SEBILAH PISAU UNTUK MEMBELAH DADAKU

Sebuah Cerpen Afifah Afra

Tahukah kau, apa yang tengah sangat aku butuhkan sekarang? Bukan pakaian baru, atau oleh-oleh untuk keluarga di kampungku. Pakaian baru untuk lebaran yang datang sebentar lagi. Oleh-oleh menjadi kepantasanku saat mudik. Aku butuh itu, tapi tidak sangat. 

Ada satu yang saat ini harus kumiliki. Sebuah pisau. Pisau yang sangat tajam. Yang bisa membelah sesuatu seperti membelah tahu. Kau pernah membelah sepotong tahu? Bandingkan dengan saat kau harus memotong-motong daging alot untuk kau hidangkan sebagai makanan tuanmu. Pisau yang sangat tajam akan meringankan bebanmu saat harus mencincang daging alot itu menjadi potongan kecil-kecil yang pas untuk sekali suap ke mulutmu.

Ada bagian dalam hatiku yang telah membusuk. Baunya menguar, sangat mengganggu. Karena itu, aku butuh membelah dadaku, meraih hatiku, dan mengiris bagian yang busuk itu untuk kubuang keluar. Mungkin akan kubungkus plastik hitam dan kulempar ke tong sampah di depan rumah majikanku. Mungkin juga akan aku bakar bersama daun-daun mahoni kering yang saban sore kusapu dan kujadikan satu di sudut pekarangan depan. Atau, bisa juga aku timbun di sebuah sudut di tanah yang lembut. Aku tak punya keinginan untuk memberikan hati busukku kepada kucing yang selalu menjulurkan lidah karena kelaparan, dan karena itu dia selalu menangkap setiap yang kulemparkan padanya. Aku takut, hatiku yang membusuk akan merambat pula kepadanya, dan hati si kucing itu pun akan membusuk pula seperti hatiku. Aku khawatir, dalam keadaan membusuk hatinya, si kucing akan keliru menerkam anaknya sendiri yang mungil, dan menyantapnya sebagaimana mengunyah anak tikus yang berdaging lembut kemerahan.

Untuk itu, aku membutuhkan sebilah pisau. Tak pisau biasa. Tapi pisau yang sangat tajam. Dan itu harus segera. Khawatirnya, aku semakin gila dengan busuk yang terus merambat. Nantinya, aku khawatir bukan hanya hatiku yang membusuk, tetapi juga limpaku, paru-paruku, usus, ginjal, dan seluruh tubuhku.

Aku tahu, betapa rugi memiliki hati yang busuk. Karena hati busuk bercokol di dadaku, aku sering dihinggapi kegilaan semacam kucing liar. Tatkala melihat majikanku datang malam-malam, menggedor-gedor pintu gerbang (biasanya dia dalam keadaan mabuk berat, sehingga lupa bahwa ada bel di sudut depan pintu gerbang), lalu berjalan sempoyongan sembari menebarkan sejuta makian, ingin betul aku meraih salah satu koleksi guci keramik mahalnya dan aku lemparkan ke kepalanya. Pernah juga, ketika suatu hari majikanku itu mencambuki anak semata wayangnya dengan  ujung ikat pinggang bergesper logam hingga kepala bocah 12 tahun itu benjol dan menyembur darah, mendadak tanganku seperti reflek meraih pisau dapur di meja makan untuk kulemparkan kepadanya.

Untung, hatiku belum betul-betul membusuk. Hanya bagian tertentu. Maka, setelah dengan amarah meluap aku menutup pintu gerbang, mengunci pintu dan membereskan sepatu dan tas yang bertebaran di depan pintu kamar sang majikan, kesadaran kembali menyambangiku. Aku akan sangat bersyukur, karena tak sampai membuat kejahatan dengan melemparkan guci yang harganya berpuluh lipat dari gajiku sebulan itu. Demikian pula, aku masih sanggup menerima pelukan Oki, bocah malang yang sesenggukan itu sembari menghiburnya dan mengelap darah, serta mengolesi memarnya dengan obat.
“Papa jahat,” isak Oki. Meski tinggi tubuh Oki hanya sedadaku, seperti anomali, air mata di pipi Oki seperti merambat ke pipiku. Aku dan Oki sama-sama menangis. Rasa sakit di hati dan kepala Oki seperti kurasakan sendiri, dengan perih yang bahkan mungkin lebih dari yang dirasakan bocah itu.
“Hanya karena nilai raportku jelek, Papa memukuli Oki. Papa benar-benar jahat.”

