Prostitusi Oh Prostitusi


Matahari sudah lama menghilang dari langit. Meski lampu jalanan mencoba mengambil alih suasana, tetap saja suasana pekat sukses membungkus mayapada. Saya dan Yuyun, berboncengan naik motor, menyusuri jalan di depan Taman Timur Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Di belakang kami ada Dodo dan beberapa teman putra yang mengawal kami. Bukan sekadar mengawal sebenarnya, karena justru Dodolah yang lebih dahulu mengenal sosok-sosok yang akan kami temui malam itu.

Saat itu, tahun 2002. Taman Timur terminal terkenal mesum. Tenda-tenda di trotoar depan taman bising oleh suara musik dangdut koplo. Beberapa lelaki terlihat sedang berjoged sembari mabuk. Untung posisi kami saat itu tidak di sebelah itu. Kami merapat di trotoar dekat jembatan, berarti ada di seberang jalan Taman Timur. Dua orang perempuan, sebut saja Mawar dan Melati, sudah menunggu kami di sebuah warung tenda yang berjualan ayam goreng.

Dodo menyapa mereka, lalu memperkenalkan saya dan Yuyun kepada Mawar dan Melati.

Begitu kami duduk melingkar di atas tikar sembari menunggu makanan yang kami pesan, Mawar langsung nyerocos. “Saya baru teler seharian,” katanya dalam bahasa Jawa ngoko. “Lha, pil obat sakit kepala tiga butir saya minum bareng sama minuman anu, anu dan anu…” dia menyebut merk sebuah minuman keras, minuman bersoda dan jamu yang cukup terkenal.

“Lha, kenapa bisa begitu, mbak?” tanya saya.

“Bengel sirahku, mbak!” Mawar memijit-mijit kepalanya. Tampaknya, sisa-sisa pusing masih ada. Saya bergidik membayangkan betapa nekad perempuan ini dengan ramuan obatnya yang ‘ajaib’. Untungnya tidak overdosis dan bablas ‘ko-it.’

Baiklah, saya ingin bercerita kepada Anda, bahwa Mawar dan Melati adalah dua orang perempuan yang berprofesi sebagai WTS. Wanita Tuna Susila. Ya, setelah dikritik habis-habisan oleh seorang dosen dari Jurusan Psikologi Undip yang memberikan mata kuliah Ilmu Sosial Dasar di kampus saya dulu, saya memang lebih senang menggunakan kata WTS daripada PSK. “PSK itu pekerja seks komersial!” teriak dosen saya tersebut. “Tidak layak seorang WTS menyandang kata ‘pekerja’ karena itu menunjukkan profesi.”

Mawar, saya kaget sekali, karena usianya masih sangat muda, masih belasan tahun. Lebih muda dari saya yang saat itu berusia 23 tahun. Bertolak belakang dengan Mawar, usia Melati  jauh di atas muda. Kepala empat! Sekilas, saya melihat Melati seperti ibu-ibu biasa, tak ada daya tarik yang terlalu memesona. Saya heran sekali, karena dia ternyata seorang kupu-kupu malam. Tentu dengan pelanggan kalangan pinggiran, dengan tarif hanya sekitar Rp 5.000,- saat itu.

Hiruk-pikuk Penutupan Lokalisasi Dolly, mendadak membuat ingatan saya tersedot pada mereka. Ya, ketika masih lajang dahulu, saya dan sahabat saya, Yuyun, sempat hendak melakukan pendekatan kepada mereka. Memberikan pembinaan, pengajian, penyadaran… atau apalah, sejenis itu. Ya, semangat saya saat muda memang membara luar biasa.

Saya dan Yuyun sering mendatangi pemukiman para WTS itu di gubuk-gubuk liar dekat timur terminal. Seringkali saat kami datang pagi-pagi, mereka masih terlelap karena kelelahan bekerja di waktu malam. Saya sering melihat tanda-tanda penyakit kelamin seperti gonorrhea pada lapisan mukosa bibir, hidung atau mata. Oleh para senior yang berprofesi dokter, kami diwanti-wanti untuk sangat berhati-hati, dan kalau perlu menggunakan sarung tangan lateks saat bersama mereka.

