Mubaahalah


Sebuah Cerpen Afifah Afra
(Pernah Dimuat di Harian Republika)

Mereka berhadap-hadapan dalam jarak sekitar satu meter. Pasangan manik mata masing-masing saling melotot, seakan bola mata yang seakan hendak keluar itu sudah tak sabar ingin berbenturan. Seakan ingin menciptakan nuansa seirama dengan pancaran bola mata, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dua buah mulut, dua buah hidung, dua buah kepala, dua buah tubuh itu ... bergetar. Menegang. Memeras pori-pori sehingga mengucurkan butir-butir keringat, yang terus menderas sehingga mirip tangan-tangan kekar para koki yang memeras santan dan memisahkannya dari ampas. Memacu darah lebih kencang, sehingga paras-paras mereka terlihat lebih merah dari biasanya, karena pembuluh darah mendekati kulit, memenuhinya. Aku membayangkan, jika saat itu sebilah pisau digoreskan, mungkin darah akan mengucur lebih deras dari biasanya.


Suasana persaingan mendominasi. Tampak tak hanya dari dua sosok yang saling berkomat-kamit tegang, namun juga dari masing-masing pengikut yang duduk di belakang mereka. Para pengikut berbusana seperti para anutannya. Separuh mengenakan pakaian serbaputih. Jubah putih, sarung putih, surban putih. Separuh mengenakan pakaian serbahitam. Beskap hitam, sarung hitam, dan kopiah hitam. Akan tetapi, pakaian tak menggambarkan kekontrasan pemikiran, karena jika biasanya ilmu putih disimbolkan dengan suasana serbaputih, dan ilmu hitam dilogokan sesuatu yang serba hitam, maka baik si hitam maupun si putih saat ini semua mengaku yang paling putih.
”Jangan lihat hitam pakaianku. Lihatlah betapa putih hatiku. Jika engkau datang kepada orang-orang Jawa dengan pakaian serbaputih seperti para sunan, maka engkau pasti akan menakutkannya. Engkau akan dikira hendak menumpahkan kendi-kendi arak mereka, membakar rumah-rumah pelacuran mereka, membunuh ayam-ayam sabungan mereka atau melempar kartu-kartu judi mereka ke tempat sampah,” begitu komentar orang-orang berpakaian serbahitam.
”Tak usah munafik, bukankah memang itu yang hendak kita lakukan atas mereka?” tanya orang-orang yang berpakaian serbaputih. ”Tak usah menyaru dengan menyamar menjadi mereka. Mengajak orang-orang yang meminum arak untuk meninggalkan arak, tidak dengan duduk bersama mereka, ikut minum arak dan setelah sama-sama mabuk, kalian akan berkata, ’Ayo, jangan minum arak. Ayo, shalat!’ Mereka tentu akan tertawa terbahak-bahak, sesama pemabuk tak usah berlagak suci.”
”Kau salah!” seru si serbahitam. “Kami berbaur, tetapi tidak lebur. Kami mengajak mereka dengan duduk bersama mereka, mendekati mereka, berbicara dengan mereka, lantas mengajak mereka untuk tidak meminum arak, dengan hati, bukan dengan dalil, dengan ayat, dengan ancaman.”
”Kau yang salah!” si serbaputih tak mau kalah. ”Jikapun kau tersadar dengan tidak ikut minum arak, kau akan terkena percikan arak. Kau akan bau arak.”
”Terkena percikan arak bukan berarti meminum arak. Tak ada dosa jika tubuh kita terkena arak.”
”Kau salah, arak itu najis.”
“Kencing anakmu juga najis, bukan berarti kau tidak menggendongnya dan terkena ompolnya bukan? Kita punya waktu untuk membersihkan diri.”
”Tetapi, jika kau terbiasa bau arak, ketika kau datang kepada orang yang tak meminum arak, tak ada yang percaya bahwa kau bukan peminum arak.”
”Jangan lihat lahirnya, lihat hatinya.”
”Memangnya kami bisa melihat isi hati setiap manusia?”
