Mubaahalah
(Pernah Dimuat di Harian Republika)
Mereka berhadap-hadapan dalam jarak sekitar satu
meter. Pasangan manik mata masing-masing saling melotot, seakan bola mata yang
seakan hendak keluar itu sudah tak sabar ingin berbenturan. Seakan ingin
menciptakan nuansa seirama dengan pancaran bola mata, dua pasang tangan, dua
pasang kaki, dua buah mulut, dua buah hidung, dua buah kepala, dua buah tubuh
itu ... bergetar. Menegang. Memeras pori-pori sehingga mengucurkan butir-butir
keringat, yang terus menderas sehingga mirip tangan-tangan kekar para koki yang
memeras santan dan memisahkannya dari ampas. Memacu darah lebih kencang,
sehingga paras-paras mereka terlihat lebih merah dari biasanya, karena pembuluh
darah mendekati kulit, memenuhinya. Aku membayangkan, jika saat itu sebilah pisau
digoreskan, mungkin darah akan mengucur lebih deras dari biasanya.
Suasana persaingan mendominasi. Tampak tak hanya
dari dua sosok yang saling berkomat-kamit tegang, namun juga dari masing-masing
pengikut yang duduk di belakang mereka. Para pengikut berbusana seperti para
anutannya. Separuh mengenakan pakaian serbaputih. Jubah putih, sarung putih,
surban putih. Separuh mengenakan pakaian serbahitam. Beskap hitam, sarung
hitam, dan kopiah hitam. Akan tetapi, pakaian tak menggambarkan kekontrasan
pemikiran, karena jika biasanya ilmu putih disimbolkan dengan suasana
serbaputih, dan ilmu hitam dilogokan sesuatu yang serba hitam, maka baik si
hitam maupun si putih saat ini semua mengaku yang paling putih.
”Jangan lihat hitam pakaianku. Lihatlah betapa
putih hatiku. Jika engkau datang kepada orang-orang Jawa dengan pakaian serbaputih
seperti para sunan, maka engkau pasti akan menakutkannya. Engkau akan dikira
hendak menumpahkan kendi-kendi arak mereka, membakar rumah-rumah pelacuran
mereka, membunuh ayam-ayam sabungan mereka atau melempar kartu-kartu judi
mereka ke tempat sampah,” begitu komentar orang-orang berpakaian serbahitam.
”Tak usah munafik, bukankah memang itu yang hendak
kita lakukan atas mereka?” tanya orang-orang yang berpakaian serbaputih. ”Tak
usah menyaru dengan menyamar menjadi mereka. Mengajak orang-orang yang meminum
arak untuk meninggalkan arak, tidak dengan duduk bersama mereka, ikut minum
arak dan setelah sama-sama mabuk, kalian akan berkata, ’Ayo, jangan minum arak.
Ayo, shalat!’ Mereka tentu akan tertawa terbahak-bahak, sesama pemabuk tak usah
berlagak suci.”
”Kau salah!” seru si serbahitam. “Kami berbaur, tetapi tidak lebur. Kami
mengajak mereka dengan duduk bersama mereka, mendekati mereka, berbicara dengan
mereka, lantas mengajak mereka untuk tidak meminum arak, dengan hati, bukan
dengan dalil, dengan ayat, dengan ancaman.”
”Kau yang salah!” si serbaputih tak mau kalah.
”Jikapun kau tersadar dengan tidak ikut minum arak, kau akan terkena percikan
arak. Kau akan bau arak.”
”Terkena percikan arak bukan berarti meminum arak.
Tak ada dosa jika tubuh kita terkena arak.”
”Kau salah, arak itu najis.”
“Kencing anakmu juga najis, bukan berarti kau
tidak menggendongnya dan terkena ompolnya bukan? Kita punya waktu untuk
membersihkan diri.”
”Tetapi, jika kau terbiasa bau arak, ketika kau
datang kepada orang yang tak meminum arak, tak ada yang percaya bahwa kau bukan
peminum arak.”
”Jangan lihat lahirnya, lihat hatinya.”
”Memangnya kami bisa melihat isi hati setiap
manusia?”
