Novel Jadul dan Donat Bantat


(Merepublish novel jadul Katastrofa Cinta menjadi Mei Hwa)

Beberapa waktu terakhir ini, saya membaca ulang karya-karya lama saya. Antara lain novel-novel yang saya tulis saat saya berusia ‘Balita’ (Bawah Dua-puluh-lima Tahun). Novel pertama saya, Bulan Mati di Javasche Oranje, saya selesaikan ketika usia saya baru 22 tahun. Obituari Kasih, yang bermetamorfosa jadi Rabithah Cinta, saya pungkasi saat saya baru berusia menjelang 25. Ada juga novel-novel lain. Periode ‘Balita’ termasuk periode produktif saya. 

Jujur, saya melihat sesuatu yang membuat kening saya berkerut. Pada karya-karya tersebut saya melihat banyak kelemahan-kelemahan yang banyak didapatkan pada karya-karya para pemula. Tetapi, yang paling terlihat adalah kurangnya pengembangan-pengembangan dalam alur cerita yang dijalankan. Anda pernah membuat donat? Ah, pasti Anda bahkan lebih ahli dari saya. Saya memang suka memasak, tetapi kalau sudah soal perkuean, menyerah deh saya. Pertama, saya kurang suka ngemil. Kedua, saya suka merasa horor jika melihat resep kue yang begitu banyak mengandung konten pergulaan. Intinya, saya nggak terlalu suka yang manis-manis. Tetapi kalau senyum manis sih, senang melihatnya :-D

Ops, jadi ngelantur. 

Pada saat membuat donat, bahan-bahan yang ada kita campur, kita uleni hingga kalis, lalu adonan yang telah dibentuk sedemikian rupa, kita diamkan kira-kira 20 menit. Mestinya, si calon donat itu akhirnya mengembang sempurna, dan setelah digoreng akan menjadi donat yang empuk dan lezat. Tetapi nyatanya, ada donat-donat yang gagal mengembang sempurna, dan setelah digoreng, rasanya tidak empuk. Kalau di Jawa, lazim disebut donat yang bantat.

Jujur, ya… track record saya dalam membuat donat termasuk buruk. Dari 20 donat yang saya hasilkan, jika ada separuh yang mengembang sempurna saja, bagi saya sudah bagus. Apa saja faktor yang membuat donat gagal mengembang sempurna dan akhirnya jadi donat bantat? Kalau kata para ahli perdonatan, donat bisa menjadi bantat antara lain karena kualitas tepung terigu kurang bagus, ragi yang kurang—atau mungkin sudah buruk kualitasnya, bisa juga karena komposisi bahan-bahan yang tidak pas—biasanya terigunya terlalu banyak, kurang kalis saat membuat adonan, atau waktu untuk proses peragian yang kurang.

Nah, kalau dianalogikan pada novel-novel jadul saya, tampaknya ‘kebantatan’ itu disebabkan oleh faktor-faktor semacam itu. 

Pertama, kualitas bahan yang kurang. Bahan pembuat novel adalah ide-ide dan kata. Kadang, idenya ‘cetar membahana’, tetapi tidak berhasil memberi ‘pakaian’ berupa kata-kata yang baik, sehingga terkadang ide tampil terlalu ‘telanjang’, atau berpakaian tetapi pakaiannya kurang modis, kurang indah dan sebagainya. 

Kedua, ragi yang kurang. Ragi adalah bahan pengembang. Pada novel-novel jadul saya, saya kurang berhasil mengembangkan bahan-bahan yang ada.

Ketiga, komposisi bahan yang tidak pas. Ada yang kebanyakan, ada yang kurang. Yang paling jelas dalam novel jadul saya adalah porsi ‘ceramah’ yang sepertinya terlalu over. Bisa jadi itu disebabkan karena idealisme yang saat itu meledak-ledak. Saat ini, idealisme sih masih kuat, insya Allah (mohon doa). Tetapi tetap saja, sebuah novel itu juga sebuah produk seni yang semestinya bisa menonjolkan keindahan. Novel juga bukan kotbah Jumat. Pesan dalam sebuah novel semestinya tersirat, yang justru membuat efek yang lebih dahsyat dan lebih berngiang lama di benak pembaca.

Keempat, adonan kurang kalis. Ya, bisa jadi dalam novel-novel para pemula, bahan sebenarnya sudah bagus. Tetapi kurang sabar dalam menguleni, sehingga adonan menjadi kurang kalis.

Kelima, waktu yang digunakan dalam proses peragian kurang. Nah, itu dia! Saya ‘takjub’ karena kecepatan saya dalam menulis novel zaman dulu ternyata sangat tinggi. Ada novel yang ditulis hanya dalam waktu dua minggu! Sementara, saat ini, untuk membuat satu novel, saya butuh waktu minimal 2-3 bulan. Kalau mau lebih baik, sekitar enam bulan hingga satu tahun.

Dari unsur-unsur yang saya bahas tersebut, saya jadi paham, mengapa novel-novel jadul saya beberapa terasa ‘bantat’! Ya, tapi saya bersyukur, setidaknya, kesetiaan saya berkarya, kesukaan membaca, hasil berdiskusi dengan para ahli, membuat akhirnya saya jadi memahami permasalahan tersebut. Semoga kian hari, novel saya kian menipis derajat ‘kebantatannya’.

Nah, bagaimana dengan tantangan membuat donat? Hm, bisa deh, terus berlatih agar donat saya bisa 100% tidak bantat. Siapa tahu, besok selain menjadi penulis novel anti bantat, saya juga bisa mendirikan Afra Donuts. Jangan-jangan, laba Afra Donuts bisa seribu kali lebih besar daripada royalti menulis. Hehe.


11 komentar untuk "Novel Jadul dan Donat Bantat"

Comment Author Avatar
Novel2 jadulku juga banyaaak yg perlu direvisi, hiks...
Comment Author Avatar
Direvisi jadi novel baru... hak cipta sudah di tangan?
Comment Author Avatar
Lebih mudah bikin donat sih emang ketimbang bikin novel :-)
Comment Author Avatar
Hiks, kalau aku tetap lebih enak bikin novel :-)
Comment Author Avatar
Aku ngikut Mbak Lyta. Lebih enak makan donat.... :D
Comment Author Avatar
mb Afra.. D tunggu novel terbarunya :) novel panjenengan yg sy punya kali pertama judulnya 'jangan panggil aku josephine'
Comment Author Avatar
Insya Allah akan terus berkarya dik... mohon doanya :-)
Comment Author Avatar
Kalo begitu, jadinya makin kita punya jam terbang banyak dalam menulis, makin ngerti dan makin menghargai proses kita ya, Mbak Yeni? Dan semakin paham mana yang perlu dibenerin. :D



Comment Author Avatar
Iya, betul sekali... ibaratnya kayak seorang pengukir yang lama-lama tahu mana lekukan yang kurang pas, mana yang terlalu dalam, mana yang kurang sentuhan dll...
Comment Author Avatar
Thanks atas ilmunya mbak Afra,,, :D

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!