Perdebatan itu telah sekian lama bergumpal-gumpal menyembur dari kedua jenis mulut—mulut si serbaputih dan mulut si serbahitam. Adapun peristiwa yang terjadi pada hari ini, Jumat kliwon, tanggal 12 Dzulhijah tahun 1350 hijriah, jam 01.45 siang—begitu waktu yang terpampang di horloge-ku—tampaknya disketsa dari perbedaan pemahaman itu. Peristiwa yang membuat jantungku berdetak lebih keras—sangat keras.
Untuk tidak terlibat dalam salah satu golongan, aku memang sengaja tak memakai baju putih, ataupun baju hitam. Padahal, sejak bersekolah di ELS—aku memang manusia yang cukup beruntung, karena mampu menginjakkan kaki di sekolah dasar khusus anak-anak Eropah itu—aku sangat senang memakai celana hitam dan kemeja putih. Kali ini aku memakai celana dan baju serbahijau. Bukan untuk menciptakan aliran yang lain—aliran hijau—namun karena kebetulan hanya itu bajuku yang tak berwarna hitam ataupun putih.
Kanjeng Raden Mas Djarwodiningrat memang telah mewanti-wantiku dengan sangat. ”Jij ini seorang juru warta, Tok. Natuurlijk, jij harus benar-benar tak berpihak. Jij hanya meliput peristiwa itu. Hanya meliput. Ingat itu!”
”Sedahsyat apa peristiwa itu, sehingga pekabaran kita harus meliputnya?” protesku pada pimpinan redactie surat kabar kami, Soeara Boemipoetra.
”Kau bodoh!” kali ini Kanjeng Mas Djarwo memakiku. Tak lagi memakai ’jij’, tetapi ’kau.’ ”Bertahun-tahun Soeara Boemipoetra berdiri, dan kita hanya bisa mencetak pekabaran ini paling-paling tigaribu eksemplar.”
”Jadi, apa hubungan itu semua dengan liputan ini...?”
”Kiai Darmo dan Kiai Farid sama-sama memiliki pengikut banyak, ribuan orang jumlahnya.”
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, aku langsung memaklumi, sekaligus mendengus ngeri. Ternyata, permusuhan dua orang kiai terpandang itu, dinilai Mas Djarwo sebagai peluang meningkatkan oplag.
Peristiwa yang kuliput saat ini, disebut sebagai mubaahalah. Aku harus bertanya panjang lebar kepada Parmin, teman sesama juru warta di Soeara Boemipoetra yang pernah sekolah hingga kelas dua di MULO milik muhammadiyah.
”Aku sebenarnya tak tega menjelaskan makna mubaahalah, Denmas!” Selain Mas Djarwo, yang satu kasta denganku—sama-sama Raden Mas, yang memanggilku Antok—memang semua pegawai di koran inlander itu memanggilku Denmas. ”Bahkan, aku menolak ketika ditugasi meliput peristiwa itu.”
”Jadi...?” aku mengerutkan kening.
”Betul, Denmas!” Parmin mengangguk, matanya murung. ”Sebelum menugasi panjenengan, Denmas Djarwo meminta saya... tetapi... ah, saya memilih keluar dari pekerjaan saya jika tetap dipaksa untuk...”
”Iya... tetapi, mengapa?” aku mendesak, namun Parmin tak mau menjelaskannya.
Penjelasan itu justru kudapatkan dari seorang santri—dari golongan serbaputih—yang kutemui tadi, satu jam sebelum shalat jumat dimulai di masjid ini.
”Mubaahalah itu artinya perang doa.”
”Perang doa?” aku tak mengerti. ”Bagaimana mungkin doa bisa berperang?”
”Bukan doanya yang berperang, tetapi orang yang berdoa. Hanya jika orang biasa berperang dengan pedang, ini senjatanya dengan doa.”
”Aku tidak mengerti.”
”Kau pasti tak pernah datang ke pengajian?” tak menjawab, si santri malah menuduhku seraya menatap curiga. ”Kau memakai pakaian seperti orang kafir. Pasti kau anteknya Belanda.”
