Bagaimana Sebuah Brand “Bekerja”?

David Aaker, Pakar Branding

Jadi, Sobat… sebagaimana saya sebutkan di artikel sebelum ini Writer on Branding #1:Pentingnya Branding, tahun 1980-an adalah dekade dimana para pimpinan-pimpinan perusahaan mulai berpikir serius untuk menggarap manajemen brand di organisasi mereka. Awalnya tentu tidak mudah, karena manajemen brand, ada kalanya terkesan bertolak belakang dengan keinginan para investor.

Ya, dimana-mana, investor pasti membutuhkan keuntungan dalam jangka pendek, hitungan bulan, bukan lagi hitungan tahun, apalagi lustrum, windu atau malah dekade. Cukup sulit untuk menggusur pemahaman konservatif, khususnya di kalangan manajerial, bahwa keberhasilan manajemen adalah tatkala mereka mampu mengalirkan cash-in dalam hitungan jangka pendek. Branding memang jalan panjang. Pada seorang penulis, branding butuh waktu lama, serta konsistensi luar biasa. Namun, branding yang berhasil, akan mengalirkan kesuksesan yang bertahan lama.

Tempo dulu organisasi bisnis bisa mengalirkan kas dengan konsep Marketing Mix, yaitu:

Product à Price à Place/Distribution à Promotion à Purchase

Product digenjot, harga diturunkan, distribusi diperluas dan promosi dipergencar, maka penjualan akan terjadi. Tetapi, siapa yang bisa menjamin hal itu bisa terjadi di zaman ini? Tentu bukan berarti marketing mix tak dibutuhkan lagi. Akan tetapi, pada era globalisasi, dengan persaingan bisnis yang ketat, 4 P à Purchase tersebut belum cukup. Perlu dibentuk loyalitas terhadap brand yang membuat konsumen tak sekadar melakukan repeat buying, tetapi setia pada brand, dan bahkan “tanpa sadar” ikut mempromosikan brand tersebut “tanpa dibayar.” Bukankah konsumen yang loyal adalah aset tiada tara bagi sebuah organisasi bisnis? Sayangnya, banyak yang belum menyadari pentingnya membangun loyalitas pelanggan. Selain biayanya memang relatif besar, banyak pebisnis memilih keuntungan sesaat dengan cepat. Wajar saja kemudian di pasar kita menjumpai “hal-hal ajaib”.

Sebagai contoh, suatu hari saya membeli setoples kue basah. Bagian atas kemasan terlihat begitu bagus, ternyata begitu barisan kue dibuka, bagian bawah berisi kue-kue hancur yang sengaja disembunyikan. Atau, pernah juga saya membeli sebuah buku, judulnya keren, prolognya cakep, tetapi isinya kedodoran. Mungkin si penulis dan si penerbit menganut prinsip bahwa pembaca akan menentukan pembelian hanya dengan membaca 10 halaman pertama. Konyolnya, saya juga sering terkecoh dengan naskah-naskah yang dikirim ke penerbit tempat saya beraktivitas. Sepuluh halaman pertama menakjubkan, sehingga saya pun merekomendasikan kepada editor untuk terbit. Tetapi, setelah membaca hingga selesai, editor complain ke saya: naskahnya kacau. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam mengeksekusi sebuah naskah.

Bagaimana sebuah “brand” bekerja?


Menurut David Aaker (2015), ekuitas brand terdiri dari tiga hal pokok, yaitu kesadaran/pengenalan akan sebuah brand (brand awareness), kualitas yang dirasakan (perceived quality),  dan  keterikatan seseorang kepada sebuah merek (brand association). Ketiga hal ini merupakan faktor penentu dari loyalitas pelanggan akan sebuah merek (brand loyalty). Dan brand loyalty tersebut ternyata berefek positif dan sangat signifikan terhadap purchase (penjualan).

Konsep branding diawali dengan bagaimana kita mengenalkan brand kita kepada khalayak, sehingga terbangun kesadaran mereka terhadap ‘brand’ kita. Untuk itu, brand yang harus ditawarkan harus sangat jelas, berbeda dengan rival, dan mampu menarik perhatian publik. Ketika senior-senior saya banyak menulis buku-buku bertema keluarga misalnya, saya mencoba mencari sesuatu yang unik dengan menawarkan fiksi bergenre sejarah. Menurut Ibu Cahyaningrum Dewojati, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, fiksi sejarah adalah tema yang jarang digarap oleh penulis novel populer.

