Widget HTML Atas

Asma Nadia, Surga Yang Tak Dirindukan, dan New Wave Marketing


Film “Surga yang Tak Dirindukan” akhirnya berhasil memecahkan rekor box office film Indonesia dengan hampir  1,5 juta penonton. Selamat, Mbak Asma! Ya, ucapan selamat sangat layak diberikan kepada Mbak Asma Nadia, sebab pada periode Januari-Juli 2015, memang tak ada satu pun film Indonesia yang berhasil menembus angka sejuta penonton.  


Sebelum itu, film yang diangkat dari novel beliau, “Assalamu’alaikum Beijing” juga menuai kesuksesan dengan penonton yang hampir menembus sejuta orang. Sekali lagi, selamat untuk mbak Asma!


Saya tahu sendiri, perjalanan Mbak Asma untuk bisa menembus perfilman Indonesia sangat panjang. Beliau mulai wara-wiri menulis di media sejak pertengahan tahun 1990-an, dan menerbitkan buku pertama kali jelang akhir 1990-an. Jadi, beliau membutuhkan waktu sekitar 20 tahun untuk eksis di perfilman. Lepas dari pro dan kontra tentang konten kedua film tersebut (dan saya memilih untuk tidak mempermasalahkannya),  keberhasilan ini tentu berasal dari kerja keras, kefokusan, dan konsistensi luar biasa. Dan tentang betapa ulet dan fokusnya mbak Asma, saya memang harus memberikan acungan jempol.



Saya bertemu pertama kali dengan Mbak Asma Nadia pada tahun 2000, yakni saat beliau hadir untuk membedah buku pertama saya, “Genderuwo Terpasung.” Acara bedah buku berlangsung sangat sederhana, lesehan dengan tikar di halaman SMA 3 Semarang. Meski begitu, acara berlangsung meriah. Selain mbak Asma, hadir juga Uda Halfino Berry (pimpinan dari penerbit Asy-Syaamil) yang mewakili penerbit, dan Mas Prie GS, budayawan asli Semarang yang terkenal ngocol. Saat itu, Mbak Asma sudah cukup eksis dengan buku-bukunya, di antaranya Serial Aisyah Puteri, Pesantren Impian dan beberapa buku lainnya. Buku-buku tersebut, menurut Uda Halfino, terjual puluhan ribu eksemplar, sebuah angka fantastis untuk penjualan buku-buku karya penulis lokal di Indonesia.

Dari perjumpaan perdana, kemudian disusul dengan perjumpaan-perjumpaan selanjutnya (karena kami aktif di organisasi yang sama, yaitu Forum Lingkar Pena), saya mengambil kesimpulan, bahwa Mbak Asma memang seorang pejuang tangguh yang ulet dan fokus. Wajar saja jika beliau terus bertahan, dan bahkan terus melejit memasuki ranah-ranah baru tanpa harus meninggalkan identitas sebagai penulis dengan genre fiksi Islami. Ketika penulis-penulis fiksi Islami lainnya bertumbangan, Mbak Asma terus eksis berkarya. Dan beliau sukses. Ini harus diakui.

Apa sebenarnya di balik kesuksesan Mbak Asma? Toh selain beliau, sebenarnya banyak juga penulis-penulis lain yang memiliki start sama, dan sempat meniti kesuksesan dengan level yang awalnya nyaris sama dengan beliau?

The New Wave Marketing
Tentu banyak faktor, tetapi saya ingin membidik satu faktor yang menurut saya menjadi penyebab utama kesuksesan Mbak Asma, yakni pemilihan segmen pasar (baca: pembaca) yang tepat. Mbak Asma dan jajaran tim publicist-nya ternyata menggunakan teknik yang disebut dengan The New Wave Marketing dengan sangat baik.

Apa itu The New Wave Marketing?

Jadi, begini, Sobat… sebenarnya, dunia marketing telah bergerak dengan cepat. Dahulu kita mengenal konsep legacy marketing atau marketing tradisional dengan pendekatan yang cenderung vertikal. Pemasar, menggunakan hanya “one way” dengan pendekatan “one to many” sehingga tidak memungkinkan adanya interaksi yang intens antara pemasar dengan user. Ini disebabkan karena media yang dipakai pun cenderung media searah, seperti koran, iklan TV, iklan radio dan media-media tradisional lainnya. Marketing semacam ini lebih dikenal sebagai Marketing 1.0.

Marketing tipe 1.0 ini sebenarnya sudah sangat ketinggalan zaman, dan tidak lagi relevan dengan perkembangan yang terjadi saat ini. Pada tipe marketing gaya 1.0 ini, konsumen melulu menjadi “objek penderita” yang menjadi sasaran alias target market dari produsen.