Menurutku, majikanku tak sekadar jahat. Tetapi sangat jahat. Dan kejahatan itu seumpama  aroma busuk yang menebarkan bakteri-bakteri pembusuk. Lewat udara, bakteri itu kuhirup, dan akhirnya bakteri itu bercokol di hatiku. Ya, hati yang semula segar, kini mulai layu, dan busuk. Awalnya, pembusukan itu berjalan lambat, tetapi menguat dengan cepat saat pada suatu malam, bedebah itu tiba-tiba menarik tubuhku. Menyeret ke kamarnya. Menguncinya, dan seperti sesekor anjing liar, dia mencabik-cabik kehormatanku.

Dendamku menyembur ke angkasa, dan hampir saja matahari lumat oleh kecamuk amarah yang terlontar dari jiwaku.
Oh, aku butuh segera memotong bagian yang busuk itu. Karenanya, aku butuh pisau. Siapa yang berjualan pisau? Pisau yang tak hanya bisa memotong bagian hatiku, tetapi juga membelah dadaku, memotong tulang rusukku.
“Kau gila, Kanti!” oceh Sri, temanku, pembantu rumah sebelah. “Kau mencari pisau untuk membedah dadamu?”
“Ya. Tapi pisau yang sangat tajam. Tak sembarang pisau. Karena pisau itu harus mampu membelah tulang dadaku.”
“Tampaknya kau sudah tak waras, ya, Kanti?”

Aku tertawa. Terkial-kial. “Memangnya, masih ada orang waras di dunia ini? Yang ada sekarang ini adalah orang yang separuh waras dan orang gila. Aku masih separuh waras, Sri. Karena itu, aku masih merasa butuh memotong separuh hatiku, agar enar-benar sempurna kewarasanku.”

“Kau bilang tadi, tak ada orang yang benar-benar waras. Artinya, kalaupun kau berhasil memotong hatimu yang kau kira busuk itu, kau akan tetap terkena penyakit yang membuat hatimu di bagian lain juga membusuk,” ujar Sri, sok bijak. “Lagipula, waras tidak waras itu sebenarnya bukan soal hati. Tapi soal ini!” Sri menepuk jidatnya.

“Sepertinya bukan, Sri!” aku ngotot. “Tetap soal hati. Karena kata guru ngajiku dulu, hati itu panglima. Kalau rusak, rusak seluruh tubuh. Kalau bagus, bagus seluruh tubuh. Jadi, masalah hati ini penting sekali lho, Sri. Pokoknya, aku harus memotong bagian hatiku yang busuk ini. Takut nanti menjalar ke bagian hati yang lain.”
“Tapi, Kanti… kalau dadamu terbelah, bagaimana cara menyatukan lagi? Kamu bunuh diri namanya, kalau mau berbuat seperti itu.”
“Itu urusan nanti, Sri. Pokoknya, aku harus terlebih dahulu menemukan pisau. Pisau yang tajam sekali. Yang bisa membelah daging dan tulang seperti membelah sepotong tahu!”

