Teuku Wisnu, Antara Wahabi dan Khilafiyah

Teuku Wisnu, sering dituduh Wahabi. Gambar dari sini

Tiga keyword ini: Teuku Wisnu, Wahabi dan Khilafiyah, sepertinya sedang jadi trend di media sosial. Persoalan Teuku Wisnu, sempat saya bahas di artikel sebelum ini, Memahami Teuku Wisnu, Sakti Sheila On 7 dan Artis Berhijrah, silakan baca ya. Tapi kalau malas, saya kasih sedikit prolog deh. Jadi, Teuku Wisnu dikritik publik, karena di sebuah acara "Berita Islami Masa Kini" yang tayang di Trans TV, dia yang saat itu menjadi pembawa acara, menyebutkan bahwa Al-Fatihah yang dikirimkan untuk mayat, tidak akan sampai ke mayat, dan merupakah sebuah bid’ah alias amalan yang tidak diperintahkan Rasulullah. Tentu saja kritik bertubi-tubi datang, karena amalan tersebut merupakan sesuatu yang populer, dan menurut para pelakunya, ada dalil yang membenarkan amalan tersebut. Salah satu kesalahan dari para pengisi acara tersebut adalah, menjustifikasi sebuah amalan sebagai bid’ah, padahal amalan tersebut, menurut berbagai kalangan merupakan khilafiyah.

Sebenarnya, saat itu bukan hanya Teuku Wisnu, ada juga Zaskia Mecca dan pengisi yang lain. Tetapi, entah mengapa, yang kemudian diserang publik lebih pada sosok Teuku Wisnu. Serangannya pun malah akhirnya jadi tendensius dan cenderung pada bully. Mungkin karena Teuku Wisnu, dengan jenggot lebat, celana cingkrang dan baju kokonya, memang dianggap lebih merepresentasikan kaum “Wahabi”. Sebab, fatwa bid’ah-nya al-Fatihah yang untuk mayat, memang identik dengan ajaran “Wahabi”. 

Saya kira, permasalahan tersebut sudah selesai. KPI telah memberikan teguran kepada acara tersebut. Menurut KPI dan berpedoman pada Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS), dapat menyinggung dan menimbulkan kesalahpahaman karena adanya perbedaan pandangan/paham dalam agama Islam . Teuku Wisnu juga sudah berkali-kali meminta maaf kepada publik atas kekhilafannya tersebut.

Tetapi, dalam posting ini, saya sedikit ingin memaparkan dua “keyword” yang lain, yaitu “Wahabi” dan “khilafiyah:. Bagi yang sudah paham, silakan di-skip aja tulisan saya ini. Atau bagi yang ingin memberikan tambahan informasi, silakan ditulis di kolom komentar, sehingga wawasan kita menjadi semakin mendalam. Tentu saya tidak akan meng-approve komentar-komentar “asbun” tanpa disertai dasar yang logis. Sementara, seperti biasa, saya malah menghargai komentar dengan perspektif lain (bahkan berlawanan dengan pendapat saya), namun bermutu dan cerdas.

Oke, Sobat… pemahaman saya tentang Wahabi tak jauh-jauh amat bedanya dengan kalangan masyarakat awam. Ya, pemahaman yang pendek dan cupet. Tetapi, terus terang saya geregetan untuk tidak berkomentar, karena saya juga pernah dituduh sebagai pengikut “Wahabi” hehe. Apakah saya Wahabi? Mungkin sedikit benar, karena salah seorang guru agama saya di SMA dahulu namanya Pak Wahab. Ops! Maaf, just kidding. Tetapi yang jelas, saya muslim yang (berusaha mengikuti) ajaran Ahlussunnah wal jama’ah. Perkara praktik keislaman dan pengetahuan saya masih banyak kekurangan di sana-sini, tentu saya menyadari dan masih ingin selalu belajar dan belajar.

Ada dua nama “Wahab” yang konon menjadi asal-muasal muncul kata Wahabi. Dua nama ini, akhirnya menjadikan adanya ragam versi asal-usul munculnya kata Wahabi. Pertama, Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang meninggal tahun 211 H (sekitar 800 Masehi). Menurut beberapa referensi yang saya baca, beliau adalah seorang tokoh yang sangat ekstrim dan cenderung khawarij, di mana mereka menganggap bahwa dosa kecil sama dengan dosa besar, dan dosa besar bisa menyebabkan kekafiran. 