Selangkah lebih maju, adalah marketing 2.0, dimana arah marketing menjadi lebih interaktif, terutama karena media yang digunakan juga berplatform 2.0 alias interaktif. Interaksi sudah tidak lagi “one to many”, tetapi “many to many”. Konsumen dan produsen sudah bisa saling berinteraksi dan membangun jembatan kedekatan yang "manis" dan emosional.

Media-media ber-platform 2.0 antara lain media sosial yang sangat populer. Akan tetapi, marketing 2.0 sendiri tidak cukup untuk berhasil, meski jauh lebih efektif ketimbang era marketing 1.0 atau legacy marketing. Marketing 2.0 akhirnya berkembang menjadi marketing 3.0, inilah yang dikenal sebagai “The New Wave Marketing.”

Apa perbedaan mendasar dari ketiga platform tersebut? Menurut pakar marketing, Hermawan Kertajaya, marketing 1.0 adalah marketing level intelektual, marketing 2.0 adalah marketing level emosional, sedangkan marketing 3.0 adalah marketing level “human spirit”.
Antara 3 tipe gaya marketing tersebut, tampak terang benderang perbedaan antara tipe pertama dan ketiga, namun samar di level kedua, karena itu, marketing 2.0 sebenarnya sebuah pembuka yang radikal dari lahirnya konsep-konsep yang lebih kontemporer. 

Ya, sejatinya, dunia marketing memang telah berubah secara radikal. Penyebab utamanya, menurut Kotler dan Keller (2009), selain globalisasi, juga perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Kedua hal ini, ternyata telah mengubah perilaku konsumen (customer behaviour) dalam memutuskan sebuah pembelian.

Satu pergeseran yang sangat kentara adalah terbentuknya pasar baru yang sangat potensial, yaitu “woman, netizen, and youth”; menggeser pasar konvensional yaitu “man, citizen and senior”. Menurut Hermawan Kertajaya, jika pada era legacy marketing, keputusan pembelian sangat ditentukan oleh “man, citizen and senior”, di mana karakter mereka cenderung konservatif, kaku, sangat memperhatikan mutu ketimbang kemasan, banyak berpikir dan mengandalkan intelektual, maka pasar baru yang terbentuk yakni “woman, netizen, and youth”, cenderung lebih fleksibel, senang dengan sesuatu yang ringan namun renyah dan berfungsi, serta sangat dipengaruhi oleh emosi apalagi human spirit. Golongan kedua inilah sebenarnya yang disebut dengan “the new wave marketing”.  Naiknya Jokowi dan Ahok ke panggung politik, disebut-sebut merupakan keberhasilan teknik marketing menggunakan pendekatan terbaru: the new wave marketing. Sementara, kegagalan pesaing beliau, dinilai karena masih menggunakan pendekatan legacy marketing.

E-WOM dan Media Sosial
Golongan kedua ini juga sangat dipengaruhi oleh informasi dari mulut ke mulut yang berkembang secara viral melalui media-media elektronik, atau yang sering disebut sebagai Elektronik Word of Mouth (e-WOM). Dan apa kunci dari penguasaan opini via e-WOM? Yup! Penguasaan media sosial, karena sejatinya, e-WOM adalah kekuatan utama dari media sosial. Mau bukti nyata? Film Pendekar Tongkat Emas adalah kasus yang menarik dikaji. Berapa budget film ini? Siapa pemainnya? Seberapa gencar promosinya? Awal-awal film ini berjaya menarik penonton, namun tak bertahan lama. Setelah penonton yang kecewa "curhat" di media sosial, mekanisme e-WOM yang negatif muncul. Film ini pun akhirnya tak sesuai dengan harapan pembuatnya.

Berbagai studi ilmiah telah mengkaitkan dengan signifikan pengaruh keberhasilan proses branding melalui e-WOM. Sementara, branding yang sukses, menurut penelitian banyak kalangan, misal Esch dkk (2006), berkaitan signifikan dengan current dan future purchase.
Sekarang, mari lihat kesuksesan Mbak Asma Nadia! Pertama, dari segmentasi, beliau dan tim benar-benar mengincar pasar the new wave marketing, yakni “woman, netizen, and youth”. Lihatlah buku-buku Mbak Asma: sangat perempuan—yang cenderung muda, cenderung easy reading, menebarkan human spirit yang relatif mudah dipahami, dan berorientasi pada netizen (pengguna internet). Sama-sama menebar human spirit, kesuksesan yang sama tidak didapatkan pada sesama penulis fiksi Islami lainnya.