Perdebatan itu telah sekian lama bergumpal-gumpal
menyembur dari kedua jenis mulut—mulut si serbaputih dan mulut si serbahitam.
Adapun peristiwa yang terjadi pada hari ini, Jumat kliwon, tanggal 12 Dzulhijah
tahun 1350 hijriah, jam 01.45 siang—begitu waktu yang terpampang di horloge-ku—tampaknya disketsa dari
perbedaan pemahaman itu. Peristiwa yang membuat jantungku berdetak lebih
keras—sangat keras.
Untuk tidak terlibat dalam salah satu golongan,
aku memang sengaja tak memakai baju putih, ataupun baju hitam. Padahal, sejak
bersekolah di ELS—aku memang manusia yang cukup beruntung, karena mampu
menginjakkan kaki di sekolah dasar khusus anak-anak Eropah itu—aku sangat
senang memakai celana hitam dan kemeja putih. Kali ini aku memakai celana dan
baju serbahijau. Bukan untuk menciptakan aliran yang lain—aliran hijau—namun
karena kebetulan hanya itu bajuku yang tak berwarna hitam ataupun putih.
Kanjeng Raden Mas Djarwodiningrat memang telah
mewanti-wantiku dengan sangat. ”Jij
ini seorang juru warta, Tok. Natuurlijk,
jij harus benar-benar tak berpihak. Jij hanya meliput peristiwa itu. Hanya
meliput. Ingat itu!”
”Sedahsyat apa peristiwa itu, sehingga pekabaran
kita harus meliputnya?” protesku pada pimpinan redactie surat kabar kami, Soeara Boemipoetra.
”Kau bodoh!” kali ini Kanjeng Mas Djarwo memakiku.
Tak lagi memakai ’jij’, tetapi ’kau.’
”Bertahun-tahun Soeara Boemipoetra berdiri, dan kita hanya bisa mencetak
pekabaran ini paling-paling tigaribu eksemplar.”
”Jadi, apa hubungan itu semua dengan liputan
ini...?”
”Kiai Darmo dan Kiai Farid sama-sama memiliki pengikut
banyak, ribuan orang jumlahnya.”
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, aku langsung
memaklumi, sekaligus mendengus ngeri. Ternyata, permusuhan dua orang kiai
terpandang itu, dinilai Mas Djarwo sebagai peluang meningkatkan oplag.
Peristiwa yang kuliput saat ini, disebut sebagai mubaahalah.
Aku harus bertanya panjang lebar kepada Parmin, teman sesama juru warta di
Soeara Boemipoetra yang pernah sekolah hingga kelas dua di MULO milik
muhammadiyah.
”Aku sebenarnya tak tega menjelaskan makna mubaahalah, Denmas!” Selain Mas Djarwo,
yang satu kasta denganku—sama-sama Raden Mas, yang memanggilku Antok—memang
semua pegawai di koran inlander itu memanggilku Denmas. ”Bahkan, aku menolak
ketika ditugasi meliput peristiwa itu.”
”Jadi...?” aku mengerutkan kening.
”Betul, Denmas!” Parmin mengangguk, matanya murung.
”Sebelum menugasi panjenengan, Denmas
Djarwo meminta saya... tetapi... ah, saya memilih keluar dari pekerjaan saya
jika tetap dipaksa untuk...”
”Iya... tetapi, mengapa?” aku mendesak, namun Parmin
tak mau menjelaskannya.
Penjelasan itu justru kudapatkan dari seorang
santri—dari golongan serbaputih—yang kutemui tadi, satu jam sebelum shalat
jumat dimulai di masjid ini.
”Mubaahalah itu artinya perang doa.”
”Perang doa?” aku tak mengerti. ”Bagaimana mungkin
doa bisa berperang?”
”Bukan doanya yang berperang, tetapi orang yang
berdoa. Hanya jika orang biasa berperang dengan pedang, ini senjatanya dengan
doa.”
”Aku tidak mengerti.”
”Kau pasti tak pernah datang ke pengajian?” tak
menjawab, si santri malah menuduhku seraya menatap curiga. ”Kau memakai pakaian
seperti orang kafir. Pasti kau anteknya Belanda.”
