Pentingnya Branding Untuk Penulis (Dan Profesi Lainnya)


Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan untuk Anda, mari dijawab tanpa terlebih dahulu membaca artikel saya secara lengkap. Siapa penulis novel detektif yang Anda ingat? Jika jawaban Anda adalah Agatha Christie (AC) atau Sir Arthur Conan Doyle (Sir ACD) , maka berarti brand mereka sebagai penulis detektif telah melekat kuat di benak Anda.


Jika Anda ternyata pelanggan setia mereka, berarti Anda tidak hanya sadar akan brand mereka, mengasosiasikan nama dengan novel-novel detektif berkualitas tinggi, tetapi Anda juga loyal terhadap mereka. Mungkin, jika ada 10 novel se-genre dengan penulis yang berbeda, nama mereka akan tetap menjadi pilihan Anda.

Oke… AC dan Sir ACD mungkin diuntungkan oleh zaman. Saat itu, penulis yang ada tak sebanyak sekarang. Tak perlu susah payah melakukan upaya branding, nama mereka telah “ter-branding” dengan otomatis. Namun, kondisi saat ini sungguh berbeda. Kompetisi ketat di berbagai sektor usaha, telah menjadikan branding sebagai pilar utama kesuksesan pemasaran. Jadi, apa sebenarnya branding itu? Dan apa pentingnya branding bagi seorang penulis?

* * *

Sekitar sepuluh tahun silam, seorang penulis senior memberi nasihat kepada saya pentingnya seorang penulis melakukan sebuah upaya branding. Saat itu, saya menganggap “sepi” nasihat yang sebenarnya sangat berharga itu. Alih-alih mematuhi, saya malah terkesan antipati. Untuk apa sibuk-sibuk melakukan branding? Yang penting kita nulis saja, perbaiki kualitas terus menerus, dan … ikhlas!

Beberapa tahun ini, akhirnya saya menyadari, bahwa pendapat saya itu keliru. Tidak ada hubungannya antara ketidakikhlasan dengan upaya branding. Juga bukan berarti upaya branding yang terus menerus itu membuat kita berhenti dalam menciptakan kualitas. Justru, perbaikan kualitas yang terus menerus juga merupakan bagian dari branding

Apa sih, branding itu? David Aaker memberikan contoh begini. Ketika kita melihat logo dan tulisan Google, secara otomatis kita akan ingatan kita akan tertuju pada search engine paling terkenal. Meski search engine itu sebenarnya tidak hanya Google, tetapi benak kita sudah telanjur ditempeli brand tersebut, bahkan seringkali tercetus dalam benak kita jika ingin mencari sesuatu di internet: “Googling aja!” Atau, “Tanya sama Mbah Gugel.”

Asosiasi semacam itu, adalah bukti dari kesuksesan Google dalam melakukan branding. Dahulu, di zaman saya kecil (dan ternyata di desa ortu saya juga masih berlaku), orang selalu mengasosiasikan sepeda motor dengan Honda, padahal, belum tentu merk sepeda motor itu adalah Honda. “Eh, bapakku punya Honda baru.” Atau pengeras suara dengan Toa. Sarimi dengan mie instan, dan Ajino Moto dengan bumbu penyedap. Dan sebagainya. Itu berarti, brand Honda, Toa, Sarimi, dan Ajino Moto, sangat melekat di ingatan orang-orang di desa saya.

Aaker (2014: XV), menyebutkan bahwa brand adalah sebuah janji satu organisasi (atau personal) kepada pelanggan untuk memberikan apa yang menjadi prinsip dari brand tersebut, tidak hanya manfaat fungsional, tetapi juga emosional, ekspresi diri, dan sosial. Bukan sekadar pemenuhan “janji” malahan, tetapi brand juga merupakan sebuah perjalanan dan hubungan yang berkembang berdasarkan persepsi dan pengalaman yang dimiliki pelanggan saat berhubungan dengan brand tersebut.

Bingung mencerna? Saya beri contoh yang mudah, ya…

Begini… jika Anda seorang penulis, Anda kemudian memberi “janji” kepada pembaca bahwa pembaca akan puas membaca karya Anda, terinspirasi, tercerahkan, terhibur dan kemudian berubah menjadi lebih baik. Janji itu juga bisa bersifat khusus, misal Anda seorang penulis novel bergenre detektif. Anda berjanji akan membawa pembaca kepada ketegangan, klimaks yang menawan, dan penyelesaian yang “di luar dugaan.”  Proses pemenuhan janji Anda kepada pembaca, itulah proses branding. Dan ketika pembaca ternyata merasakan apa-apa yang Anda janjikan, berarti branding Anda berhasil.

Lebih dari itu, setelah janji Anda kepada pembaca terpenuhi, mereka yang penasaran dengan Anda, akan mencoba mencari informasi tentang Anda. Saya sendiri, ketika terpuaskan dengan sebuah bacaan, biasanya akan mencari siapa si penulis itu sebenarnya? Saya akan browsing, di mana websitenya, akun media sosialnya, dan mencoba berinteraksi dengannya. Setelah dari interaksi tersebut ternyata saya juga mendapatkan pengalaman yang seru, persepsi positif saya kepada si penulis tersebut akan terbangun, dan itu akan membangun sebuah interaksi yang langgeng.

