Widget HTML #1

Menulis, Metode Belajar Total Ala Manusia


By Afifah Afra

Ketika pasukan Amerika Serikat menjatuhkan “Little Boy”, julukan bom atom yang dijatuhkan oleh pesawat pembom B-29 “Enola Gay” (dipimpin oleh Kol. Paul W. Tibbetts) di Hiroshima, 6 Agustus 1945, dan “Fat Man”, julukan untuk bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki, 9 Agustus 1945,  Hiroshima dan Nagasaki, dua kota terpenting si Jepang pun luluh lantak. Ratusan ribu orang meninggal, dan Jepang pun menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945. Ekonomi Jepang lumpuh, keadaan sosial-politik karut-marut, dan sebagai sebuah negeri, ibarat manusia yang tengah meregang nyawa, dalam keadaan rigor mortis alias sekarat.

Namun, langkah yang dilakukan oleh Kaisar Hirohito ternyata justru mencengangkan banyak orang. Bukannya sibuk mengemis bantuan kesana kemari, beliau malah bertanya? “Berapa jumlah guru yang masih kita miliki?”
Kaisar Hirohito tahu persis, bahwa pendidikan sangatlah penting. Dan karena kesadaran yang kuat akan pentingnya pendidikan itu, Jepang pun mampu bangkit dalam waktu yang sangat cepat.

Kerusakan lingkungan yang luar biasa, seperti yang terjadi di Teluk Buyat ataupun daerah penambangan Freeport menjadi contoh yang sangat kasat mata. Demikian juga, kerusakan hutan yang sangat parah di Sumatera, Kalimantan serta pulau-pulau lainnya, telah membuat bumi merintih, karena paru-parunya digunduli. Pemanasan global pun terjadi. Es kutub terancam mencair yang menyebabkan bumi akan tenggelam. Itu belum termasuk bencana kekeringan, banjir serta tanah longsor yang begitu sering tergelar di depan mata. Tak hanya itu, anomali cuaca pun menjaga gejala tersendiri. Akhir Juli 2007, saya berkesempatan bersilaturahim ke Kalimantan Timur selama 5 hari. Selama waktu itu pula, kota-kota Balikpapan, Samarinda, Bontang dan Sengata ternyata senantiasa basah. Mengherankan, karena saat itu musim kemarau. Sedangkan di kota Surakarta, Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa, justru tak pernah turun hujan.

* * *

Mari kita tatap awang-awang pendidikan di bumi Indonesia! Cuacanya suram dan berawan. Bahkan sebagian tertutup mendung. Kita memang memiliki Bali dengan ikon Kabupaten Jembrana yang memiliki standard pendidikan kelas internasional dan beberapa tahun terakhir selalu menduduki prestasi tertinggi—jika dinilai dari output kognitifnya (yang ini pun sebenarnya tak cukup untuk menjadi parameter keberhasilan sebuah proses edukasi). Namun, daerah-daerah lain masih menyisakan PR besar bagi siapa saja yang peduli terhadap pendidikan.

Sebagai contoh UN tahun ajaran 2009/2010 yang barusan berlalu, masih menyisakan getir. Sebanyak 154.079 siswa SMU/SMK/MA tidak lulus. Jumlah ini sekitar 10 persen dari seluruh seluruh peserta ujian sebanyak 1.522.162 siswa. Meskipun dalam hitungan data tampaknya kecil, 150 ribuan anak bukanlah jumlah yang kecil. Beberapa daerah dengan tingkat kelulusan terendah adalah Yogyakarta—ini mengagetkan, mengingat julukannya sebagai ‘kota pelajar’ (23,7 %), Kalimantan Tengah (39,29 %), Kalimantan Timur (30,53 %), Nusa Tenggara Timur (52,08 %), dan Gorontalo (46,22 %). Ratusan sekolah diberitakan memiliki angka kelulusan 0%. (www.antara.com).

UN sendiri, sebagai sebuah parameter keberhasilan sebuah pendidikan, masih menuai kritik dari banyak pihak. Terlalu menyederhanakan, jika standar kecerdasan seseorang hanya ditentukan dari nilai rata-rata 5,50. Jika melewati batas tersebut, dianggap cerdas, dan dianggap sebaliknya jika nilai yang diperoleh tak mencapai angka tersebut.
Apakah manusia sesederhana itu? Dan apakah pendidikan di Indonesia ‘hanya’ berorientasi pada hasil ‘sesederhana’ itu?