Aku menyingkir dengan emosi. Apa-apaan si santri
ini. Hanya karena aku tak mengerti arti perkataan mubaahalah, maka ia menuduhku
antek Belanda. Aku pun berjalan ke sisi masjid yang lain. Saat itu, kulihat
seorang santri berpakaian serbahitam duduk termenung.
”Sedang apa, Kisanak?” tanyaku.
Ia menatapku dengan curiga. ”Apa yang Anda
bicarakan dengan orang putihan tadi?”
”Putihan?”
”Orang kolot, yang tak mau membaur itu?”
”Tentang mubaahalah. Baik Kiai Darmo
maupun Kiai Farid sama-sama mengirim permintaan kepada koran kami, agar meliput
acara ini. Tadi saya bertanya, apa itu mubaahalah.”
“Mubaahalah itu... meminta kepada
Allah agar menjatuhkan laknat kepada pihak yang dusta. Nanti siang, selepas
shalat Jumat, Kiai Darmo dan Kiai Farid akan bermubaahalah, berdoa kepada Allah
untuk memberikan laknat kepada mereka yang dusta.”
Aku tertegun. Perseteruan Kiai Darmo dengan Kiai
Farid memang telah lama terdengar. Sebenarnya ini sangat aneh. Saat muda,
mereka berdua seperti anak kembar yang tak hanya memiliki fisik yang mirip,
tetapi juga kedekatan hati. Ketika besar, seusai lulus di mualimin Pesantren
Watoegoenoeng, mereka berpisah. Kiai Darmo tetap di Jawa, menjadi guru di
pesantrennya itu, sedangkan Kiai Farid berhaji ke Mekah, menetap bertahun-tahun
dan kembali ke Jawa setelah sebagian rambutnya memutih.
Ketika awal pertemuan, mereka kembali berdakwah
bersama. Namun lambat laun, mereka memiliki pemikiran yang berbeda. Puncaknya
adalah ketika Kiai Farid menuduh Kiai Darmo bersekutu dengan Belanda. Kiai
Darmo dicalonkan menjadi anggota folksraad.
Kiai Farid marah besar dan menuduh Kiai Darmo terpikat pada kedudukan serta
gaji yang besar.
”Belanda itu kafir. Tak ada dalam sejarah Kanjeng
Nabi Muhammad bersekutu dengan orang kafir. Apalagi, folksraad itu bukan sistem Islam. Itu sistem demokrasi, buatan
orang kafir. Kecipratan arak lebih kecil kerusakannya daripada kecipratan
kotornya kursi parlemen, wahai Kiai Darmo!”
Kiai Darmo tidak mau kalah. ”Prinsipku sejak
dahulu, wahai Kiai Farid, adalah berbaur, tetapi tidak lebur. Bagaimanapun,
kebijakan gubernemen dipengaruhi oleh parlemen, oleh folksraad. Dengan menjadi anggota folksraad, saya punya kesempatan banyak untuk memperbaiki
masyarakat yang sekian lama terjajah.”
”Omong kosong! Tidak mungkin kita membersihkan
lantai dengan sapu yang kotor. Lagipula, keputusan folksraad itu tak akan diperhatikan oleh penjajah negeri ini. Kau
bermimpi jika bisa menjadi pahlawan dari atas empuknya kursi parlemen.”
”Siapa yang omong kosong? Saya berjuang dengan
cara saya sendiri.”
”Cara yang tidak sesuai dengan Kanjeng Nabi.
Dahulu, di masyarakat kafir Quraisy, ada Daarun-Nadwah,
folksraadnya orang-orang Mekah.
Tetapi, apakah Kanjeng Nabi pernah mencoba untuk memasuki Daarun-Nadwah, menjadi anggota parlemen Mekah? Tidak! Karena isi Daarun-Nadwah itu orang-orang kafir!”
suara Kiai Farid melengking.
