Tahun Baru, Dan Tangga-Tangga Itu….
Jelang
pergantian tahun, lini masa di media sosial penuh kontroversi. Ada sebagian empunya
akun yang dipanah euforia, sehingga seolah-olah tak ada hari sedahsyat hari
terakhir dan hari pertama dalam sebuah kalender. Ada pula yang menyalakan suhu
minus sekian derajat celcius di kulkas hidupnya, sehingga terasa adem-ayem,
biasa-biasa saja. Semua hari adalah sama, ngapain dibikin pusing.
Kubu euforia benar-benar
merayakan peristiwa itu dengan girang. Tahun baru! Dar-der-dor! Mercon berjedoran.
Kembang api berloncatan ke angkasa, merobek malam dengan kilatan cahayanya.
Terlihat indah memang. Meski jika kita hendak mengkalkulasi, mungkin kita akan
terkaget-kaget dengan nominal rupiah yang harus dibakar untuk menghasilkan
kemegahan tersebut. Tetapi, tampaknya kemewahan membakar langit selalu menjadi
kebiasaan yang sangat menyenangkan, apalagi jika dilakukan di pergantian tahun.
Bahkan, cermin kemakmuran sebuah bangsa mungkin akan ditentukan salah satunya
oleh kemegahan pesta kembang api-nya. Buktinya, di sebuah tempat di Batam,
terdapat lokasi yang langsung berhadapan dengan Singapura, dan pada malam tahun
baru lokasi tersebut ramai dikunjungi. Bukan untuk melihat pesta kembang api di
sana, tetapi untuk melihat serunya langit negeri tetangga yang terlihat dari lokasi
itu.
Di Solo, kota
yang tidak besar, meski juga tidak dibilang kecil, di setiap malam tahun baru
juga tak kalah dengan aroma pesta pora. Jalan Slamet Riyadi, jalan terbesar,
terpanjang sekaligus teramai di Solo, akan penuh sesak pada malam pergantian
tahun. Semua warga masyarakat seperti tumplek blek. Dulu, saat belum ada
kebijakan car free night, polusi
udara menjadi berlipat-lipat. Berbagai komunitas ngumpul, dan menjadikan malam
itu sebagai ajang reuni, sekaligus mengekhibisi kekhasan komunitasnya. Saya
ingat, pernah melihat serombongan lelaki-perempuan dengan motor-motor
modifikasinya yang dibuat aneh-aneh. Ada geng motor ceper, komunitas motor tua,
hingga kelompok bermotor skuter yang entah mengapa, sengaja dibuat sekucel
mungkin performance-nya skuternya. Bahkan (maaf), ada yang sengaja
menggantungkan pakaian dalam sebagai hiasan.
Dulu, saat
remaja, saya juga sering bersama teman-teman sengaja begadang. Memecahkan rekor
tidak tidur setahun! Terasa menggelikan, karena kami sebenarnya hanya tidak
tidur beberapa jam. Hanya saja, saat melek itu melewati batas pergantian tahun.
Pendek kata, euforia tahun baru terasa begitu dahsyatnya.
Sementara, kubu
yang satunya terlihat cuek bebek. Apalah arti sebuah hari? Tak akan mengubah
apa-apa! Apalagi, tahun baru masehi bukanlah milik kaum muslimin. Untuk apa
dirayakan? Kaum muslimin punya kalender hijriah sendiri, artinya, kaum muslimin
juga memiliki tahun baru sendiri.
Betulkah begitu?
Saya sepakat untuk beberapa hal, dan kurang setuju pada hal yang lain. Saya
jelas menentang segala macam pesta pora yang tak ada manfaatnya. Saya juga
setuju, bahwa sebagai seorang muslim, saya memiliki tahun baru sendiri, dan
saya menjadi bagian dari sebuah arus besar yang ingin memperjuangkan
pemberlakuan sistem tersebut secara menyeluruh. Akan tetapi, untuk ber-say good bye terhadap perubahan tahun
ini, saya kira tak bisa begitu saja.
Bagaimanapun,
kita berada di sebuah sistem kalender masehi yang secara langsung berefek pada
kehidupan kita. Tanggal gajian, tanggal bayar listrik, bayar pajak, terima royalti,
bahkan bayar SPP anak-anak pun ditentukan dengan kalender masehi. Maka, siapa,
sih, yang tak merasakan hiruk-pikuk suasana pergantian tahun? Yang paling
gampang, lembur-lembur yang lebih padat di menjelang pergantian tahun karena
dituntut laporan akhir tahun. Stock opname
persediaan barang, evaluasi dan perencanaan, bahkan juga bonus akhir tahun :-)
Sekali lagi, diakui
atau tidak, sistem yang kita pakai memang kalender masehi. Mulai dari program
komputer yang kita gunakan, kalender, hingga gadget, semua menggunakan sistem
tersebut.
Dalam sebuah
perencanaan, kita mengenal planning
jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek dan sebagainya. Dekade, Windu,
Dasa, Semester, Bulan, hingga Harian. Sebagai seorang yang visioner, pergantian
tahun menjadi cukup penting, karena merupakan penanda sebuah jangka. Apa yang
sudah saya dapatkan dalam satu tahun, apa yang belum, apa kendalanya, dst. Menatap
panjang ke depan, tanpa ada batas-batas waktu, saya kira akan menjadi
perjalanan yang sangat melelahkan. Perjalanan Solo-Jakarta dengan kereta misalnya,
akan terasa melelahkan jika yang terbayang di benak kita adalah 10 jam
perjalanan. Akan berbeda jika kita membagi perjalanan itu menjadi beberapa
stage, misal: Solo-Semarang; Semarang-Cirebon; Cirebon-Jakarta. Atau, bisa
diibaratkan saat kita hendak meloncat kepada ketinggian 100 meter. Akan sangat
sulit, bahkan mustahil, melenting tinggi dan langsung nangkring di ketinggian
tersebut. Kita butuh mendaki satu demi satu tangga. Jikapun di tengah pendakian
kita kelelahan, kita bisa berhenti sejenak untuk menghela napas, atau menyantap
perbekalan kita.
Jadi, bagi saya,
tahun demi tahun yang saya lewati adalah tangga-tangga menuju sebuah ketinggian
yang diidamkan. Kita sudah memiliki sistem ketinggian yang kita angankan, kita
sudah memiliki gambaran yang kita idamkan. Yang akan kita lakukan selanjutnya
adalah bertekun melewati tangga demi tangga itu, melepaskan energi sedikit demi
sedikit, melangkah dengan langkah pasti, dan awas! Hati-hati, jangan sampai
tergelincir! Tuh, tuh… di depan ada yang nyiram tangga dengan secangkir kopi!
#Ops….
2 komentar untuk "Tahun Baru, Dan Tangga-Tangga Itu…."
Kalender Masehi, menggunakan peredaran Bumi terhadap Matahari. Kalender Hijriah, menggunakan peredaran Bulan terhadap Bumi. Bukankah semua benda langit itu milik Allah dan mengikuti sunah-Nya? Sepertinya pemahaman kalender muslim dan bukan ini sudah tidak tepat lagi.. :)
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!