Tak mudah memberikan penyadaran kepada mereka! Nyata-nyatanya, kami gagal. Entah karena kami yang kurang gigih, atau mereka yang memang sudah telanjur menganggap bahwa kubangan lumpur mereka terlalu pekat; atau memang masyarakat—juga pemerintah yang kurang peduli?

* * *

Prostitusi sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Di Yunani kuno, ada beberapa istilah untuk menyebut kata pelacur. Pornai adalah pelacur yang paling rendah, yang berasal dari kalangan budak. Tarif mereka 1 obolus, atau sekitar seperenam gaji harian buruh terendah masa itu, yakni abad 5 SM. Sedangkan pelacur yang berkedudukan paling tinggi adalah hetaera, yang pelanggannya adalah para pejabat tinggi, bahkan raja. Hetaera ini mirip geisha di Jepang, mereka pintar, belajar banyak hal, termasuk kesenian. Sejenis hetaera dan geisha juga ada di daerah lain. Di Byzantium, kita mengenal kisah Theodora, seorang pelacur kelas tinggi yang akhirnya menjadi seorang permaisuri dan memerintah bersama suaminya, Justinianus I. Jika kita belajar sejarah dunia, kita juga mengenal kisah-kisah pelacur kelas tinggi yang ternyata terlibat dalam percaturan politik papan atas. Apakah di Indonesia saat ini ada juga pelacur-pelacur kelas tinggi yang terlibat dalam percaturan politik? Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang!

Pelacuran, memang sebuah fenomena yang membuat miris. Seorang pegawai dari Dinsos Kota Solo pernah berkata kepada saya, bahwa beliau mendapati, banyak WTS yang saat pergi bekerja bahkan diantar dan pulangnya dijemput oleh suaminya, atau ayahnya. Alih-alih melarang, mereka bahkan menganggap prostitusi sebagai sumber penghidupan.

Pelacuran tak hanya terjadi di hotel-hotel, tetapi juga di sudut-sudut permukiman kumuh. Tempat terjadinya transaksi juga tak melulu kamar-kamar indah ber-AC, tetapi juga bekas makam, atau gubuk liar. Di hotel, tarif short service atau long service tentu saja mahal. Delapan tahun silam, seorang teman yang bekerja di sebuah hotel bintang empat kota Solo, menyebut bahwa tarif WTS kelas hotel, untuk short service atau pelayanan 2 jam, sekitar Rp 200.000. Silakan bilang WOW!

Sementara, dengan hanya bermodal beberapa lembar ribuan kumal saja, lelaki hidung belang dari kelas bawah, sudah bisa memuaskan syahwatnya dengan cara haram itu. Jika di Gang Dolly, Walikota Tri Rismaharini menemukan seorang WTS nenek-nenek yang melayani bocah usia SD, di beberapa tempat dekat Solo, juga ada WTS tua yang melayani jasa dengan tarif sangat murah. Hanya saja, saya belum mendengar cerita ada anak SD yang sudah menggunakan jasa seks haram itu.

Ya, sesungguhnya, praktik prostitusi memang telah menjadi fenomena Gunung Es. Hampir setiap kota, terdapat praktik-praktik pelacuran. Di Solo, dahulu, ada lokalisasi yakni Silir di Semanggi, yang berdekatan dengan Sungai Bengawan Solo. Lokalisasi yang dibentuk sejak zaman Jepang itu ditutup pada tahun 1998 oleh Walikota Imam Sutopo. Saat ini, Silir telah menjadi Pasar Klithikan, dengan PKL pindahan dari Monumen 17 Agustus yang dipindah pada masa Walikota Joko Widodo.

Di Jakarta, misalnya, dulu ada lokalisasi Kramat Tunggak yang menempati lahan 12 hektar, dengan ribuan WTS, dan menjadi lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Oleh Gubernur Sutiyoso, pada tahun 1999, lokalisasi tersebut ditutup. Bahkan, sebagai antithesis, di atas lokasi tersebut kemudian dibangun Jakarta Islamic Centre.

