Selamat Hari Dokter Nasional! (Catatan Hati Seorang Istri Dokter)

Bersama suami saat beliau diambil sumpahnya sebagai dokter

Saat saya menuliskan catatan ini, kalender menunjukkan angka 24 Oktober. Jujur ya, sebelum suami saya memposting status di akun media sosialnya, saya tidak tahu bahwa 24 Oktober adalah Hari Dokter Indonesia. Biarin dibilang kudet, hehe. Nyatanya memang baru tahu, kok. Nah, karena mencari tahu detil-detil segala sesuatu adalah hobi saya sejak kecil, maka saya pun segera mengklik Google. Mungkin kata kuncinya keliru. Saya tulis Sejarah Hari Dokter Nasional, ternyata tak ada satu pun postingan yang bisa ‘menjawab’ dengan jelas. Saya sempat ‘mencurigai’ bahwa keyword ini kurang populer karena para insan medis mungkin tidak hobi ngeblog. Ternyata, lagi-lagi saya yang salah memasukan keyword. Buktinya, setelah keyword saya ganti dengan Hari Dokter Indonesia, saya bertemu dengan beberapa posting yang lumayan menjawab permasalahan.

Ternyata nih, pada tanggal tersebut, Dr. R. Soeharto atas nama Pengurus IDI menghadap notaries R. Kadiman guna mencatatkan pembentukan IDI yang disepakati berdasarkan Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia yang diadakan tanggal 23-29 September 1950 di Deca Park, Jakarta. Selanjutnya setiap tanggal 24 Oktober ditetapkan sebagai hari ulang tahun Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Saya berpikir, semoga suatu saat, 22 Februari, yang merupakan hari lahir Forum Lingkar Pena diperingati sebagai Hari Penulis Indonesia.

Sepertinya, saya memang perlu diguyur dengan secangkir kopi (weleh-weleh!). Wong 35 tahun menghirup udara di bumi ini, ternyata saya malah baru tahu bahwa para dokter memiliki hari khusus. Padahal, napas kedokteran telah sebelas tahun membersamai hidup saya, khususnya setelah mendapatkan kekasih hati seseorang yang berprofesi dokter (ceile). Sebagai ‘tebusan’ rasa bersalah, maka tertulislah postingan ini.

Bagaimana rasanya menjadi istri dokter? Hm, apa ya? Yang jelas, karena menjadi istri dokter, saya akhirnya dipanggil sebagai Bu Dokter. Seorang penulis yang juga berprofesi sebagai dokter, Mbak Tunjungsari, pernah membuat tebak-tebakan kepada saya: “Apa beda saya dengan mbak Afra?” Tanpa menunggu saya menjawab, Bu Dokter (beneran) Tunjungsari sudah menjawab, “Kalau saya jadi dokter karena ijazah, kalau Mbak Afra jadi dokter karena ijabsah (maksudnya ijab/menikah dengan sah).” Yak, seratus!

Karena berstatus sebagai ‘Bu Dokter (Ijabsah)’, orang yang tidak paham suka mengira saya bisa mengobati orang sakit. Pernah suatu saat ada anak kecil datang ke rumah dengan berlumuran darah karena jatuh saat bermain bola. Saya bilang, suami sedang tidak ada, tetapi ibu si anak memaksa dengan air mata berlinangan. Akhirnya, saya pun membersihkan luka si anak, memberi betadin, lalu membalutnya dengan kain kasa. Pulang ke rumah, suami saya sempat marah, karena saya bisa-bisa melanggar undang-undang praktik kedokteran. Dengan hati dag-dig-dug saya pun mencoba menjawab, “Lho, ini kan pertolongan pertama pada kecelakaan, Mas! Gini-gini saya kan eks PMR dan Pramuka.” Alhamdulillah, jawaban saya diterima dengan lapang dada.

Tetapi, lama-lama akhirnya saya jadi hapal juga, kalau sakit kepala obatnya apa. Anti nyeri obatnya apa. Diare, sakit gigi, sakit hati… ops! Tapi saya tahu, tak semudah itu memberikan obat kepada orang sakit. Butuh keahlian dan pengetahuan khusus.

