Demo Dokter, Sastrawan Keblinger dan Kond*m Gratis
By Mbakyu Afifah Afra
Beberapa hari
ini, Siti benar-benar dibuat pusing. Tidak di pabrik, tidak di rumah, yang
dibahas soal kebutuhan yang harganya terus meroket. Di rumah simbok mengeluhkan
harga beras yang sudah mencapai angka sembilan ribu per kilo gram, sementara
gaji Siti tak juga naik. Di pabrik para buruh ngedumel, menggosipkan kenaikan
UMK dan sikap pabrik yang ogah-ogahan. Tadinya Siti berharap bisa menemukan
suasana yang lebih menyenangkan di rumah Mbak Murti, tetangganya yang rumahnya
rimbun dan penuh dengan pohon mangga yang sedang berbuah ranum. Ternyata, Mbak
Murti justru menyambut Siti dengan curhat pula.
“Ti, Siti… piye to iki! Jagad sudah terbalik-balik.
Mosok para dokter sekarang sudah pada ikutan demo turun ke jalan!” ujar Mbak
Murti.
“Lha, ya nggak
papa to, Mbak. Namanya juga hak mengeluarkan pendapat, uneg-uneg.”
“Ya beda kelas,
to Ti. Dokter kan kaum intelek. Isinya orang pinter. Mosok mereka mogok kerja.
Kalau buruh kayak kamu, nggak papa mogok. Nah, kalau dokter pada mogok, trus
njuk piye? Siapa yang mengobati orang sakit?” Mbak Murti mencak-mencak. “Kemarin
aku udah jauh-jauh datang ke puskesmas untuk berobat, weleh… ternyata
puskesmasnya malah nggak ada yang melayani.”
“Sampeyan sakit
apa, Mbak?” Suryo, adik Mbak Murti yang mahasiswa menyela.
“Sakit … iki
lho, Sur… panu.”
Suryo tergelak. “Panu
itu bukan emergency, Mbak.”
“Apa? Em-emergen-cy?”
“Bukan penyakit
yang segera membutuhkan pertolongan.” Siti ikut menjelaskan.
“Lho, siapa
bilaaang?” Mbak Murti mecucu. “Kalau
menurut Mas Joko, suamiku, ini penyakit yang butuh penanganan segera.”
“Kan bisa sampeyan
olesi salep, to Mbaaaak… jadi, meski kemarin dokter pada demo, layanan
emergency itu semua buka. Instalasi Gawat Darurat di rumah-rumah sakit semua
buka, Mbakyu! Jangan underestimated
sama dokter, lah! Mereka juga manusia,
butuh berekspresi.”
“Sur, kowe nek bicara
jangan pakai bahasanya Londo. Nggak mudeng, aku!”
“Gini, lho, mbak…
para dokter itu sedang mencoba mengekspresikan pembelaan mereka terhadap sesama
dokter yang masuk penjara, karena dugaan salah prosedur. Ada pasien yang
meninggal, lalu dokternya dituduh teledor. Nah, setelah diperiksa oleh komite
etik kedokteran, ternyata dokter itu dinyatakan nggak bersalah. Tetapi oleh
pengadilan tetap diputus bersalah. Dokter-dokter protes, dan turun ke jalan!”
“Ooo, begitu,
to? Kok ya aneh-aneh saja….”
“Tapi, sekarang
puskesmas sudah buka, Mbak Murti,” timpal Siti. “Kalau mbak mau periksa,
periksa saja. Katanya mbak sakit panu. Saya izin pulang ya….”
* * *
Merasa tak
menemukan ketenangan di rumah Mbak Murti, Siti pergi ke rumah Ratna, teman saat
SD dulu, yang sekarang kuliah di jurusan sastra di sebuah universitas paling
top markotop di kota Solo.
“Tiii… aku lagi
syok, syok banget, ini!” Ratna terlihat tertutup mendung.
“Horok, piye to, kok sampai syok segala?”
“Sastrawan
kesayanganku… hiks, ternyata diadukan polisi karena dituduh menghamili seorang
mahasiswa. Aku kageeeet. Kan aku sangat ngefans sama beliau itu.”
Masalah lagi,
masalah lagi. Siti sudah merasa kian kliyengan
karena rasa pusingnya semakin menguat.
“Makanya, nggak
usah terlalu memuja seorang manusia, Rat. Manusia itu tempatnya luput dan
khilaf. Lha wong nabi aja bisa salah, apalagi manusia biasa.”
“Tapi Nabi kan
maksum, Ti. Kalau nabi berbuat salah, langsung diluruskan Gusti Allah.”
“Maka dari itu,
kalau ngefans, ke Kanjeng Nabi saja. Jelas-jelas pribadi yang maksum. Sudah,
nggak usah terlalu kecewa begitu, to.”
“Sastra itu kan
adab, Ti. Makanya aku masuk fakultas sastra. Aku pengin jadi orang beradab.
Tapi, ini malah yang kujadikan contoh, terang-terangan merusak adab.”
“Wis, wis… move on, gitu lho! Nggak usah nglokro.
Kamu kan calon sastrawan, sekarang justru saatnya kamu menunjukkan kepada
dunia, bahwa dengan sastra orang bisa menjadi halus, lembut, dan beradab.”
Tiba-tiba
terdengar suara bergemuruh memasuki halaman rumah Ratna. Sebuah motor berhenti.
Andre, adik Ratna yang baru semester satu di bangku kuliah berteriak-teriak
histeris.
“Aku dapat
kond*m gratiiiis!” ujarnya sambil mengacungkan sebuah kotak berwarna merah.
“Apa?” baik
Ratna maupun Siti terbelalak.
“Tak tahu
aturan, kamu Ndre! Kamu tuh belum menikah, siapa yang ngasih benda itu?!”
bentak Ratna.
“Negara, Mbakyu!
Negara yang ngasih benda ini ke aku. Tadi ada bus merah, masuk ke kampus dan
bagi-bagi benda ini. Siapa menolak? Lha wong ini program pemerintah, kok. Kan
pemerintah itu pengelola negara. Sedangkan negara didirikan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa.”
“Ini program
gila! Kond*m itu untuk orang-orang beresiko tinggi, bukan untuk yang masih
lajang seperti kamuuuu!” Ratna melotot.
“Ya, protes sana
sama Menkes! Sekarang, udah dapat benda ini, aku mau praktek dulu!”
“Praktek apa?”
Ratna berkacak pinggang.
“Jangan salah,
Mbakyu! Aku mau bikin balon dengan benda ini.”
“Aaaaarrrrghhhhhhh!!!”
20 komentar untuk "Demo Dokter, Sastrawan Keblinger dan Kond*m Gratis"
Mbak Yeni harus punya Kolom di koran nasional... sudah sangat layak..
Iya, membela dokter, kan istri dokter *kabuuur*
“Praktek apa?” Ratna berkacak pinggang.
“Jangan salah, Mbakyu! Aku mau bikin balon dengan benda ini.”
“Aaaaarrrrghhhhhhh!!!”
Ngahahaha, kirain mau praktek apa, nggak taunya mau bikin balon. Ngahhh , koplak xD
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!