Aku menyingkir dengan emosi. Apa-apaan si santri ini. Hanya karena aku tak mengerti arti perkataan mubaahalah, maka ia menuduhku antek Belanda. Aku pun berjalan ke sisi masjid yang lain. Saat itu, kulihat seorang santri berpakaian serbahitam duduk termenung.
”Sedang apa, Kisanak?” tanyaku.
Ia menatapku dengan curiga. ”Apa yang Anda bicarakan dengan orang putihan tadi?”
”Putihan?”
”Orang kolot, yang tak mau membaur itu?”
”Tentang mubaahalah. Baik Kiai Darmo maupun Kiai Farid sama-sama mengirim permintaan kepada koran kami, agar meliput acara ini. Tadi saya bertanya, apa itu mubaahalah.”
“Mubaahalah itu... meminta kepada Allah agar menjatuhkan laknat kepada pihak yang dusta. Nanti siang, selepas shalat Jumat, Kiai Darmo dan Kiai Farid akan bermubaahalah, berdoa kepada Allah untuk memberikan laknat kepada mereka yang dusta.”
Aku tertegun. Perseteruan Kiai Darmo dengan Kiai Farid memang telah lama terdengar. Sebenarnya ini sangat aneh. Saat muda, mereka berdua seperti anak kembar yang tak hanya memiliki fisik yang mirip, tetapi juga kedekatan hati. Ketika besar, seusai lulus di mualimin Pesantren Watoegoenoeng, mereka berpisah. Kiai Darmo tetap di Jawa, menjadi guru di pesantrennya itu, sedangkan Kiai Farid berhaji ke Mekah, menetap bertahun-tahun dan kembali ke Jawa setelah sebagian rambutnya memutih.
Ketika awal pertemuan, mereka kembali berdakwah bersama. Namun lambat laun, mereka memiliki pemikiran yang berbeda. Puncaknya adalah ketika Kiai Farid menuduh Kiai Darmo bersekutu dengan Belanda. Kiai Darmo dicalonkan menjadi anggota folksraad. Kiai Farid marah besar dan menuduh Kiai Darmo terpikat pada kedudukan serta gaji yang besar.
”Belanda itu kafir. Tak ada dalam sejarah Kanjeng Nabi Muhammad bersekutu dengan orang kafir. Apalagi, folksraad itu bukan sistem Islam. Itu sistem demokrasi, buatan orang kafir. Kecipratan arak lebih kecil kerusakannya daripada kecipratan kotornya kursi parlemen, wahai Kiai Darmo!”
Kiai Darmo tidak mau kalah. ”Prinsipku sejak dahulu, wahai Kiai Farid, adalah berbaur, tetapi tidak lebur. Bagaimanapun, kebijakan gubernemen dipengaruhi oleh parlemen, oleh folksraad. Dengan menjadi anggota folksraad, saya punya kesempatan banyak untuk memperbaiki masyarakat yang sekian lama terjajah.”
”Omong kosong! Tidak mungkin kita membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Lagipula, keputusan folksraad itu tak akan diperhatikan oleh penjajah negeri ini. Kau bermimpi jika bisa menjadi pahlawan dari atas empuknya kursi parlemen.”
”Siapa yang omong kosong? Saya berjuang dengan cara saya sendiri.”
”Cara yang tidak sesuai dengan Kanjeng Nabi. Dahulu, di masyarakat kafir Quraisy, ada Daarun-Nadwah, folksraadnya orang-orang Mekah. Tetapi, apakah Kanjeng Nabi pernah mencoba untuk memasuki Daarun-Nadwah, menjadi anggota parlemen Mekah? Tidak! Karena isi Daarun-Nadwah itu orang-orang kafir!” suara Kiai Farid melengking.