* * *
Bagaimana rasanya menjadi istri dokter? Sepertinya, mungkin rada gengsi ya? Itu penilaian orang. Tetapi, yang saya rasakan justru tuntutan untuk siap berkorban. Saya masih teringat ketika terjadi peristiwa tsunami di Aceh di akhir tahun 2004. Saya masih tercenung menatap kehancuran besar-besaran yang terjadi di bumi Serambi Mekah sambil menggendong anak pertama saya, Anis, yang saat itu baru berusia 40 hari di layar televisi. Air mata tak henti-henti mengalir menyaksikan betapa dahsyat bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh saat itu. Mendadak, sebuah panggilan telepon berbunyi. Suami saya segera mengangkat telepon selulernya, bercakap-cakap sejenak. Setelah panggilan berakhir, Mas Ahmad menatapku sejenak, dan berkata. “Ummi, nanti sore Abi berangkat ke Aceh.”

Beliau menyebut kata “Aceh” dengan begitu enteng, seakan-akan Aceh itu hanya beberapa kilometer dari Solo. Saya terkejut. Suami saya pun melanjutkan. “Jam empat rombongan akan berangkat.”

Tanpa banyak bicara, Mas Ahmad pun berkemas. Waktu yang singkat, sekitar 2-3 jam dia gunakan untuk menyiapkan segala sesuatu. Baju, alat-alat kesehatan, obat-obatan dan sebagainya dia packing dalam sebuah ransel besar. Jam empat tepat, beliau pun pergi meninggalkan rumah kontrakan kami saat itu. Saya sendirian di rumah tersebut, bersama seorang bayi yang baru berumur 40 hari. Saat itu kami tak punya pembantu, keluarga pun jauh, ada di luar kota.

Ya, menjadi istri seorang dokter, apalagi dokter tipikal relawan seperti suami saya, tentu harus disertai kesiapan mental. Tak hanya saat Aceh. Ketika gempa bumi di Yogya, sekitar 1 bulan beliau bolak-balik Solo-Klaten-Yogya. Saat itu, beliau memang menjadi penanggungjawab sebuah klinik yang dikelola oleh Bulan Sabit Merah Indonesia. Beliau jarang sekali di rumah. Kalaupun di rumah, paling hanya sejam dua jam untuk menyetor pakaian kotor dan mengambil pakaian bersih. Lantas, ketika musibah demi musibah terjadi di bumi pertiwi ini, saya pun harus merelakan suami melakukan tugas-tugasnya.

Kesiapan yang lain, sepertinya kecil saja, tetapi jika tidak dipahami dengan baik, akan jadi masalah juga. Misalnya, jatah libur yang minim. Beberapa kali suami saya mendapat jadwal jaga di rumah sakit pada hari raya Idul Fitri. Kalaupun dapat jadwal liburan, paling banter hanya tiga hari.

Jadi, apa asyiknya menjadi istri dokter? Banyak! Saya merasa harus lebih banyak mengalah kepada kepentingan orang banyak. Saya sangat menyadari, menjadi dokter adalah sebuah pengabdian. Termasuk digedor orang jam 2 malam, padahal jelas-jelas di papan nama tercantum jam praktek, itu juga bagian dari pelayanan. Kalaupun saya tidak terlibat dalam proses pengabdian tersebut, mengikhlaskan suami ‘direbut’ umat, saya kira juga bagian dari sebuah perjuangan bukan?

Baiklah, untuk suami saya tercinta, serta para sahabat dokter sedunia, Selamat Hari Dokter Indonesia! Semoga Allah memberkahi kalian semua. Amiin.

4 komentar untuk "Selamat Hari Dokter Nasional! (Catatan Hati Seorang Istri Dokter)"

Comment Author Avatar
subhanallah... perjuangan bnget, bunda
barakallah nggeh, bunda... ^_^
Comment Author Avatar
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh, syukron atas sharingan nya ummi ^^

hmm harus siap lahir dan batin :( Bismillah :)

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!