Faktor kedua, cobalah lihat betapa seriusnya Mbak Asma dan tim dalam memanajemen media sosialnya. Akun Twitter Mbak Asma Nadia sendiri di-follow oleh 413.560 akun. Sementara, Fanpage di Facebook beliau di-like oleh lebih dari 2 juta akun. Belum akun-akun media sosial lainnya, seperti instagram yang juga sangat aktif. Pengelolaan media sosial secara profesional, memang menjadi kunci keberhasilan dari e-WOM yang menjadi basis dari the new wave marketing. Saya menyesalkan beberapa penulis yang seperti ogah-ogahan mengelola akun-akun media sosialnya. Alih-alih mencoba mentransfer human spirit dan semangat positifnya, malah terkadang mereka terkesan mentransfer kejenuhannya dengan hiruk-pikuk media sosial. Ya, masing-masing sikap memang ada alasannya. Tapi, kalau memang itu pilihannya, ya terima aja konsekuensinya. Kalau menurut saya, ketika kita memilih untuk terjun di dunia publik, ya kita harus mampu menjaga brand image kita dengan baik.

Ini era the wave marketing, Bung! Tanggalkan konsep marketing tradisional Anda jika ingin produk atau layanan Anda diterima konsumen dengan gegap gempita, dan bahkan dengan suka cita mereka akan menyebarkan kepuasannya dalam memakai produk dan layanan Anda ke seluruh dunia. (@afifahafra79).

[Dilarang meng-copas tanpa izin, dan atau mengutip isi tulisan ini tanpa menyebutkan sumber].


39 komentar untuk "Asma Nadia, Surga Yang Tak Dirindukan, dan New Wave Marketing"

  1. Thank you sharingnya. Keren pembahasannya. Memang untuk sukses di jangka panjang butuh tim yg solid dan usaha yg konsisten

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul... tetapi yang paling penting adalah ketepatan dan konsistensi menggarap segmen yang dituju. Jadi, memang kudu fokus. Ini yang mungkin sulit buatku, buatmu juga kan? :-D

      Hapus
  2. Ya, perjalanan Mbak Asma panjang, bukan proses yang instan. MUngkin proses inilah yang perlu diungkap agar para pendatang baru mau belajar dan menjalani proses itu. Mudah-mudahan lain kali Mbak Asma bisa khusus membahas masalah strategi marketing-nya ini secara khusus kepada kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa dibikin buku khusus "Asma Nadia Way" :-D

      Hapus
  3. Kesuksesan Mbak Asma memang buah dari keuletan Mbak. Beliau menjaga lini pembacanya dengan terus berinterasi meskipun lewat media sosial. Dan ternyata itu yang membuatnya dicintai banyak pembacanya.

    Selain itu, media sosial yang aktif banyak dibantu oleh tim. Seperti Mas Dedi Padiku, beliau pernah bercerita kepada saya katanya yang sering update fan page Asma nadia itu beliau. Sementara sang Sumi mengelola Komunitas Bisa Menulis dimama membernya ratusan ribu. Sementara Fan Page itu jutaan. Wajar jika karya Mbak Asma Booming.

    Sama halnya apa yang dilakukan oleh Tere Liye. Dia merangkul pembacanya lewat quote motivasi Fan page. Kendati ada seorang yang bercerita dia ngak pernah beli buku tere liye. Tapi lantaran baca quote dari Tere Liye yang banyak di-share, ya akhirnya tertarik. Dan ini sebenarnya marketing gelombang baru yang dimaksudkan Bunda.

    Paling tidak, kesuksesan Mbak ini bisa menjadi loncatan inspirasi bagi sesama penulis. Kiranya kita bisa mengekor di jalan kesuksesan orang besar. Paling tidak kita juga harus menyempurnakan ikhtiar... Syukran mbak atas tulisannya. Menarik sekali ulasannya. Saya suka...!! Kayaknya bunda sanhat tahu betul konsep marketing...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ulet dan strategi yang tepat.
      Apa yang Idrus sampaikan di komen ini saja merupakan salah satu mekanisme "many to many" yang sangat efektif dan menjadi ciri khas the new wave marketing.

      Hapus
  4. Woman, netizen, and youth sudah menggeser man, citizen and senior. Kok bisa?

    BalasHapus
  5. Bener banget..
    Terutama media sosial, ia memang harus dikelola dengan baik dan digunakan untuk sarana pemasaran. Sangat powerful!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi ingat, jangan pemasaran model hard selling, lebih tepatnya soft selling, atau lebih ke branding. Jika kita gunakan medsos utk melulu hard selling (kecuali memang sejak awal sudah jelas dibikin sebagai olshop), pasti bakal ditinggal orang

      Hapus
  6. Bermanfaat ... Saya belajar dari sini ...