* * *
Akhirnya, aku menemukan sebuah kios yang khusus menjual pisau. Kios itu berada di pojok belakang pasar tempat aku biasa berbelanja sayur dan lauk-pauk. Pasar sangat becek saat aku datang. Genangan sisa air hujan semalam, masih terlihat di mana-mana. Lumpur mencetak tapak-tapak kaki di lantai putih. Aku merangsek masuk, menyusuri lorong yang jika hari aktif ini menyempit oleh barang dagangan yang berjejal, dan hanya menyisakan beberapa centimeter untuk lalu lalang pengunjung.
Di kios itu, terjaja berbagai jenis pisau. Mulai dari pisau kecil sepanjang lima centimeter, hingga golok besar yang bisa digunakan untuk membelah kelapa. Tetapi, di zaman yang serbainstan seperti sekarang ini, jarang para ibu rumah tangga—bahkan juga pembantu seperti aku, mau membelah kelapa dan memarut sendiri. Kami lebih suka memarutkan kelapa dengan mesin.

Seorang lelaki tua, sedang mengasah sebuah pisau di atas batu pengasah. Di antara ratusan potong pisau yang dijajakan, entah mengapa aku langsung tertarik pada pisau yang tengah berada di pegangan lelaki itu. Sebuah pisau sepanjang lima belas centimeter, lebar dua centimeter. Besinya berkilat-kilat, terlihat sangat tajam. Ujungnya yang runcing, sangat tepat untuk menusuk daging, menembus tulang, dan menyayat hati dengan irisan halus.

“Pak Tua!”
Lelaki itu awalnya seperti sangat berkonsentrasi mengasah pisaunya. Panggilanku yang sebenarnya tak terlalu keras, membuat tubuhnya seketika terlonjak. “Ada apa?” tanyanya, sembari menatapku dengan pandangan aneh.
“Aku ingin membeli pisau yang ada di tangan Bapak.”
Dia kembali terlonjak. Lonjakkannya lebih dari tadi. Matanya yang sudah aneh, terlihat kian aneh. Ada semburat cahaya yang tampak berkilat.
“Harganya berapa, Pak Tua?”
“Ini tidak dijual.”
“Mengapa?”
“Karena, pisau ini sudah membunuh banyak orang. Pisau ini sangat tajam, dan bisa mengiris apapun seperti mengiris sepotong tahu.”
Aku terpekik. “Itu, itu yang aku cari, Pak! Berikan pisau ini padaku.”
“Kau hendak membunuh orang?” Pak tua menatapku dengan curiga.
“Bukan, Pak… aku ingin membelah dadaku, membuang sebagian hatiku yang busuk.”
“Kau serius? Mengapa kau tak datang ke dokter saja? Meminta dioperasi?”
“Sudah pernah aku coba, Pak Tua. Tetapi dokter menertawaiku. Katanya, aku tak waras. Hatiku sempat diperiksa, dan sehat-sehat saja. Bukan hanya dokter. Teman-teman pun menertawaiku. Mereka bilang aku gila.”

Mungkin, karena caraku merayu cukup meyakinkan, pisau itu akhirnya berhasil kubawa pulang, meski harus kutebus dengan mengorbankan sebagian tabunganku. Oh, aku bahkan sempat terlupa, bahwa aku butuh membawa tabungan itu saat mudik bulan depan.

Saat kucoba menggunakan pisau itu untuk mengiris segala sesuatu, aku merasa sangat puas. Daging sapi bagian dalam yang alot pun, bisa kuiris dengan begitu gampang. Ubi yang keras, bahkan sebilah bambu berhasil kubelah dengan mudah.
Aku tertawa puas. Sebentar lagi, aku akan membedah dadaku, membelah tulang, dan memotong sebagian hatiku yang busuk.

* * *

Suara pintu yang dibanting dengan keras mengejutkanku. Suara lolong bocah yang menangis keras membuatku langsung tahu apa yang terjadi. Majikanku menghajar Oki lagi. Tanpa meletakkan pisauku, aku berlari keluar.
Lalu kulihat adegan itu. Berulang-ulang seperti menonton sebuah film horor yang terus-menerus diputar. Tangan kekar majikanku, membabi buta menampari pipi dan kepala Oki.
“Sekali lagi kau mencoba kabur kepada ibumu, aku akan bunuh kau!”
“Aku tak mau hidup bersama Papa. Aku akan ikut ibu. Aku ikut ibuuuu….”