Versi kedua, Wahabi dinisbatkan pada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, tokoh yang dikenal sebagai pemberantas bid’ah dan khurafat di Arab Saudi. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bersahabat dekat dengan Muhammad bin Saud, pemimpin suku di wilayah Najd, dan mengikat perjanjian,  bahwa Ibnu Saud adalah pemimpin administrasi politik (kerajaan), sedangkan Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb menjadi pemimpin spiritual di Arab Saudi. Selanjutnya, kita bisa melihat, bahwa Keluarga Ibnu Saud kemudian secara turun temurun menjadi raja di Arab Saudi, sedangkan ajaran Islam yang berkembang di Arab Saudi adalah ajaran Islam yang merupakan hasil dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Banyak kalangan  menyebutkan pengikut ajaran Islam versi Syaikh Abdul Wahhab ini sebagai Wahabi, tetapi mereka menolak, dan lebih menyebut diri mereka sebagai Salafy. Istilah Salafy ini sendiri juga debatable, karena maknanya berarti penisbatan pada para kalangan salaf (ulama terdahulu). Bukankah kita semua memang salafy, karena juga merujuk pada Rasulullah, Sahabat, Tabi'in dan ulama terdahulu?

Jadi, siapa sebenarnya Wahabi yang sebenarnya? Ya simpulkan sendiri saja dari dua versi tersebut! Saya tidak punya kapasitas menjawab, hehe. Hanya saja, yang berkembang di masyarakat saat ini, Wahabi identik dengan gerakan yang suka mem-bid’ah-kan dan mengkafir-kafirkan muslim yang lain. Mereka identik dengan penampilan semacam jenggot lebat, celana cingkrang, jilbab lebar dan cadar. 
Tapi, saya kira ini hanya semacam stereotype saja. Dan apa salahnya berjenggot lebat, bercelana cingkrang dan bercadar? Jika penggemar David Beckham saja rela menatto seluruh lengan dan mencukur rambutnya seperti Beckham agar mirip dengan tokoh rujukannya itu, mengapa kita melarang mereka untuk berpenampilan sebagaimana penampilan orang-orang terdahulu?

Lagipula, saya kenal dengan banyak kalangan Salafy (yang dituduh Wahabi), yang ternyata tidak seperti seperti yang dilabelkan banyak kalangan. Tetapi, memang ada di antara mereka, khususnya anak-anak muda yang “terlalu bersemangat”, senang sekali tunjuk sana tunjuk sini menuduh si A, si B, si C sebagai ahlul bid’ah dan si kafir. Eh, jangan salah, meski saya pernah dituduh wahabi, saya juga pernah dituduh (malah sering), sebagai ahli bid’ah juga. Nah, serbasalah, kan? Jadi, saya ini wahabi yang ahli bid’ah? Na’udzubillah… janganlah ya…. Saya kira, sosok-sosok "sangat bersemangat" ini ada di organisasi, harokah, aliran manapun. Tetapi, seiring dengan kedewasaan dalam berpikir, biasanya setiap manusia akan semakin arif dan bijak dalam bertindak.

Kalau saya melihat, gerakan "Salafy" ini sebenarnya ingin mengembalikan Islam secara puritan. Fundamental. Semua yang mereka lakukan ada dalilnya, dan shahih, tetapi seringkali mengambil sesuatu secara tekstual. Satu hal yang disayangkan, mereka acap menyerang tradisi masyarakat yang sudah turun temurun dan mudah menghakimi sebagai bid’ah dan khurafat, bahkan kafir, tanpa menganalisis secara mendalam. Beberapa penghancuran situs bersejarah di Saudi Arabia,mungkin merupakan upaya mereka menghilangkan hal-hal yang sifatnya mistik yang bertentangan dengan tauhid, tetapi itu fatal, karena jejak-jejak itu penting dilestarikan sebagai sebuah peninggalan sejarah. Apakah sejarah, kultur, seni dan budaya itu identik dengan mistik, klenik dan bid'ah? Jangan lupa, Walisongo mengislamkan negeri ini dalam waktu singkat karena menggunakan pendekatan kultur, seni dan budaya.

Sementara, bagi yang senang mengkritik dan melancarkan tuduhan Wahabi, saya juga menyayangkan, karena tuduhan Wahabi itu seringkali dilancarkan secara serentak ke seluruh harakah, tanpa mau mempelajari dengan mendetail ajaran sebuah harakah. Hisbut Tahrir dituduh wahabi, Tarbiyah dituduh wahabi, Muhamadiyah wahabi, dan seterusnya. Padahal, peta dakwah masing-masing organisasi itu berbeda-beda sesuai dengan skala prioritasnya. Jadi, jika akhirnya tuduhan ahlul bid’ah itu menjadi upaya stereotype, tuduhan Wahabi juga ternyata sama saja. Kalau begini, saya hampir yakin, bahwa nafsu manusia dan ego aliranlah yang akhirnya mendominasi. 

