Pentingnya Branding Untuk Penulis (Dan Profesi Lainnya)
Jika Anda ternyata pelanggan setia mereka, berarti Anda tidak hanya sadar akan brand mereka, mengasosiasikan nama dengan novel-novel detektif berkualitas tinggi, tetapi Anda juga loyal terhadap mereka. Mungkin, jika ada 10 novel se-genre dengan penulis yang berbeda, nama mereka akan tetap menjadi pilihan Anda.
* * *
Beberapa tahun ini, akhirnya saya
menyadari, bahwa pendapat saya itu keliru. Tidak ada hubungannya antara
ketidakikhlasan dengan upaya branding.
Juga bukan berarti upaya branding
yang terus menerus itu membuat kita berhenti dalam menciptakan kualitas.
Justru, perbaikan kualitas yang terus menerus juga merupakan bagian dari branding.
Apa sih, branding itu? David Aaker memberikan contoh begini. Ketika kita
melihat logo dan tulisan Google, secara otomatis kita akan ingatan kita akan
tertuju pada search engine paling
terkenal. Meski search engine itu
sebenarnya tidak hanya Google, tetapi benak kita sudah telanjur ditempeli brand
tersebut, bahkan seringkali tercetus dalam benak kita jika ingin mencari
sesuatu di internet: “Googling aja!” Atau, “Tanya sama Mbah Gugel.”
Asosiasi semacam itu, adalah bukti dari kesuksesan Google dalam melakukan branding. Dahulu, di zaman saya kecil (dan ternyata di desa ortu saya juga masih berlaku), orang selalu mengasosiasikan sepeda motor dengan Honda, padahal, belum tentu merk sepeda motor itu adalah Honda. “Eh, bapakku punya Honda baru.” Atau pengeras suara dengan Toa. Sarimi dengan mie instan, dan Ajino Moto dengan bumbu penyedap. Dan sebagainya. Itu berarti, brand Honda, Toa, Sarimi, dan Ajino Moto, sangat melekat di ingatan orang-orang di desa saya.
Aaker (2014: XV), menyebutkan bahwa
brand adalah sebuah janji satu organisasi (atau personal) kepada pelanggan
untuk memberikan apa yang menjadi prinsip dari brand tersebut, tidak hanya
manfaat fungsional, tetapi juga emosional, ekspresi diri, dan sosial. Bukan
sekadar pemenuhan “janji” malahan, tetapi brand
juga merupakan sebuah perjalanan dan hubungan yang berkembang berdasarkan
persepsi dan pengalaman yang dimiliki pelanggan saat berhubungan dengan brand
tersebut.
Asosiasi semacam itu, adalah bukti dari kesuksesan Google dalam melakukan branding. Dahulu, di zaman saya kecil (dan ternyata di desa ortu saya juga masih berlaku), orang selalu mengasosiasikan sepeda motor dengan Honda, padahal, belum tentu merk sepeda motor itu adalah Honda. “Eh, bapakku punya Honda baru.” Atau pengeras suara dengan Toa. Sarimi dengan mie instan, dan Ajino Moto dengan bumbu penyedap. Dan sebagainya. Itu berarti, brand Honda, Toa, Sarimi, dan Ajino Moto, sangat melekat di ingatan orang-orang di desa saya.
Bingung mencerna? Saya beri contoh yang
mudah, ya…
Begini… jika Anda seorang penulis, Anda
kemudian memberi “janji” kepada pembaca bahwa pembaca akan puas membaca karya
Anda, terinspirasi, tercerahkan, terhibur dan kemudian berubah menjadi lebih
baik. Janji itu juga bisa bersifat khusus, misal Anda seorang penulis novel
bergenre detektif. Anda berjanji akan membawa pembaca kepada ketegangan,
klimaks yang menawan, dan penyelesaian yang “di luar dugaan.” Proses pemenuhan janji Anda kepada pembaca,
itulah proses branding. Dan ketika pembaca
ternyata merasakan apa-apa yang Anda janjikan, berarti branding Anda berhasil.
Lebih dari itu, setelah janji Anda
kepada pembaca terpenuhi, mereka yang penasaran dengan Anda, akan mencoba
mencari informasi tentang Anda. Saya sendiri, ketika terpuaskan dengan sebuah
bacaan, biasanya akan mencari siapa si penulis itu sebenarnya? Saya akan
browsing, di mana websitenya, akun media sosialnya, dan mencoba berinteraksi
dengannya. Setelah dari interaksi tersebut ternyata saya juga mendapatkan
pengalaman yang seru, persepsi positif saya kepada si penulis tersebut akan
terbangun, dan itu akan membangun sebuah interaksi yang langgeng.
Bisa Anda
bayangkan, jika pembaca sudah setia dengan “brand” Anda? Mereka bukan saja
bersedia membeli karya-karya Anda, tetapi juga menanti-nanti. Dalam benak
mereka, penulis ya Anda itu. Yang lain? Lewaaat!