Tugas Berat Manusia
Sistem pendidikan di Indonesia, menurut Munif Chatib, cenderung menyamaratakan standard kecerdasan  satu siswa dengan siswa lainnya dengan metode dan parameter yang sangat sempit, yaitu aspek kognitif saja. Sistem semacam itu, diyakini Chatib, akan membunuh banyak potensi para siswa.
Padahal, semenjak manusia Diciptakan Allah, dari zigot yang membelah menjadi morula, blastula, neurula dan kemudian ditiupkan ruh kepadanya, Allah telah Membekalinya dengan kesempurnaan. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin: 4).

Karena kesempurnaan yang dimiliki manusia itulah, dengan berbagai potensi yang melekat padanya, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi. Kekuatan fisik, kematangan hati atau ruhiyah serta kecerdasan dalam berpikir, adalah bekal yang Allah berikan agar manusia bisa menjalankan amanahnya sebagai khalifah di muka bumi tersebut.
“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka (malaikat) berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau…” (QS. Al-Baqarah: 30).
Kesempurnaan manusia itu sejak awal telah menimbulkan kekhawatiran pada malaikat. Mereka khawatir dengan kesempurnaan itu, manusia akan membuat kerusakan di muka bumi serta senantiasa bertikai, menumpahkan darah. Hal tersebut ternyata terbukti di kemudian hari. Dengan akalnya, manusia berhasil mengekploitasi bumi, memanfaatkan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran manusia. Minyak bumi, batubara, emas, gas alam, tembaga dan sebagainya, ditambang dari perut bumi. Namun, keserakahan manusia seringkali membuat ia hanya berpikir, bagaimana mendapatkan kekayaan alam tersebut, dan tak memperhatikan dampak lingkungannya. 

Uniknya, para pemegang teknologi yang habis-habisan mengeksploitasi bumi itu justru sering menyebut dirinya sebagai ‘pahlawan’ yang melakukan perbaikan di muka bumi. Inilah, mengapa Allah berfirman,
“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 11-12).
Dengan kekuatan akal yang dimiliki itu pula, manusia berhasil menciptakan senjata-senjata hebat, yang mampu menumpahkan darah, membunuh manusia secara massal. Contoh yang paling dahsyat adalah bom atom yang meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 yang memakan korban ratusan ribu jiwa manusia. Demikian juga rudal-rudal milik Amerika Serikat dan sekutunya yang telah membuat ratusan ribu nyawa melayang di Irak, Iran, Afghanistan, Libanon dan negara-negara lainnya.
Akan tetapi, meskipun Malaikat mempertanyakan kemampuan manusia dalam mengelola dunia, Allah jelas Maha Tahu, sebagaimana firman-Nya saat menjawab pertanyaan malaikat, “…Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ya, yang dijadikan sebagai khalifah oleh Allah adalah manusia. Bukan sembarang manusia. Tetapi manusia seutuhnya. Manusia yang memiliki sebaik-baik bentuk, meliputi tiga unsur tersebut, yakni jasad, aql dan ruh. Kesempurnaan 3 unsur tersebut terejawantahkan dalam kekuatan intelektual (IQ), emotional (EQ) dan Spiritual (SQ).

Pendidikan Calon Khalifah
Bumi kita yang rumit, dengan kompleksitasnya, tentu tak hanya membutuhkan satu, dua atau tiga jenis kecerdasan belaka. Bumi, agar tetap pada tata kosmos yang tepat, harus dikelola oleh seluruh manusia yang terberdayakan potensinya. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia yang hanya mengacu pada standard tertentu, tidak menghargai keragaman potensi yang Allah anugerahkan.
Manusia, lahir dengan otak yang siap merekam ilmu yang tersebar di jagad raya. Otak manusia, seberat sekitar 1,5 kg, memiliki neuron sejumlah ratusan milyar. Dengan kapasitas itu, menurut Richard Restak M.D., ternyata otak manusia dapat menyimpan informasi yang lebih banyak daripada seluruh perpustakaan di dunia.[1] Menurut Bobbi De Porter & Mike Hernacki otak mampu membuat 10800 jalur, jadi seandainya seluruh jaringan telepon di dunia digabungkan, maka besarnya hanya 1 biji kacang otak kita.
Sementara, jagad raya menyediakan hamparan ilmu yang akan terserap oleh otak manusia. Menurut Munif Chatib, otak manusia menyerap ilmu pengetahuan yang berserak di jagad raya itu dengan ‘tiga pipa’, yaitu pipa kinestetik, pipa auditori dan pipa visual. Beberapa psikolog lainnya menambahkan dengan satu pipa yaitu logika.
Masing-masing manusia memiliki jenis pipa-pipa sendiri yang berbeda satu sama lain. Kemudian, dari 4 pipa itu,  manusia akan mengalirkan ilmu sesuai dengan kecenderungan potensi yang ia miliki. Kecenderungan potensi yang berbeda-beda itulah yang disebut Howard Gardner, P.Hd sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Ada 8 jenis kecerdasan:

  1.  Word smart—kecerdasan dalam mengolah kata
  2. Picture smart—kecerdasan dalam mempersepsi apa yang dilihat
  3. Music smart—kecerdasan dan kepekaan dalam hal musik
  4. Logic smart—kecerdasan dalam sains dan matematika
  5. Nature smart—kecerdasan dan kepekaan dalam mengamati alam
  6. People smart (interpersonal smart)—kecerdasan dalam memahami pikiran dan perasaan orang lain
  7. Self smart (intrapersonal smart)—kecerdasan dalam mengenali emosi diri sendiri
  8. Body smart—kecerdasan dalam keterampilan olah tubuh dan gerak

Para pakar pendidikan, khususnya yang menganut paham moderat pun mulai membentuk pendidikan berbasis Multiple Intelligences System, seperti yang banyak dianut oleh sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah Islam. Hanya saja, sistem semacam itu membutuhkan biaya yang sangat besar, dan kebanyakan hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas. Ini sebuah dilemma tersendiri. Semestinya, jika anggaran pendidikan 20% APBN benar-benar dikeluarkan dan guru-guru dibina dengan baik, maka MIS pun bisa diterapkan di sekolah-sekolah negeri dengan biaya yang lebih murah.

Menulis dan Multiple Intelligences
Meskipun masing-masing manusia memiliki jenis kecerdasan masing-masing, ternyata dalam sejarah, kita mengenal sosok-sosok ‘super’ yang ternyata memiliki  8 jenis kecerdasan itu sekaligus. Yang paling bisa diteladani adalah Rasulullah saw. dan beberapa sahabat yang mulia.
Para manusia yang namanya tertoreh dalam tinta sejarah pun, jika ditelisik, memiliki 8 jenis kecerdasan tersebut, meskipun mungkin tidak semuannya menonjol. Menariknya, ada sebuah cara yang membuat ke-8 jenis kecerdasan tersebut terstimulasi. Cara tersebut adalah MENULIS.
Ketika kita menulis, kecerdasan mengolah kata (word smart) akan terasah dengan baik. Saat menghubungkan satu informasi dengan informasi lain dalam satu sistematika tertentu, berarti kecerdasan logikanya sedang distimulasi. Saat membangun perwatakan, khususnya saat menulis fiksi, sebenarnya ia sedang membuncahkan people smart (pandai dalam memahami pikiran dan perasaan orang). Saat ia sedang dilanda emosi dan mencoba menetralkan lewat menulis, bararti ia sedang merangsang self smart (pandai dan peka dalam mengenali emosi diri sendiri). Ketika membangun deskripsi dengan menggambarkan setting tempat, ia pun sedang membangun kecerdasan visual-spasial sekaligus dan natural smart (pandai dan peka dalam mengamati alam). Bahkan secara tidak langsung, body smart (pandai dalam olah tubuh dan gerak—khususnya gerak yang dirangsang dari saraf motorik halus, ini penting untuk anak yang masih dalam tahap pertumbuhan) dan music smart (pandai dan peka dalam musik) pun akan terlatih pula. Biasanya, seorang penulis produktif akan menyempatkan diri untuk berolahraga—yang mutlak diperlukan untuk merefresh otaknya. Demikian juga, seorang penulis biasanya senang dengan musik, terutama yang berirama teratur semacam musik klasik, karena sangat berpengaruh terhadap kelancaran ide-ide yang mengalir dari otaknya.

Revolusi Pendidikan dengan Menulis
Inilah mungkin rahasianya, mengapa banyak orang besar di dalam sejarah, yang apapun profesinya, ternyata beliau juga seorang penulis. Mereka meninggalkan pemikirannya yang berguna bagi manusia sesudahnya dari tulisan-tulisannya. Karena, menulis tak sekadar menyemai berbagai potensi yang memang telah dimiliki, namun juga menghidupkan potensi lainnya yang mungkin terkubur. Maka, semestinya menulis bisa menjadi salah satu alat para pendidik di Indonesia untuk mengoptimalkan kecerdasan yang dimiliki oleh para anak didiknya. Wallahu a’lam bish-shawwab.

[1] Wycoff, 2005 hal. 30

2 komentar untuk "Menulis, Metode Belajar Total Ala Manusia"

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!