Bagaimana dengan Dolly? Lokalisasi ini terletak di Gang Dolly, Jalan Jarak, Surabaya. Nama Dolly berasal dari Dolly van der Mart, nama seorang wanita keturunan Belanda yang menjadi mucikari. Jadi, Dolly memang sudah ada sejak zaman Belanda. Namun, menurut Ashadi Siregar  dalam bukunya: "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly” (Grafiti Pers, April 1982), kemunculan lokalisasi ini baru dimulai pada tahun 1967, ketika Dolly Khavit mendirikan rumah bordil di tanah bekas makam Tionghoa. Hingga kini, ada sekitar 9000 WTS di lokalisasi ini.[1]

Menurut hitungan AFP, dalam sehari semalam, uang yang berputar di kawasan ini mencapai Rp 300 juta hingga Rp 500 juta (25.000 dollar AS - 42.000 dollar AS). Uang itu sebagian besar dinikmati oleh para pedagang kaki lima di sekitar lokasi, para sopir taksi dan tukang ojek. Adapun para WTS mendapatkan penghasilan sebesar Rp 10 juta-Rp 13 juta rupiah per bulan (850 dollar AS-1.100 dollar AS).[2]  Berarti, jika ada sekitar 9000 WTS mendulang rupiah di sana, maka uang yang mengalir ke WTS sekitar Rp 90 milyar hingga Rp 117 milyar dalam sebulan!

Pantas saja ketika Walikota Surabaya saat ini, Tri Rismaharini, bermaksud melakukan penutupan lokalisasi ini, penentangan yang terjadi begitu kerasnya. Anehnya, penentangan tak hanya terjadi dari para pelaku bisnis esek-esek ini, tetapi juga dari para wakil rakyat. Benar-benar aneh!

* * *

Hari ini, 18 Juni 2014, ditetapkan sebagai hari penutupan Lokalisasi Dolly. Ketegasan Tri Rismaharini patut kita apresiasi. Pun dukungan dari berbagai pihak, di antaranya Mensos Salim Segaf al-Jufri. Semoga penutupan ini berlangsung lancar. Masih ada kota-kota lain yang memiliki lokalisasi, misal Sunan Kuning di Semarang, Saritem di Bandung dan sebagainya.

Dan untuk para WTS, jangan lupa, pintu pertaubatan masih terbuka. Bahkan, dalam sebuah hadist disebutkan, bahwa ada seorang pelacur yang diampuni dosanya karena memberikan minuman pada seekor anjing yang kehausan.

Dari Abi Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda, “Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, ‘Anjing ini hampir mati kehausan’. Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum.” (H.R. Bukhari).

Tentu ini tak berarti bahwa hanya karena memberi minum semata, maka si pelacur lantas terbebas dari dosa-dosanya. Hadist ini menunjukan bahwa pintu berbuat kebaikan untuk seorang pelacur pun senantiasa terbuka. Akan tetapi, harus ada taubat nasuha, meninggalkan kehidupan yang penuh maksiat dan benar-benar serius meraih kehidupan yang penuh berkah. Wallahu a’lam.

Namun, satu yang harus dicatat, kontrol yang kuat dari masyarakat juga harus semakin ditingkatkan. Zaman sekarang ini, pejabat publik dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga isu-isu semacam ini harus terus digulirkan masyarakat. Jangan hanya sekadar jadi silent majority yang diam dan cuek terhadap berbagai permasalahan. Teruslah bergerak memberi tekanan-tekanan terhadap pihak yang berwenang. Termasuk dalam masalah prostitusi. Ya, karena segala bentuk prostitusi di muka bumi harus dihapuskan. Setuju?


[1] http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-tante-dolly-dan-legenda-gang-prostitusi-di-surabaya.html

[2] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/16/1212315/Dolly.Ditutup.Inilah.Pendapatan.Surabaya.yang.Melayang

Sumber foto: GVWire.com

7 komentar untuk "Prostitusi Oh Prostitusi"

Comment Author Avatar
Suka tulisannya, dari satu artikel bisa mengupas semuanya. Semangat untuk Bu Risma, kami mendukung dan mendoakan kemenangan untuk kebaikan.
Comment Author Avatar
Terimakasih sudah berkunjung :-)
Comment Author Avatar
Baru tahu ada buku yang membahas Dolly..
Comment Author Avatar
Iya, bukunya sudah lecek, dan sudah tak beredar di pasaran. Tapi saya punya, mau?

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!