Dulu Kuntilanak, Sekarang Monster, Hantu dari Masa ke Masa



Bagaikan Archimedes yang berteriak ‘eureka’ saat menemukan teori massa jenis, saya pun terhenyak saat anak (sementara) bungsa saya, Ipan, mendadak berlarian sembari memeluk saya. “Ada monster, Mi… Ipan takuuut.”

Well, saya terima jika Anda sebut saya terlalu over, menyamakan proses ‘eureka’ saya dengan Yang Mulia Tuan Archimedes. Tapi, boleh, kan… saya bercerita kepada Anda apa yang membuat saya ter-eureka sejenak bersamaan dengan kedua tangan mungil Ipan saat melingkari pinggang saya?

Mendadak saya teringat pada masa kecil saya. Pada saat kecil, saya pernah ditakut-takuti dengan berbagai macam hantu yang dengan kadar kehororan yang benar-benar mencekam. Misalnya, kuntilanak. Hantu itu berambut panjang menutup punggung yang ternyata bolong. Lalu ada genderuwo, makhluk menyeramkan bertubuh tinggi besar dengan wajah buruk. Dan, yang paling terkenal tentu adalah pocongan. Arwah gentayangan yang bangkit dari kubur dan masih mengenakan kain kafan. Ada pula jenis hantu-hantu lain, seperti Wewe Gombel, Sundel Bolong dan sebagainya.

Masa kecil saya memang dihabiskan di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Delapan kilometer dari Bobotsari—kota eks kawedanan, dan 18 km dari kota kabupaten. Desa saya sangat luas, terdiri dari 5 dusun, dan masing-masing dusun terpisah cukup jauh. Dusun saya dengan dusun kakek saya misalnya, terpisah sekitar 1 KM dengan jalan menanjak dan melewati ladang serta kuburan! Kuburan di desa saya sangat besar, menempati satu bukit tersendiri dengan pohon-pohon besar yang rimbun dan memberi kesan seram. Kuburan itu namanya Sibathok, karena bukitnya mirip bathok (tempurung kelapa) yang terbalik. Kalau harus melewati kuburan itu saat malam, meskipun memakai kendaraan, saya akan memejamkan mata karena takut. Kalau kebetulan jalan kaki, saya menolak digendong Bapak, karena berarti saya berada di barisan paling belakang. Karena Bapak tidak mau menggendong depan, otomatis saya memilih jalan kaki.

Baru setelah saya ikut Madrasah Diniyah di masjid, rajin ngaji, makin besar, dan mulai tahu hakikat makhluk-makhluk gaib, saya menjadi tak takut lagi dengan Sibathok. Kata guru ngaji saya, bacaan Al-Quran membuat jin-setan mental. Saya menjadi lebih pemberani, bahkan kelewat berani untuk ukuran anak sebaya saya. Tetapi, kalau harus berjalan sendiri tengah malam melintasi kuburan itu, hingga segede ini, ya kayaknya masih keder juga, hehe.

Nah, sekarang, apa yang membuat saya mendadak ter-eureka!

Saya tinggal di perkotaan. Solo memang bukan kota besar, tetapi juga tak bisa disebut kota kecil. Segala fasilitas ala kota besar, tersedia di Solo, namun asyiknya, harga-harganya seperti harga di kota kecil. Jadi, hidup di Solo itu enak! Fasilitas bintang lima, harga kaki lima. Kalau tak percaya, ayo seharian saya antar jalan-jalan di kota Solo. Anda akan temukan barang belanjaan berjibun, sementara dompet masih tebal—tebal oleh nota dan kuitansi maksudnya, hihi.

Ya, saya tinggal di kota, lampu-lampu berpendar di sana-sini, sehingga malam dan siang seperti tak ada beda. Kanan-kiri bangunan, hingga malam masih banyak manusia yang begadang, jadi tak ada tempat-tempat kosong yang menyeramkan. Apalagi, satu per satu bangunan kuno yang konon angker sudah mulai direhab dan dibikin indah, sehingga jauh dari kesan menyeramkan. Secara logika, hantu-hantu pastinya hilang. Tetapi, mengapa anak-anak saya masih takut dengan dengan sesuatu yang menyeramkan?

Kalau begitu, rasa takut karena hantu tak selalu berhubungan dengan tempat yang gelap, seram, sepi dan sebagainya. Rasa takut karena  hantu begitu universal. Apalagi, kata-kata ‘hantu’ pun sekarang mulai meluas maknanya. Hantu tak selalu merujuk pada roh-roh halus yang mendiami suatu tempat (definisi KBBI), tetapi juga bisa merujuk pada sesuatu yang membuat tercekam takut, gelisah, gunda. Wajar saja, ketika saya mencoba men-share perihal ‘perhantuan’ ini di media sosial, ada seorang teman yang menulis komentar, bahwa kehabisan pulsa pun sekarang telah menjadi ‘hantu’. Bahkan, kekasih pun bisa menjadi hantu. Kan ada tuh, lagunya … “Kamu seperti hantu, terus menghantuiku….”

Ngelantur, lagi! Yeiiy, namanya blog, ya suka-suka saya dong, menuliskannya … (ikon tongue out).