Kurasa, membiarkan Oki hidup bersama lelaki iblis itu, adalah kesalahan terbesar yang dilakukan oleh Mama Oki. Bukankah perempuan itu pun selalu menjadi sasaran kemarahan mantan suaminya itu? Dan bukankah karena itu, akhirnya Mama Oki berhasil memisahkan diri, menggugat cerai, meski dengan intimidasi yang luar biasa. Mengapa Mama Oki tak memikirkan bahwa hal yang sama pun bisa terjadi pada anak semata wayangnya?

Busuk!
Ada hati yang busuk. Jika hatiku hanya separuh busuk, maka hati lelaki ini benar-benar telah membusuk sepenuhnya. Bukan hanya teriakan Oki, atau ratapan putus asa mantan istrinya, tetapi juga kelakuan durjananya itu, ketika pada suatu malam, dalam keadaan mabuk dia mendatangi kamarku….
Darahku mendidih. Gemetar kutatap pisau di tanganku. Pisau yang sangat tajam. Dan kubeli dengan uang senilai tiga bulan gajiku.
Lolongan Oki seperti suara anjing yang tengah disembelih. Mataku terbelalak. Barusan kulihat adegan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Majikanku meraih botol minuman keras, dan memukulkan ke kepala anaknya.

Tetapi, bukan kepala Oki yang pening. Justru akulah yang merasakan duniaku terasa berputar. Ya, ada orang yang harus kubelah terlebih dahulu dadanya untuk mengambil semua hatinya yang telah membusuk. Seperti mata gelap, aku ayunkan pisau itu….
Darah muncrat. Dia terhuyung. Jatuh. Lalu dengan beringas aku membalik tubuhnya. Membelah dadanya. Aku akan mengamputasi hatinya yang membusuk.

Pisau ini benar-benar tajam. Aku tak terlalu kesulitan saat melakukan pekerjaan ini. Seperti kesetanan, aku mengobrak-abrik dada lelaki itu, dan kutemukan sebongkah daging yang berbau sangat busuk. Kupandangi daging busuk itu dengan jijik. Saking jijiknya, dengan cepat kulempar daging itu ke tempat sampah.

Tapi, aku mencium bau busuk yang lain. Sangat dekat. Aku tersentak. Sumber busuk ini berasal dari dadaku. Peluh mengucur deras. Busuk dalam dadaku bertambah parah dalam waktu cepat.
Nanar kupandangi dua sosok yang tergeletak di lantai. Oki yang pingsan, dan ayahnya yang tanpa nyawa. Dan bau busuk di dadaku semakin kuat. Aku harus segera memotong hatiku. Aku berteriak keras sembari menusukkan pisau di tanganku ke dadaku.
Darah menyembur. Lalu gelap. (@afifahafra79).

10 komentar untuk "SEBILAH PISAU UNTUK MEMBELAH DADAKU"

Comment Author Avatar
menarik (y) . saya sampai ngilu saat membacanya.
gaya berceritanya sepertti cerpen yang dimuat di koran minggu ;)
dan saya belum bisa menulis cerpen dengan gaya seperti itu :,(

Comment Author Avatar
Terimakasih, Arinda...
Kalau berlatih insyaAllah lama-lama bisa. Saya juga masih berlatih nih, bikin cerpen "serius"
Comment Author Avatar
diksinya oke, ceritanya mantap!

Ajarin dong bikin yg ky giniaaaaannn hheehehee
Comment Author Avatar
Boleh... ayo dibikin workhsopnya hehe
Tapi, saya juga masih berlatih kok
Comment Author Avatar
gaya dan topik penulisan yang agak berbeda, sepertinya, dari yang mbak afra tulis...

seperti komen di atas, seperti membaca cerpen di koran minggu ^_^
Comment Author Avatar
Sebenarnya nggak juga, banyak cerpen2 saya bergaya surealis begini. Ini saya sedang mempersiapkan buku antologi berisi 30 cerpen terpilih, separuh bergaya surealis

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!