Aku Beli Karena Temanku Bilang Bagus!

Pernahkah Anda mendadak membutuhkan sesuatu?! peralatan bayi, gadget, buku, komputer, bahkan mobil atau rumah? Apa yang Anda lakukan untuk bisa mememenuhi kebetuhan Anda itu tanpa dikecewakan!
Ya, mencari informasi! Itu pasti yang Anda lakukan pertama kali. Sekarang, coba bayangkan, siapa yang kira-kira Anda tanyai berkaitan dengan informasi produk yang Anda butuhkan. Anda mungkin memang akan mencari-cari informasi ke produsen. Browsing ke website mereka, datang ke toko, berkunjung ke distributor produk tersebut, dan sebagainya. Tetapi, yakin deh, pasti di antara kita masih ragu-ragu untuk memutuskan, karena kita masih dibayangi dengan berbagai ketakutan. Takut dikecewakan. Tak percaya begitu saja dengan produsen.
Mana ada sih, produsen yang jujur? Semua iklan mah bohong, yang dijual kelebihannya doang. Atau, semua kecap yang nomor satu. Nggak ada yang nomor dua.
Eh, ngomong-ngomong, saya pernah mendapati seorang produsen yang melabeli kualitas produknya sebagai nomor dua. Waktu itu, saya sedang naik kendaraan, dan saya membaca spanduk berisi iklan sebuah warung bakso. Di iklan tersebut tercantum kalimat seperti ini: BAKSO TERLEZAT NOMOR DUA SEDUNIA! Saya terus terang nyengir baca iklan tersebut. Lazimnya, orang membuat iklan pasti pakai nomor satu. Nah, ini NOMOR DUA! Meski nomor dua—kalau benar, lho—dari  sekian juta warung bakso di dunia, pasti tetap sangat lezat. Mungkin si pemilik warung bakso sedang mencoba bersikap anti mainstream. Sayangnya, saya tak memiliki kesempatan berdiskusi dengan pemilik usaha tersebut, menanyakan efektivitas pelabelan produknya sebagai nomor dua itu. Jika ada, pasti bisa jadi kajian yang keren, yak?
Nah, kembali ke permasalahan di depan. Saya yakin, 90% konsumen tidak mau percaya begitu saja dengan ‘ocehan’ produsen. Jadi, langkah kedua setelah dia tertarik dengan spek produk yang dicari, dia akan menanyai teman-teman terdekatnya yang memakai produk itu. Alasannya bisa masuk nalar. Dia kenal si teman, dan si teman tak ada hubungan dengan produsen. Kita pasti akan bertanya, bagaimana pengalaman kamu memakai produk itu? Apa cacatnya? Apa kelemahannya?
Demikian pula dalam pemasaran buku. Rekomendasi dari para bookaholic—apalagi yang kita kenal dengan baik, seringkali menjadi acuan dari para pembaca buku untuk mengeksekusi buku apa yang bakal dibeli. Saya sendiri sering ditanya teman-teman, ada buku apa nih yang kamu rekomendasikan. So, ketika beberapa riset menyebutkan, bahwa buku yang meledak di pasaran, biasanya berasal dari promosi dari mulut-ke-mulut, menurut saya memang banyak benarnya.
Fenomena ini, dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai efek getok-tular. Atau Word of Mouth (WOM). Kalau dalam istilah kerennya, Malcolm Gladwell menyebutnya sebagai TIPPING POINT. Yang disasar dalam promo getok-tular ini adalah pribadi-pribadi yang secara alami bisa menjadi penyalur ide-ide, atau senang woro-woro dengan tren tertentu, namun pribadi itu dianggap ‘netral’ dan tidak memiliki kepentingan apapun dengan produsen. Biasanya, dia adalah sosok yang merasa sangat puas dengan kualitas produk dan dengan riang-gembira dia akan menyebarkan berita itu ke seluruh dunia.
Ada, lho… konsumen yang seperti itu. Saya termasuk di antaranya. Contohnya, saya adalah pengguna sebuah jasa operator seluler merk XYZ. Secara tidak sengaja, saya selalu mempromosikan produk itu kepada khalayak. Padahal, saya tak pernah dibayar. Diberi bonus pun tak pernah. Saya juga menyukai merk gadget tertentu, dan agak fanatik dengan merk tersebut. Secara otomatis, saya suka merekomendasikan merk tersebut kepada teman-teman yang sedang membutuhkannya. Kadang saya geli sendiri, mau-maunya mempromosikan produk itu, apa untung kita?
Oh, saya tidak untung secara langsung. Tetapi, membuat orang-orang yang kita sayangi mendapatkan kepuasan seperti apa yang saya dapatkan, itu juga sebuah keuntungan. Ini kuncinya, catat ya!
Nah, kata Gladwell, info sebuah produk itu sebenarnya bisa menyebar dengan cepat seperti wabah menular—dalam artian positif, lho. Jadi, tak perlu seorang marketer berseru-seru menggunakan corong di pasar mirip penjual jamu yang sedang berjualan. Ops, tetapi tentu saja tak semudah itu menjual produk dengan model Tipping Point.
Pertama, produk kita harus benar-benar berkualitas. Percayalah, dalam ilmu marketing, PRODUCT menempati urutan pertama dari rumus marketing mix 4P—Product, Price, Place & Promotion. Jadi, sebagus apapun promosinya, kalau produknya tidak nendang, juga tak ada gunanya. Betul, selera bisa diarahkan, tetapi naluri manusia tak bisa dibohongi. Produk yang meledak karena semata promosi yang gencar, mirip balon yang menggelembung: terlihat besar, tetapi rawan pecah.
Tentu saja produk yang berkualitas tak harus produk yang bisa memuaskan semua kalangan, selera bermain di sini. Tetapi, tentunya semua produk itu memiliki segmen, dan kesuksesan dari sebuah produk adalah ketika segmen yang kita tuju ternyata menyatakan puas dengan produk tersebut.
Kedua, setelah produk kita berkualitas, kita harus bisa menemukan pribadi-pribadi yang bisa menjadi ‘agen’ promosi tanpa perlu kita rekayasa. Jika produk yang kita pasarkan adalah buku, biasanya mereka adalah para bookaholic yang benar-benar ‘paham’ buku dan rajin membuat review tanpa diminta. Orang-orang seperti ini tidak bisa ‘disuap.’ Dalam artian, kalau produknya tidak bagus, dia tidak akan mengatakan bagus, berapapun diberi bayaran.
Ketiga, harus ada media yang bisa menjadi ‘corong’ dari agen tersebut. Di jagad IT seperti sekarang ini, kita bisa dengan mudah memanfaatkan Socmed. Karena itu, produsen harus memiliki akun Socmed dan meng-update terus menerus. Tetapi, awas! Memberikan product knowledge lewat Socmed juga harus hati-hati. Memborbardir teman di Facebook kita dengan tag-tag info produk, alih-alih mengundang simpati, malah bisa membuat mereka sebal dan memblokir kita.
Yup, di zaman ‘aku beli karena temanku bilang bagus’, memang kita kudu cerdas dalam menjual produk-produk kita. Nggak perlulah kita tempeli buku kita dengan ‘kebohongan publik’ seperti tulisan “Mega Best Seller”, asal produk kita benar-benar unggul dan kita bisa melakukan promo getok tular, sebenarnya produk kita berpeluang menjadi best seller secara alamiah. Yuk, kita coba!