    BalasHapus
  7. Kalo saya, jujur lebih suka baca bukunya mbak Asma daripada nonton filmnya, karena seringnya tidak sama asli dengan yg di buku. Dapat ilmu banyak dari tulisannya mbak Afra, meskipun banyak bahasa yg baru buat saya, maklum, baru belajar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya itu memang tantangan tersendiri. Tidak mudah memvisualkan ide-ide dalam bentuk film. Tapi, di sini saya konsen ke marketingnya, bukan ke kontennya ^_^

      Hapus
  8. Kalo saya, jujur lebih suka baca bukunya mbak Asma daripada nonton filmnya, karena seringnya tidak sama asli dengan yg di buku. Dapat ilmu banyak dari tulisannya mbak Afra, meskipun banyak bahasa yg baru buat saya, maklum, baru belajar

    BalasHapus
  9. Thanks sharingnya Mbak Yeni. Sangat memberi semangat untuk bergerak lebih baik dan mencontoh Mbak Asma dalam hal keuletan dan konsistensinya. Semoga bisa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kita memang harus banyak belajar dari siapa saja yang telah sukses :-)

      Hapus
  10. Menarik sekali Mba bahasannya. Menurut saya Mba Afra sudah menemukan genre yang membuat Mba Afra dikenal orang: epik perjuangan Indonesia. Ada teman saya (laki) yang kalau ceritan tentang buku Mba Afra selalu berapi-api, dia ngefans sekali ke Mba Afra, dia nanya ke saya kapan ya lanjutan seri De Winst terbit? Dia nunggu banget tuh Mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe... sayangnya penyakit saya ini suka kambuh, penyakit tergoda untuk merambah kemana-mana, jadi suka kehilangan fokus

      Hapus
  11. Wah seru pembahasannya. Dapat pencerahan ttg marketing. Penjabaran dan studi kasus yg anyar.

    BalasHapus
  12. Subhanallah .., bermanfaat.., terima kasih mba..

    BalasHapus
  13. Di toko buku Afra, buku2 Mbak Asma Nadia juga laris manis

    BalasHapus
  14. Masyaallah...belajar banyaaaakkk nih :)

    BalasHapus
  15. Yang pasti HARUS PUNYA MANAJER, seperti artis2 gitu, dan saya tahu beliau pernah punya manajer yg punya lini ke dunia perfilman :D untuk kelola sosial media pun harus punya TIM. Tidak mungkin penulis harus fokus nulis tp juga kelola sosmed yg banyaknya naudzubillahm ya fb, twitter, IG, path, dll.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebelum mampu menggaji manajer, minimal penulis bisa melakukan strategi positioning dengan tepat dulu, lalu pelan-pelan membentuk branding awareness. Lama-lama akan terbentuk ingatan yang kuat dari pembaca, yang membuat mereka setia dan menunggu dg karya-karyanya

      Hapus
  16. Oleh sebab itu blogger kebanjiran rejeki krn brand mulai melakukan soft selling lewat medsos :)
    Terima kasih sharingnya mbk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul... produsen mulai menyadari perubahan radikal ini dan mulai mengalihkan biaya promo utk membentuk mekanisme e-WOM. Di satu sisi, ini membuat media2 tradisional "bangkrut" karena jumlah pemasang iklan berkurang drastis.

      Hapus
  17. Bedanya hard selling dan soft selling itu apa mbak? Saya masih belum paham.. apa kalau soft selling lebih bertuju pada nilainya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya perlu bahasan khusus di posting tersendiri untuk menjawab pertanyaan ini. InsyaAllah saya akan tulis :-)

      Hapus
  18. Ini luar biasa! Baru sempet baca detil

    alee | www.alimuakhir.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mas Ali... brand mas Ali sebagai penulis buku anak produktif sudah dapat, tuh... :-)

      Hapus
  19. mantap ini ilmunya, semua sosmed harus aktif gitu y? okelah kalo begitu :)

    http://www.naqiyyahsyam.com/

    BalasHapus
  20. tengkyu.mbak.. keren nih.infonya.. salam kenal :)

    BalasHapus
  21. Saya juga salut akan kejelian dan ketangkasan mba Asma menangkap peluang serta menggerakkan 'massa', Mba Yeni. 'Kampanye'-nya yang saya amati khususnya di IG dan fb ramai ditanggapi dan menjadi sarana pemasaran yang menurut saya efektif.

    BalasHapus

Posting Komentar

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!