Bisa Anda bayangkan, jika pembaca sudah setia dengan “brand” Anda? Mereka bukan saja bersedia membeli karya-karya Anda, tetapi juga menanti-nanti. Dalam benak mereka, penulis ya Anda itu. Yang lain? Lewaaat!

Branding berarti pembentukan brand. Hermawan Kartajaya (2009: 143) mendefinisikan brand sebagai sebuah penyimbolan segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi mengenai suatu perusahaan, produk, jasa bahkan pribadi (personal branding), juga negara. Brand adalah representasi dari produk dan layanan, perusahaan, orang, atau negara, yang merupakan cerminan dari value (perbandingan antara apa-apa yang didapat dan apa-apa yang diberikan dari suatu brand) yang diberikan oleh pelanggan. 

Tahun 1980-an adalah saat di mana branding mulai menduduki peran strategis dalam sebuah dunia marketing. Branding mematahkan pendekatan-pendekatan marketing yang berbasis pada penjualan jangka pendek seperti beli dua dapat satu, atau obral produk sampai 90% (waduuuh). Memang strategi marketing jangka pendek itu sepertinya menghasilkan. Tetapi, sesungguhnya mereka hanya sedang menciptakan kondisi di mana konsumen akan “mendikte” produsen. Mereka akan berduyun-duyun membeli barang obral Anda, lalu menahan pembelian saat Anda kembali ke harga normal, sampai Anda kehabisan cash money dan akhirnya mengobral produk Anda kembali untuk mendapatkan cash dalam jangka pendek. 

Dalam sebuah marketing, sebenarnya tujuan utamanya adalah menciptakan loyalitas pelanggan, bukan sekadar penjualan jangka pendek. Salah satu cara menciptakan loyalitas pelanggan adalah dengan upaya branding. Shimp (2003:442) menyebutkan bahwa branding merupakan proses yang sangat penting dalam pemasaran. Sedangkan menurut Aaker (2014: 3), brand adalah aset yang memiliki ekuitas dan menggerakkan strategi serta performa bisnis. 

Dalam persaingan bisnis yang semakin ketat, brand yang kuat akan menjadi salah satu faktor penting dan menentukan kemampuan sebuah perusahaan dalam bersaing, sebab brand merupakan pembeda yang tegas antara sebuah perusahaan dengan kompetitor. Saat ini, persaingan bisnis bukan lagi pada persaingan produk, tetapi persaingan bagaimana sebuah perusahaan berusaha membangun persepsi di benak konsumen tentang produk mereka. (@afifahafra79).

17 komentar untuk "Pentingnya Branding Untuk Penulis (Dan Profesi Lainnya)"

Comment Author Avatar
Mi instan yg top indomi boss hehe
Comment Author Avatar
Kan aku cerita zaman kecil di desa. Saat itu indomie belum ada. Adanya sarimi. Kisah brand Sarimie tergilas Indomie, dan Indomie sekarang disaing ketat oleh mie sedap juga seru lho...
Comment Author Avatar
Makasih, mbak. Hmmm... kalo disebut namaku apa yg mbak ingat? *ceritanyalaginyaribranding
Comment Author Avatar
Oki Setiana Dewi, hehehe *ops
Comment Author Avatar
Setuju, jadi, kalau pada awal nulis apa adanya, saat sudah asyik dengan satu tema akan membentuk "brand" tersendiri....
Comment Author Avatar
Temanya harus khas dan memiliki beda. Jika tema sama, penyajiannya yang harus unik
Comment Author Avatar
Alhamdulillah...keren, mbak Afra....ilmu manfaat
Comment Author Avatar
Alhamdulillah...ilmu bagus...keren, mbak Afra
Comment Author Avatar
Makasih artikelnya, Mbak :) Kira-kira, saya sudah ter-branded dgn baik atau belum, ya? Hehehe.
Comment Author Avatar
Bisa dicek di target market, misal bikin poling/survey ke sample, tanyakan apa yang mereka ingat jika nama "Lia Herliana" disebut.
Comment Author Avatar
Di Padang mau kate merk motor ampe aje bilang motor ya Honda hahahha...
Comment Author Avatar
Samaaa dg di kampung saya. Hehe...
Dulu pernah ada tokoh masyarakat yang terpandang diwawancarai sebuah televisi nasional, dia juga nyebut motor sebagai Honda. Padahal motornya bukan Honda :-D
Comment Author Avatar
mantap pembahasannya kakak, branding honda adalah sepeda motor. dibenak banyak orang honda itu motor padahal bukan cuma motor doang, tapi lebih dari itu.

seperti inikah kekuatan branding ya. seorang penulis juga perlu juga membangun branding yang kuat sedari sekarang untuk menapaki sukses di masa mendatang.

makasih sharenya kak..
maaf kalo ada yg ga nyambung hihihi
Comment Author Avatar
Salah satu contohnya juga berlaku di saya pribadi Bu. Kalau penulis X ngeluarin buku, pasti akan dibeli dan dibaca, karena branding penulis tsb yg sudah melekat dan bukunya menemani hidup saya dari remaja.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!