”Kau salah besar, Kiai!” ujar Kiai Darmo, tenang. “Kau tentu ingat tentu hilfu al-fudhul. Orang-orang Mekah yang kafir bertemu di rumah Abdullah bin Jud’an Al-Taimi. Mereka bersepakat, jika ada orang Mekah yang dizalimi, maka mereka akan bersama-sama membelanya. Lalu, ada seseorang yang barangnya dibeli oleh Al-Ash bin Wa’il Al-Sahmi, tokoh terkemuka di kalangan kaum Quraisy, namun tak dibayar. Maka orang-orang pun bertemu dan bersama-sama menekan Al-Ash hingga ia mau membayarkannya. Kanjeng Rasul pun bersabda, ‘Sungguh aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an satu perjanjian seandainya aku diajak melakukannya dalam Islam tentu aku kabulkan.’? Kau tahu makna pernyataan Rasulullah tersebut, wahai Kiai Farid? Artinya, Rasulullah sendiri telah siap bekerjasama dengan orang-orang kafir sekalipun asalkan semua itu untuk menegakkan kebaikan.”
”Dan kau, merasa telah sehebat Rasulullah karena sanggup bekerjasama dengan orang kafir tanpa merasa takut mereka mengotori bajumu?”
”Dan kau, merasa selemah kerbau yang mau begitu saja dicocok hidungnya sehingga menurut tanpa bisa menggunakan otakmu?”
”Otak? Kaulah yang tak berotak!”
”Kau punya otak, tetapi tak digunakan untuk bersiasat.”
Perdebatan mereka tak menemukan titik temu. Masing-masing merasa menjadi yang paling benar. Maka, untuk mencari siapa yang benar, mereka pun menggelar peristiwa itu: mubaahalah.
Dan aku, diutus oleh majikanku, untuk meliput acara itu. Karena baik Kiai Darmo maupun Kiai Farid memiliki banyak pengikut. Mubaahalah pasti akan membuat mereka sangat ingin mencari tahu, mana yang diberi laknat, mana yang dusta; mana yang selamat dari laknat, mana yang benar.
Dan kini, aku menyaksikan mereka saling berhadapan, berkomat-kamit, berdoa, sungguh-sungguh, memeras keringat, memancarkan kebencian. Pancaran wajah mereka menelusupkan sebuah pemahaman baru, yang membuatku mendadak merasa mengerti, mengapa Parmin lebih memilih dipecat dari Soeara Boemipoetra daripada meliput peristiwa ini. Dadaku bergemuruh. Dan entah mengapa, hawa di sekitar masjid itu, terasa tak mengenakan.
Aku pun segera pergi, tunggang-langgang, mengayuh kereta anginku, meninggalkan masjid itu. Cukup sudah informasi yang kuperlukan. Aku tak tahan berlama-lama, melihat kedua kiai itu berhadap-hadapan, berkomat-kamit, saling memohon laknat.
* * *
Minggu pahing, koran mingguan kami terbit. Berita mubaahalah itu menempati halaman pertama. Aku baru saja hendak menyeruput kopi panasku saat Ngatini, rewang di rumahku berlarian. ”Denmas, tadi di pasar ramai!” ujarnya.
”Kenapa?”
”Laknat sudah turun. Peternakan ayam kampung Kiai Darmo terbakar. Semua ayam mati. Berarti telah terbukti siapa yang benar dan siapa yang dusta, Denmas. Memang betul, Kiai Darmo itu hanya ingin mencari kekuasaan saja. Biar dapat uang banyak, kedudukan mulia, terus mau saja bekerjasama dengan Belanda.”
Aku urung menyeruput kopi panasku. Tergesa kunaiki sepeda onthelku, menuju kantor. Sebenarnya aku ingin bertemu Parmin, tetapi yang kujumpai justru Mas Djarwo.
”Ah, kebetulan sekali kau datang. Suasana semakin memanas. Sepertinya, tak cukup menunggu minggu depan untuk menerbitkan koran kita. Baru beberapa jam diedarkan, koran kita sudah terjual lebih dari separuh. Ini berkah mubaahalah.”
Berkah mubaahalah? Kupingku seperti ditusuk tombak panas.