POKOKNYA SAYA DAN ALIRAN SAYA PALING BENAR! Ini, nih… yang paling berbahaya.

Saya sendiri lebih suka membicarakan hal-hal yang sifatnya menyatukan saja. Karena, namanya perbedaan, pasti akan selalu ada. Perbedaan pandangan, inilah yang kemudian disebut sebagai khilafiyah. Perlu diketahui, bahwa khilafiyah ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Namanya juga manusia, berbeda itu hal yang biasa. Mari kita belajar pada sebuah peristiwa yang pernah terjadi pada Perang Ahzab. Ketika melepas para sahabat menuju perkampungan Bani Quraizah, Rasulullah berpesan sebagai berikut:

“Janganlah ada satupun yang shalat Asyar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu Asyar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah namun beliau tidak mencela salah satunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lihatlah terperinci! Mereka diperintahkan untuk shalat asyar di perkampungan Bani Quraizhah, tetapi saat perjalanan, waktu Asyar telah tiba. Sahabat terpecah pendapatnya. Ada yang mencoba menafsirkan perintah Rasululllah secara hakikat, bahwa mereka disuruh cepat dalam berjalan, sehingga saat Asyar sudah sampai di tujuan. Karena itu, meskipun mereka belum sampai di tujuan, mereka tetap shalat asyar di jalan karena waktu asyar telah tiba. 

Namun, sebagian sahabat yang lain berpendapat secara leterlek/tekstual, bahwa apapun yang terjadi, shalat asyar harus di perkampungan Bani Quraizhah, sehingga mereka pun tidak mengerjakan shalat Asyar meski waktu shalat telah datang.

Akan tetapi, ketika Rasulullah mendengar kisah tersebut, belia tidak mencela salah satunya. Ini point penting, Sobat!

Dari hadits ini, para ulama, seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnul Qayyiem dan para jumhur ulama menyimpulkan bahwa tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah  tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut. 

Jadi, sebuah khilafiyah itu muncul karena masing-masing memiliki pegangan. Sayangnya, kadang kita sering merasa paling benar dengan dalil yang dianut, dan cenderung senang menyalahkan orang lain. Sebelum saling mencela, sebaiknya pelajari dulu, apa yang menjadi dasar dari si A berpendapat demikian, dan jangan lupa, pelajari juga, apa yang menjadi dasar kita berpendapat demikian. Jadi, adu argumen terjadi secara ilmiah, bukan sekadar debat kusir yang tiada henti. 

Ada kisah menarik yang bisa kita teladani dari tokoh Buya Hamka (Muhamadiyah) dan KH Idham Chalid (NU). Saat itu, kedua ulama itu berada di kapal laut yang sama menuju tanah suci. Ketika Buya Hamka menjadi Imam Shalat Subuh dimana KH Idham Chalid menjadi makmum, ternyata Buya Hamka membaca doa Qunut. Sebaliknya, saat KH Idham Chalid bergantian menjadi Imam, dan Buya Hamka menjadi makmum, beliau malah tidak membaca Qunut. Begitulah karakter para tokoh yang telah meraih kedewasaan dalam pola pikir, serta keluasan wawasan dan kedalaman ilmu. Persatuan, toleransi dan persamaan lebih mereka tonjolkan ketimbang perbedaan pendapat, yang seringkali sebenarnya hanya merupakan sesuatu yang furu’iyah (cabang).

Semoga Teuku Wisnu, saya, Anda dan semua umat muslim senantiasa tercerahkan dan terikat satu sama lain dalam ikatan cinta karena iman, sebagaimana Allah telah menyatukan Suku ‘Aus dan Khazraj di Madinah yang ratusan tahun bermusuhan menjadi kaum Anshor yang mulia, dicintai-Nya dan menjadi barisan penolong kaum Muhajirin yang berhijrah dari Mekah ke Madinah. Amiin. (@afifahafra79).

8 komentar untuk "Teuku Wisnu, Antara Wahabi dan Khilafiyah"

Comment Author Avatar
Masyaallah :)

Jazakillah khoiron katsir atas informasi dan penjelasan ringkasnya yang menenangkan hati :)
Comment Author Avatar
Alhamdulillah, semoga bermanfaat :-)
Comment Author Avatar
subhanallah...
Tulisannya sangat mencerahkan mbak afifah, moderat
Comment Author Avatar
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya...
Comment Author Avatar
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya...
Comment Author Avatar
Barakallah fikum.....paparan yg sungguh bijaksana.....izin share....
Comment Author Avatar
mencerahkan :D terima kasih mba afra :D suka sama tulisan mba :D

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!