”Kau salah besar, Kiai!” ujar Kiai
Darmo, tenang. “Kau tentu
ingat tentu hilfu al-fudhul. Orang-orang
Mekah yang kafir bertemu di rumah Abdullah bin Jud’an Al-Taimi. Mereka
bersepakat, jika ada orang Mekah yang dizalimi, maka mereka akan bersama-sama
membelanya. Lalu, ada seseorang yang barangnya dibeli oleh Al-Ash bin Wa’il
Al-Sahmi, tokoh terkemuka di kalangan kaum Quraisy, namun tak dibayar. Maka
orang-orang pun bertemu dan bersama-sama menekan Al-Ash hingga ia mau
membayarkannya. Kanjeng Rasul pun bersabda, ‘Sungguh aku telah menyaksikan
di rumah Abdullah bin Jud’an satu perjanjian seandainya aku diajak melakukannya
dalam Islam tentu aku kabulkan.’? Kau tahu makna pernyataan Rasulullah
tersebut, wahai Kiai Farid? Artinya, Rasulullah sendiri telah siap bekerjasama
dengan orang-orang kafir sekalipun asalkan semua itu untuk menegakkan
kebaikan.”
”Dan kau, merasa telah sehebat Rasulullah karena
sanggup bekerjasama dengan orang kafir tanpa merasa takut mereka mengotori
bajumu?”
”Dan kau, merasa selemah kerbau yang mau begitu
saja dicocok hidungnya sehingga menurut tanpa bisa menggunakan otakmu?”
”Otak? Kaulah yang tak berotak!”
”Kau punya otak, tetapi tak digunakan untuk
bersiasat.”
Perdebatan mereka tak menemukan titik temu.
Masing-masing merasa menjadi yang paling benar. Maka, untuk mencari siapa yang
benar, mereka pun menggelar peristiwa itu: mubaahalah.
Dan aku, diutus oleh majikanku, untuk meliput
acara itu. Karena baik Kiai Darmo maupun Kiai Farid memiliki banyak pengikut. Mubaahalah
pasti akan membuat mereka sangat ingin mencari tahu, mana yang diberi laknat,
mana yang dusta; mana yang selamat dari laknat, mana yang benar.
Dan kini, aku menyaksikan mereka saling
berhadapan, berkomat-kamit, berdoa, sungguh-sungguh, memeras keringat,
memancarkan kebencian. Pancaran wajah mereka menelusupkan sebuah pemahaman
baru, yang membuatku mendadak merasa mengerti, mengapa Parmin lebih memilih
dipecat dari Soeara Boemipoetra daripada meliput peristiwa ini. Dadaku
bergemuruh. Dan entah mengapa, hawa di sekitar masjid itu, terasa tak
mengenakan.
Aku pun segera pergi, tunggang-langgang, mengayuh
kereta anginku, meninggalkan masjid itu. Cukup sudah informasi yang kuperlukan.
Aku tak tahan berlama-lama, melihat kedua kiai itu berhadap-hadapan,
berkomat-kamit, saling memohon laknat.
* * *
Minggu pahing, koran mingguan kami terbit. Berita mubaahalah
itu menempati halaman pertama. Aku baru saja hendak menyeruput kopi panasku
saat Ngatini, rewang di rumahku
berlarian. ”Denmas, tadi di pasar ramai!” ujarnya.
”Kenapa?”
”Laknat sudah turun. Peternakan ayam kampung Kiai
Darmo terbakar. Semua ayam mati. Berarti telah terbukti siapa yang benar dan
siapa yang dusta, Denmas. Memang betul, Kiai Darmo itu hanya ingin mencari
kekuasaan saja. Biar dapat uang banyak, kedudukan mulia, terus mau saja
bekerjasama dengan Belanda.”
Aku urung menyeruput kopi panasku. Tergesa kunaiki
sepeda onthelku, menuju kantor. Sebenarnya aku ingin bertemu Parmin, tetapi
yang kujumpai justru Mas Djarwo.
”Ah, kebetulan sekali kau datang. Suasana semakin
memanas. Sepertinya, tak cukup menunggu minggu depan untuk menerbitkan koran
kita. Baru beberapa jam diedarkan, koran kita sudah terjual lebih dari separuh.
