Menulis: Melahirkan Bayi Rupawan, atau Buang Kotoran?


Menulis itu seperti buang air besar, kata seorang penulis. Jika sudah berhasrat ingin BAB, apapun akan dilakoni. Berlari sekencang sprinter, menggedor-gedor pintu seperti preman, bahkan kalau sudah tak tahan, bisa BAB di sembarang tempat. Kontraksi dalam usus besar seakan tak tertahankan. Tetapi, jika belum berhasrat, dipaksa seperti apapun, BAB tak akan bisa dilakukan. Apa yang membuat kita bisa BAB, katanya, isilah perut dengan makanan. Secara otomatis, pasti dia akan BAB.

Beberapa saat, ‘teori’ itu saya anut. Sampai suatu saat, ketika sedang dalam satu forum bersama mbak Helvy Tiana Rosa, beliau menyampaikan sebuah ‘teori’, bahwa menulis itu, seperti melahirkan. Saya mendapatkan pencerahan.
Anda pernah melahirkan? Saya pernah, tiga kali. Alhamdulillah, semua persalinan spontan, alias normal. Bagaimana rasanya melahirkan? Hampir mirip seperti ingin BAB. Hanya, rasa sakitnya berlipat-lipat lebih tak tertahankan. Tetapi, memang prosesnya nyaris sama. Kalau saat melahirkan telah tiba, tanpa bisa ditahan, janin akan keluar. Begitupun jika saat itu belum tiba. Mau dipaksa seperti apapun, bayi tetap tak akan keluar.
Setelah membandingkan dua teori tersebut, saya cenderung memilih yang kedua. Menulis, adalah proses melahirkan seorang ‘bayi rupawan.’ Nyaris semua kelahiran itu disambut dengan kebahagiaan. Kecuali mungkin, bayi yang dilahirkan oleh orang tua yang tidak bertanggungjawab. Daripada menjadi aib, bayi itu akan dibuang di tempat sampah. Namun, sebiadab apapun orangtuanya, bayi itu tetaplah suci. Bayi itu simbol kefitrahan, karena kata Rasulullah, semua bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Demikian pula, nyaris tak ada orang yang tak ingin mendekap bayi itu dengan penuh kasih sayang. Mencium pipinya yang lembut, membelai rambutnya, atau minimal menepuk pantatnya. Pendek kata, kelahiran seorang bayi adalah simbol keberlanjutan sebuah generasi.
Bagaimana dengan mengeluarkan kotoran? Saya kira hampir semua orang merasa jijik melihat kotoran. Meskipun kotoran itu juga bisa menyuburkan tanaman, akan tetapi, bahkan si petani pemanfaat kotoran itu pun akan tutup hidung saat memindahkan kotoran itu ke kebunnya. Ia mungkin akan menggali lubang di samping tanaman yang hendak dipupuknya, dan menutup lubang itu rapat-rapat dengan tanah kembali.
Sayangnya, kotoran-kotoran hasil ‘BAB’ para penulis, justru begitu banyak bertebaran di toko-toko buku, bahkan toko buku kenamaan yang mentereng, dan full AC. Mengapa tak ada yang merasa jijik? Ya, karena kotoran itu dibungkus dalam diksi yang indah. Dalam alur yang konon hasil dari sebuah inovasi baru. Serta dibumbui dengan endorsment-endorsment dari para penulis terkemuka, yang lebih dahulu sukses menjual ‘kotoran’ mereka.
Para penggila buku pun ikutan latah. Karena ‘kotoran terbungkus’ itu terkemas begitu indah, nama penulisnya juga kondang, mereka pun berani mengeluarkan lembar-lembar duit biru atau merahnya. Kemudian, secara latah pula, mereka menuliskan reviewnya di situs-situs jejaring sosial mereka, yang berarti menjadi semacam promosi gratis paling efektif bagi penerbitnya.
Sebagai penulis yang ‘berusaha idealis’, saya tak ingin membuang kotoran saya ke penerbit, dan menjadikannya sebagai komoditas, meskipun mungkin laris-manis. Meskipun saya belum sehebat para senior, jika kemudian ada penerbit ‘melamar’ saya untuk memberikan ‘kotoran’ saya kepada mereka, pasti saya tolak mentah-mentah.
Saya ingin menjadikan tulisan saya sebagai bayi yang rupawan. Tentu saya akan mengandungnya dengan penuh kasih sayang, dengan waktu yang cukup. Memberinya asupan nutrisi yang baik. Menstimulasinya dengan rangsang-rangsang yang mendidik. Nanti, begitu ia terlahir, orang akan menyambutnya dengan suka-cita.
Sebagai seorang penulis, bukan berarti saya tak pernah ‘buang kotoran.’ Ya, ada kalanya saya melakukan hal itu. Karena, hanya dengan seperti itu, perut saya menjadi lega. Akan tetapi, kotoran adalah kotoran. Begitu ia keluar, saya akan menyiramnya, membuangnya. Paling tidak, menjadikannya sebagai pupuk. Saya tidak akan berbangga hati untuk mengirimkannya ke penerbit. Bahkan, saya bersedia masuk penjara, karena membakar kantor sebuah penerbit, jika ada penerbit yang diam-diam mencuri ‘kotoran’ saya itu untuk diterbitkan.
Maaf sebelumnya, jika tulisan saya ini terkesan ‘menjijikan.’ Yang jelas, saya sedang tidak menyajikan kotoran dalam artikel singkat saya ini, bukan?


8 komentar untuk "Menulis: Melahirkan Bayi Rupawan, atau Buang Kotoran?"

Comment Author Avatar
Assalamualaikum mbak...salam kenal.. terkadang memang beberapa hal membuat penulis kehilangan keidealisannya ya mbak...salut buat mbak Afra yg mempertahankannya.
Comment Author Avatar
@Haya: Wa'alaikumussalam... mari kita saling mendoakan agar bisa istiqomah
Comment Author Avatar
Subhanallah walhamdulillah .....
Senang dengan adanya penulis seperti mbak Afifah
Comment Author Avatar
Terimakasih, Amalia... sudah berkunjung dan memberi support :-)
Comment Author Avatar
Semoga mbak Yeni istiqomah menulis kebaikan, aamiin :)
Comment Author Avatar
Semoga sang pendoa pun demikian adanya, amiin
Comment Author Avatar
Jadi inget perkataan Imam Ali ra. "Semua penulis akan mati, hanya karyanya lah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang dapat membahagiakanmu di akhirat nanti." Begitu kira-kira. Kalau boleh saya sambungkan dengan artikel ini, jadi begini bunyinya, "Semua orangtua yang beranak akan mati. Maka buahkan lah anak yang dapat membahagiakanmu di akhirat nanti."

Semoga mampu terus melahirkan 'bayi rupawan', Mbak :)
Comment Author Avatar
Betul... karya Imam Bukhari, Ibnu Taimiyah dll, sampai sekarang masih hidup, meski beliau-beliau sudah lama wafat.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!