2 komentar untuk "Aku Beli Karena Temanku Bilang Bagus!"

Comment Author Avatar
Mega bestsellet itu kayak apa? 100 rebu buku kejual? *melongo*

Beberapa kali saya menemukan penulis yang sebel sama review di Goodreads atau di blog yang pedes kayak sambalado tanak ba macho jo joriang. *plaaak* :D Tapinya, mau gak mau, pembaca serius yang emang demen bener ama buku adanya di situ. Ngumpulnya di situ. Jadi mau kayak apapun, yang namanya publikasi (dalam hal ini review) bad or good tetaplah publikasi. Bakalan jadi bahan omongan dan membuat karya dikenal.

Trus beberapa kali saya juga nemu kalo review itu gak sejalan sama penjualan. Ada buku yang dicaci-maki di Goodreads, eeeh ... dicetak sampe delapan kali. Ada buku lain yang bagus banget secara isi, hanya sampai cetakan pertama. Ini bisa jadi pertanyaan juga untuk teori tipping-point itu: yang bisa mempengaruhi penjualan buku itu maven (tukang review) atau bukunya sendiri? Atau ada hal lain di sana yang masih misteri dan kita belum tau?

Entah mengapa akhir-akhir ini saya jadi kepikiran (setelah mengamati sosmed dan kepo di akun beberapa penulis terkenal) kalo bisa jadi image penulis dan juga gimana penulis itu mem-branding karya dan diri mereka, lebih berpengaruh dibanding review dan hal lain. Tapi dari beberapa penulis yang suka cetak ulang dan terkenal itu, saya perhatikan, emang karyanya bagus juga. Pembaca membeli karena bukan hanya karena bagusnya tapi karena sosok penulisnya.

... dan karena ini pula kayaknya tempo hari saya masukin bukunya Edgar Allan Poe ke keranjang belanja sekali liat, ambil, tanpa repot-repot harus nyari review dan ngeliat blurb-nya kayak apa. Soalnya itu kan ... kan Edgar Allan Poe~!
Comment Author Avatar
Inget teori monopoli? Bagaimana agar dagangan laku? Bikin tidak ada saingan. Beberapa marketer menggunakan teknik itu. Tentu tidak dg model kompeni dengan bedilnya :-p ... tetapi dg dana promosi yg luar biasa, borong display di tobuk, juga lobi2 dg distributor... so, memang akhirnya banyak buku yg dinilai 'kurang', tetapi laku keras. Krn memang itu yg 'dibuat' terlihat oleh pembaca yg kurang referensi.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!