Intinya, saya takjub, karena mendadak menyadari, bahwa meski zaman beranjak semodern ini, ternyata hantu masih ada. Hanya, bentuknya beda. Tak heran, dalam imajinasi manusia modern, hantu bisa kirim SMS, email, atau mungkin ngajak chatting via BBM dan WA. Jadi, hati-hati kalau jam 12 malam, mendadak ada ping di BBM membangunkan Anda, kalau bukan suami Anda yang sedang kumat isengnya karena rindu, bisa jadi dia adalah … (just kidding).

Nah, khusus untuk anak-anak, hantu pun mengalami pergeseran. Bukan lagi kuntilanak, sundel bolong, genderuwo dan sebagainya, tetapi menjadi monster, vampire, zombie, drakula. Wow! Eh, kenapa wow? Sebenarnya, kalau kita pikir-pikir, penampakan hantu itu sama saja. Yang membedakan adalah kostumnya. Dan kostum hantu itu sangat berkaitan dengan tradisi setempat. Misalnya, di negara kita, mayat umumnya dikafani, karena itu, hantu yang paling populer adalah pocongan. Di barat, hantu memakai jas dan dasi, karena biasanya para jenazah disemayamkan seperti itu. Di Mesir, hantu berupa mummi yang dibalut rapat. Sedangkan di China, biasanya hantu dikisahkan berpakaian seperti prajurit Manchu. CMIIW!

Bagaimana dengan monster? Dalam Wikipedia (maaf ya buat yang anti menjadikan Wikipedia sebagai referensi, kalau saya sih jujur saja, masih menggunakan Wikipedia sebagai pintu gerbang menuju pencarian referensi yang lebih komprehensif), monster berasal dari kata monstros atau monstrum berarti "pertanda" yang berakar dari kata moneo, "mengingatkan", juga dapat berarti "keajaiban".

Nah, kalau di KBBI, monster berarti binatang, orang, atau tumbuhan yg bentuk atau rupanya sangat menyimpang dari yang biasa. Sebenarnya, monster juga sudah ‘setua’ Sundel Bolong dkk. Bahkan, mungkin lebih tua lagi, karena monster berasal dari bahasa latin, peradaban latin dimulai ribuan tahun silam, sementara, jujur saja, sejarah bangsa kita baru dimulai dengan dimulainya Prasasti Mulawarman di Kutai, kira-kira tahun 400-an M.

Mengapa kata monster saat ini terasa begitu ‘modern’? Bisa jadi karena diangkat kembali oleh para imaginator dan beberapa meledak di pasaran. Saat ini, film kartun atau animasi bertema monster lebih lekat dengan anak-anak. Wajar sekali jika akhirnya anak-anak merasa takut kepada monster, karena saban hari dijejali oleh monster. Bahkan, pada anak yang nyaris ‘steril’ dan televisi seperti anak saya pun, akhirnya terkena wabah monster karena tentu saja dia berinteraksi dan mendapatkan informasi dari orang lain.

* * *

Oke, setelah berbicara panjang-lebar tanpa sistematika, mari kita beberapa hal penting. Pertama, perasaan takut karena ‘hantu’ ternyata bersifat abadi dan merupakan karakter alamiah manusia. Semodern apapun manusia, dia akan tetap mengalami rasa takut. Rasa takut (fear), muncul saat kita berhadapan dengan keadaan yang berbahaya. Namun, sebagai seorang insan beragama, tentu kita harus melawan rasa takut itu. Bisa jadi, hantu memang muncul karena gangguan jin, di ajaran agama Islam misalnya, kita banyak diberikan tuntunan bagaimana menghindari gangguan jin, seperti berta’awudz, membaca surat Al-Baqarah, dan sebagainya.

Kedua, pergeseran kultur, ternyata juga berpengaruh terhadap semesta perhantuan kita. Menurut Ibnu Khaldun, budaya yang kalah cenderung akan mengikut budaya yang menang. Jika saat ini kuntilanak, sundel bolong, wewe gombel dll. terkalahkan oleh sebutan zombie, vampire, drakula, bahkan monster, dengan lapang hati kita harus mengakui, bahwa kultur asli kita memang telah tergerus oleh kultur budaya yang ‘menang.’

Ya ampuuun, kurang kerjaan banget, soal perhantuan saja dikaitkan dengan kalahnya budaya! Kalau begitu, ayo kita kampanyekan kembali budaya kuntilanak, sundel bolong, wewe gombel? Ops, bukan begitu. Justru, saya ingin menyodorkan konsep hantu yang lebih ‘mendidik’ untuk kita dan anak-anak. Misalnya, hantu kemalasan, hantu kekikiran, hantuk ketidakpedulian dan sebagainya. Jika para imaginator sukses ‘menyusupkan’ konsep hantu yang begitu variatif, kenapa kita tidak berupaya melakukan hal yang sama untuk tujuan yang lebih baik?

3 komentar untuk "Dulu Kuntilanak, Sekarang Monster, Hantu dari Masa ke Masa"

Comment Author Avatar
hantu bagiku adalah bentar mikir dulu mbak. nanti saya bbm ya :D
habis ini baru bisa transfer mbak, kemarin gak bisa keluar, kalau wiken malah ga bisa keluar rumah, anakku sakit, perut melilit tak punya duit, untung nggak pailit :D
Comment Author Avatar
Jadi, hantu bagimu adalah: wiken :-p
Comment Author Avatar
hampir bener mbak. tepatnya anak sakit di tanggal tua dan itu wiken. eh juga tongpes ding. untung ada askes ups BPJS

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!