”Sekarang jij datanglah ke peternakan itu. Tanyakan komentar Kiai Darmo!”
”Denmas... Denmas!” tiba-tiba Wardjo, seorang juru warta Soeara Boemipoetra berlarian. Napasnya terengah-engah.
”Ada apa, Wardjo?” tanya Mas Djarwo.
“Anu... ada kabar menarik. Ternyata bukan Kiai Darmo yang dusta.”
Piye?”
”Laknat sudah turun, kepada Kiai Farid. Ia jatuh dari kereta, kakinya patah.”
Mas Djarwo mengangguk-angguk. Lantas dengan cepat ia menatapku. ”Antok!”
Aku sudah tahu maksudnya. ”Mas Djarwo...”
”Sekarang kau...”
Aku melengos. ”Tidak, Mas. Mulai hari ini, aku berhenti bekerja di sini.”

* * *
Jumat Legi, 24 Dzulhijah 1350
Horloge di kemejaku telah menunjukkan pukul 12 malam. Namun kantuk sengaja kusandera dengan kerja keras. Aku menulis sejak dua hari yang lalu. Aku mengeset sendiri biji-biji huruf membentuk katern. Ada empat katern, artinya empat halaman surat kabar. Kuputuskan, Soeara Noerani, nama surat kabar milikku, terbit setiap sabtu pagi. Lebih awal dari Soeara Boemipoetra yang terbit setiap minggu pagi.
Aku menatap mesin cetak yang tengah beroperasi itu dengan senyum tersungging. Ketika halaman pertama keluar dari mesin, tak sabar aku menariknya selembar. Ada dua buah berita berdampingan di halaman depan.
”Kiai Farid Dirikan Pesantren Penghafal Qoer’an.” Begitu judul beritanya. Pesantren itu menurutku cukup menakjubkan. Didinding semen, beratap genting dan beralas traso. Lebih megah dari gedung ELS tempatku bersekolah dahulu. Ini jelas suatu hal yang menarik, karena pesantren yang kuketahui selama ini biasanya begitu sederhana. Beratap rumbia, berdinding gedhek, beralas tanah.
Lantas, berita kedua, judulnya, ”Kiai Darmo Naik Hadji ke Mekah.” Butuh biaya besar dan jasad yang kuat untuk bisa berminggu-minggu naik kapal ke tanah suci. Aku meliput sendiri pengajian besar yang mengawal keberangkatan Kiai Darmo. Ada ribuan jamaah hadir, dan untuk menjamu para hadirin, mereka menyembelih dua ekor sapi. Di masa malaise seperti saat ini, mampu mengeluarkan uang sebesar itu menandakan ia dianugerahi rezeki berlimpah.
Jadi, siapa yang dusta, siapa yang dilaknat? Allah Maha Penerima doa, tetapi Dia juga Maha Penolak doa. Terutama doa yang tak sekehendak dengan rencana-Nya.
Aku tak peduli jika koranku tak laku. Bahkan rencananya, aku akan membagi gratis jika orang-orang tak berminat.




10 komentar untuk "Mubaahalah"

Comment Author Avatar
Subhanallah, cerpennya menggelegar...
Comment Author Avatar
Alhamdulillah... semoga bermanfaat
Comment Author Avatar
lumayan bikin puyeng prolognya... tp dilanjut terus jadi nemu benang merahnya..
jempol mbak ^^d
Comment Author Avatar
Puyeng ya? Ambil puyer bintang tujuh :-)
Comment Author Avatar
Keren.. walau ada istilah2 yang aku ga ngerti :D
Khas mbak Afra deh.. inlander.. kompeni.. :D
Comment Author Avatar
Apa istilah yang gak tahu, Santi? :-D
Comment Author Avatar
Mestinya cerpen seperti ini dibaca oleh para tokoh-tokoh ormas dan parpol Islam, biar tidak saling berpecah belah. Misinya keren, mbak...
Comment Author Avatar
Di-share saja ke mereka, Ummu

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!