Brand awareness bisa kita lakukan dengan banyak mengenalkan “bagaimana produk kita” kepada khalayak. Zaman sekarang, proses ini menjadi lebih mudah dengan adanya media sosial. Sampaikan kepada publik, bagaimana proses kreatif Anda, apa gambaran isi dari tulisan Anda, apa keunikan-keunikan yang Anda tawarkan, dan sebagainya. Saya lihat, banyak penulis yang masih ‘malas’ melalukan edukasi tentang ‘product knowledge’ mereka kepada khalayak.

Ketika akhirnya product kita dikonsumsi, konsumen akan menikmati kualitas yang kita janjikan, dari situlah akan terbentuk perceived quality. Awas, hati-hati! Dengan dana promosi yang gede-gedean, mungkin banyak sebuah brand sukses dalam proses pembentukan brand awareness, namun gagal di tahap perceived quality, karena produsen abai terhadap kualitas. Konsep perceived quality menepis anggapan bahwa branding itu semacam pencitraan kosong tanpa makna. Orang dengan karya secuil dan jeblok di kualitas, tak akan mampu menembus level ini.

Nah, dari brand awareness dan perceived quality inilah, keterikatan seseorang terhadap brand (brand association) mulai terbentuk, dan jika semakin menguat, akan muncul kesetiaan terhadap brand (brand loyalty). Memang, brand awareness yang sukses mungkin akan melahirkan purchase, tetapi tanpa tahap “pendalaman”, kesetiaan kepada brand tak akan terbentuk.

Lebih detil lagi, Esch dkk (2006) menjabarkan sebuah konsep tentang branding. Menurut Esch dkk, terdapat tiga tahapan yang terjadi dalam sebuah branding:
1.      Brand knowledge (unsurnya terdiri dari brand awareness dan brand image),
2.  Brand relationship (unsurnya terdiri dari brand satisfaction, brand trust dan brand attachment)
3.      Behavioural outcomes yang terdiri atas current purchase dan future purchase.


Brand knowledge akan berpengaruh terhadap brand relationship, dan brand relationship akan mempengaruhi behavioural outcomes baik berupa pembelian saat ini/jangka pendek (current purchase), maupun pembelian yang akan datang/jangka panjang (future purchase).

Nah, dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bagaimana sebuah brand bekerja untuk melahirkan sebuah penjualan yang “lestari”. Mengapa lestari? Sebab, penjualan yang terjadi dia tas, tak sekadar pertukaran produk antara konsumen dengan produsen, tetapi juga pertukaran fungsi-fungsi, ide-ide, emosi, kepuasan dan kebahagiaan. Jadi, seorang marketing adalah seorang “penjual” kebahagiaan, dia memenuhi kebutuhan Anda dan Anda menukarnya dengan sejumlah pengorbanan. Marketing bukan seseorang yang memaksa Anda dengan segala cara agar Anda mengosongkan dompet untuk sesuatu yang tidak ada perlukan. (@afifahafra79)

7 komentar untuk "Bagaimana Sebuah Brand “Bekerja”?"

Comment Author Avatar
Terima kasih infonya Mbak, sangat bermanfaat
Comment Author Avatar
Sama2 Tia... berbagi itu indah :-)
Comment Author Avatar
Cara mengenalkan brand yang jelas, berbeda dengan rival dan menarik perhatian publik tentu butuh kreatifitas ya mbak... Kalau ternyata yang kita tawarkan adalah sesuatu yang tidak terlalu populer atau kurang diminati konsumen yang kita sasar bagaimana mbak?

Misal untuk buku travelling, destinasi populernya orang Indonesia adalah Eropa atau negara2 maju bukannya negara2 yang 'tidak menarik' bagi mereka.

Ditunggu lanjutannya mbak.
Comment Author Avatar
Betul sekali. Justru brand yg bagus itu harus khas. Dan prinsip dari pembentukan brand awareness adalah mengkomunikasikan bahwa kita "berbeda" dg yang lain.

Soal buku2 travelling, saya kira tergantung cara penyajiannya saja.
Comment Author Avatar
Betul sekali. Justru brand yg bagus itu harus khas. Dan prinsip dari pembentukan brand awareness adalah mengkomunikasikan bahwa kita "berbeda" dg yang lain.

Soal buku2 travelling, saya kira tergantung cara penyajiannya saja.
Comment Author Avatar
Sangat bermanfaat! Branding sy rasa batu bisa dilakukan oleh orang yg produktif menghasilkan sesuatu. Tp sy yakin ada cara yg harus dilakukan secara konsisten oleh orang yg baru memulai sesuatu. Problemnya, sy td tahu apa caranya. Mbak apa bisa bantu? Salam, billyantoro.com
Comment Author Avatar
Apakah penampilan khas pada seseorang juga bagian dr branding?

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!