetapi ia yang terdepan dalam melawan kejahatan melalui tulisan-tulisannya."
Pingkan sedang menyajikan sebuah alternatif bagi remaja, alternatif yang sebenarnya justru yang utama. Kesempurnaan Pingkan, yang bagi pembaca lain dianggap sebagai kelemahan, bagi saya justru kelebihan. Sasaran pembaca Pingkan adalah remaja, remaja biasanya nggak mengenal wilayah abu-abu. Kalau nggak hitam, ya putih.
Sayangnya, Pingkan-sentris yang ditawarkan oleh Kak Imun, membuat tokoh-tokoh lain kurang hidup. Maka, tawaran AKU IDEAL dari Kak Imun hanya terwakili oleh sosok Pingkan yang bertipikal sanguinis-koleris. Padahal, kepribadian itu kan beda satu orang dengan lainnya. Takutnya, jadi ada penyeragaman karakter antara satu orang dengan lainnya. Kan barabe!
Untuk sebuah novel remaja, saya kasih bintang empat deh!
Eh, ternyata saya ditakdirkan bertemu dengan penulisnya, 10 tahun kemudian. Apakah beliau mirip Pingkan? kenalan aja sendiri ^_^
Selamat, karena buku ini akhirnya diterbitkan kembali, dengan kemasan yang lebih menarik, dan bahkan kemudian dilanjutkan lagi, sehingga terbitlah Pingkan 2: Seperti Daisy di Musim Semi.
Dalam perjalanan hidupnya, ia sempat menjajal beberapa profesi, mulai dari tukang cuci piring di kafe, foto model... dan akhirnya jadi millionaire. Dengan kebeningannya, ia menyelusup masuk ke dalam hati orang-orang di sekitarnya. Nenek Lauren, Daphne, Stef, Diana, Reni, Uda Tom, Beth... satu persatu masuk Islam. Tak sekadar menjadi muslim, tetapi juga aktivis muslim. Hebat ya?
Agak aneh sebenarnya, saya yang sebenarnya lebih menggemari buku-buku yang berbau filsafat, sosial-politik, novel serius yang bikin kening berkerut, naskah teather tulisan Shakespeare seperti Hamlet, Raja Lear dll. 'tiba-tiba' membaca Serial Pingkan. Ceritanya begini... Saat itu, kakak kelas saya, Mbak Niken dan Mbak Rahma, membawa majalah Annida. Serial Pingkan dimuat secara bersambung di majalah itu. Mereka berdua, dedengkot rohis di fakultas MIPA Undip, ternyata penggemar berat Pingkan.
"Hayo baca, Dik!" promo mereka, semangat. Saking semangatnya sampai-sampai saya berpikir, jangan-jangan mereka udah disogok sama penulisnya, hihi...
Jadi, saya pertama kali membaca Pingkan karena rasa sungkan dengan dua kakak kelas yang hebat-hebat itu. Mungkin mereka 'ngeri' dengan performance saya yang memang cool, pendiam dan agak galak (saat itu, hehe). Saya disuruh baca Pingkan agar bisa lebih humoris, lebih lembut, feminim (padahal aslinya saya lebih feminim dari Pingkan loh... saya jago masak, Pingkan enggak kek kek).
Saya pun, dengan agak malas membuka dan membaca-baca majalah yang formatnya sangat sederhana itu. Eh, ternyata keterusan. Dan ketagihan. Maka, setiap majalah Annida terbit, saya langsung memburunya. Pas dibukukan, saya nggak mau kalah. Jadi kecanduan Pingkan. Di sela-sela jadwal praktikum yang menumpuk (klo ada teman-teman yang kuliah di jurusan biologi, ngerasa deh betapa beratnya 4 semester pertama), saya membaca Pingkan. Tak terasa, ada beberapa karakter yang dibentuk oleh akhwat imajiner itu. (Namun, jujur, saya nggak sempat ngebayangin, seperti apa sih sosok authornya).
Bisa dikatakan, karakter yang melekat pada Pingkan, sebagian menjabarkan sebuah alternatif AKU IDEAL, maklum, saat itu kan saya baru keluar dari masa remaja, masih 18-19 tahun. Kata George Stanley Hall, ini masa-masa pencarian jati diri, gitu...
Secara penyajian, sebenarnya Pingkan tak sedahsyat buku-buku HTR (saya juga ngefans sama HTR). Namun, saya merasa buku ini ditulis dengan bahasa hati. Kata Abbas as-Sisy, sesuatu yang keluar dari hati, akan ditangkap oleh hati. Ini membuat saya berpikir, mungkin saat menulis Pingkan, ghirah Mbak Muthmainnah (selanjutnya saya memanggilnya Kak Imun), sedang memuncak setinggi mount everest.
Ini suatu hal yang penting saya kira. Karena, menyitir ucapan Pram, "Penulis itu pasukan avant garde (garda terdepan), ia bukan penghibur, tetapi ia yang terdepan dalam melawan kejahatan melalui tulisan-tulisannya."
Pingkan sedang menyajikan sebuah alternatif bagi remaja, alternatif yang sebenarnya justru yang utama. Kesempurnaan Pingkan, yang bagi pembaca lain dianggap sebagai kelemahan, bagi saya justru kelebihan. Sasaran pembaca Pingkan adalah remaja, remaja biasanya nggak mengenal wilayah abu-abu. Kalau nggak hitam, ya putih.
Sayangnya, Pingkan-sentris yang ditawarkan oleh Kak Imun, membuat tokoh-tokoh lain kurang hidup. Maka, tawaran AKU IDEAL dari Kak Imun hanya terwakili oleh sosok Pingkan yang bertipikal sanguinis-koleris. Padahal, kepribadian itu kan beda satu orang dengan lainnya. Takutnya, jadi ada penyeragaman karakter antara satu orang dengan lainnya. Kan barabe!
Untuk sebuah novel remaja, saya kasih bintang empat deh!
Eh, ternyata saya ditakdirkan bertemu dengan penulisnya, 10 tahun kemudian. Apakah beliau mirip Pingkan? kenalan aja sendiri ^_^
Selamat, karena buku ini akhirnya diterbitkan kembali, dengan kemasan yang lebih menarik, dan bahkan kemudian dilanjutkan lagi, sehingga terbitlah Pingkan 2: Seperti Daisy di Musim Semi.
Posting Komentar untuk "Pingkan Rahma, Supergirl dari Perth"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!