Branding berarti pembentukan brand. Hermawan Kartajaya (2009: 143) mendefinisikan
brand sebagai sebuah penyimbolan
segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi mengenai suatu perusahaan,
produk, jasa bahkan pribadi (personal
branding), juga negara. Brand adalah
representasi dari produk dan layanan, perusahaan, orang, atau negara, yang
merupakan cerminan dari value (perbandingan
antara apa-apa yang didapat dan apa-apa yang diberikan dari suatu brand) yang diberikan
oleh pelanggan.
Tahun 1980-an adalah saat di mana branding mulai menduduki peran strategis
dalam sebuah dunia marketing. Branding
mematahkan pendekatan-pendekatan marketing yang berbasis pada penjualan jangka
pendek seperti beli dua dapat satu, atau obral produk sampai 90% (waduuuh). Memang
strategi marketing jangka pendek itu sepertinya menghasilkan. Tetapi,
sesungguhnya mereka hanya sedang menciptakan kondisi di mana konsumen akan “mendikte”
produsen. Mereka akan berduyun-duyun membeli barang obral Anda, lalu menahan
pembelian saat Anda kembali ke harga normal, sampai Anda kehabisan cash money dan akhirnya mengobral produk
Anda kembali untuk mendapatkan cash
dalam jangka pendek.
Dalam sebuah marketing, sebenarnya
tujuan utamanya adalah menciptakan loyalitas pelanggan, bukan sekadar penjualan
jangka pendek. Salah satu cara menciptakan loyalitas pelanggan adalah dengan
upaya branding. Shimp (2003:442)
menyebutkan bahwa branding merupakan proses yang sangat penting dalam
pemasaran. Sedangkan menurut Aaker (2014: 3), brand adalah aset yang memiliki
ekuitas dan menggerakkan strategi serta performa bisnis.
Dalam persaingan
bisnis yang semakin ketat, brand yang
kuat akan menjadi salah satu faktor penting dan menentukan kemampuan sebuah
perusahaan dalam bersaing, sebab brand merupakan pembeda yang tegas antara
sebuah perusahaan dengan kompetitor. Saat ini, persaingan bisnis bukan lagi
pada persaingan produk, tetapi persaingan bagaimana sebuah perusahaan berusaha
membangun persepsi di benak konsumen tentang produk mereka. (@afifahafra79).
Mi instan yg top indomi boss hehe
BalasHapusKan aku cerita zaman kecil di desa. Saat itu indomie belum ada. Adanya sarimi. Kisah brand Sarimie tergilas Indomie, dan Indomie sekarang disaing ketat oleh mie sedap juga seru lho...
HapusMakasih, mbak. Hmmm... kalo disebut namaku apa yg mbak ingat? *ceritanyalaginyaribranding
BalasHapusOki Setiana Dewi, hehehe *ops
HapusSetuju, jadi, kalau pada awal nulis apa adanya, saat sudah asyik dengan satu tema akan membentuk "brand" tersendiri....
BalasHapusTemanya harus khas dan memiliki beda. Jika tema sama, penyajiannya yang harus unik
HapusAlhamdulillah...keren, mbak Afra....ilmu manfaat
BalasHapusTerimakasih, Eka...
HapusAlhamdulillah...ilmu bagus...keren, mbak Afra
BalasHapusAlhamdulillah...kereeenn
BalasHapusMakasih artikelnya, Mbak :) Kira-kira, saya sudah ter-branded dgn baik atau belum, ya? Hehehe.
BalasHapusBisa dicek di target market, misal bikin poling/survey ke sample, tanyakan apa yang mereka ingat jika nama "Lia Herliana" disebut.
HapusDi Padang mau kate merk motor ampe aje bilang motor ya Honda hahahha...
BalasHapusSamaaa dg di kampung saya. Hehe...
HapusDulu pernah ada tokoh masyarakat yang terpandang diwawancarai sebuah televisi nasional, dia juga nyebut motor sebagai Honda. Padahal motornya bukan Honda :-D
Ini luar biasa!
BalasHapusmantap pembahasannya kakak, branding honda adalah sepeda motor. dibenak banyak orang honda itu motor padahal bukan cuma motor doang, tapi lebih dari itu.
BalasHapusseperti inikah kekuatan branding ya. seorang penulis juga perlu juga membangun branding yang kuat sedari sekarang untuk menapaki sukses di masa mendatang.
makasih sharenya kak..
maaf kalo ada yg ga nyambung hihihi
Salah satu contohnya juga berlaku di saya pribadi Bu. Kalau penulis X ngeluarin buku, pasti akan dibeli dan dibaca, karena branding penulis tsb yg sudah melekat dan bukunya menemani hidup saya dari remaja.
BalasHapus