Ini berkah mubaahalah.”
Berkah mubaahalah? Kupingku seperti ditusuk tombak
panas.
”Sekarang jij
datanglah ke peternakan itu. Tanyakan komentar Kiai Darmo!”
”Denmas... Denmas!” tiba-tiba Wardjo, seorang juru
warta Soeara Boemipoetra berlarian. Napasnya terengah-engah.
”Ada apa, Wardjo?” tanya Mas Djarwo.
“Anu... ada kabar menarik. Ternyata bukan Kiai
Darmo yang dusta.”
”Piye?”
”Laknat sudah turun, kepada Kiai Farid. Ia jatuh
dari kereta, kakinya patah.”
Mas Djarwo mengangguk-angguk. Lantas dengan cepat
ia menatapku. ”Antok!”
Aku sudah tahu maksudnya. ”Mas Djarwo...”
”Sekarang kau...”
Aku melengos. ”Tidak, Mas. Mulai hari ini, aku
berhenti bekerja di sini.”
* * *
Jumat Legi, 24 Dzulhijah 1350
Horloge di kemejaku telah menunjukkan pukul 12
malam. Namun kantuk sengaja kusandera dengan kerja keras. Aku menulis sejak dua
hari yang lalu. Aku mengeset sendiri biji-biji huruf membentuk katern. Ada empat katern, artinya empat halaman surat kabar. Kuputuskan, Soeara Noerani,
nama surat kabar milikku, terbit setiap sabtu pagi. Lebih awal dari Soeara
Boemipoetra yang terbit setiap minggu pagi.
Aku menatap mesin cetak yang tengah beroperasi itu
dengan senyum tersungging. Ketika halaman pertama keluar dari mesin, tak sabar
aku menariknya selembar. Ada dua buah berita berdampingan di halaman depan.
”Kiai Farid Dirikan Pesantren Penghafal Qoer’an.” Begitu
judul beritanya. Pesantren itu menurutku cukup menakjubkan. Didinding semen,
beratap genting dan beralas traso. Lebih megah dari gedung ELS tempatku
bersekolah dahulu. Ini jelas suatu hal yang menarik, karena pesantren yang
kuketahui selama ini biasanya begitu sederhana. Beratap rumbia, berdinding gedhek, beralas tanah.
Lantas, berita kedua, judulnya, ”Kiai Darmo Naik
Hadji ke Mekah.” Butuh biaya besar dan jasad yang kuat untuk bisa
berminggu-minggu naik kapal ke tanah suci. Aku meliput sendiri pengajian besar
yang mengawal keberangkatan Kiai Darmo. Ada ribuan jamaah hadir, dan untuk
menjamu para hadirin, mereka menyembelih dua ekor sapi. Di masa malaise seperti
saat ini, mampu mengeluarkan uang sebesar itu menandakan ia dianugerahi rezeki
berlimpah.
Jadi, siapa yang dusta, siapa yang dilaknat? Allah Maha Penerima doa, tetapi Dia
juga Maha Penolak doa. Terutama doa yang tak sekehendak dengan rencana-Nya.
Aku tak peduli jika koranku tak laku. Bahkan
rencananya, aku akan membagi gratis jika orang-orang tak berminat.
Subhanallah, cerpennya menggelegar...
BalasHapusAlhamdulillah... semoga bermanfaat
Hapus2 thunmbs up
BalasHapusTerimakasih, mas
Hapuslumayan bikin puyeng prolognya... tp dilanjut terus jadi nemu benang merahnya..
BalasHapusjempol mbak ^^d
Puyeng ya? Ambil puyer bintang tujuh :-)
HapusKeren.. walau ada istilah2 yang aku ga ngerti :D
BalasHapusKhas mbak Afra deh.. inlander.. kompeni.. :D
Apa istilah yang gak tahu, Santi? :-D
HapusMestinya cerpen seperti ini dibaca oleh para tokoh-tokoh ormas dan parpol Islam, biar tidak saling berpecah belah. Misinya keren, mbak...
BalasHapusDi-share saja ke mereka, Ummu
Hapus