Takbir Cinta Untuk Rooslina [Cerpen]

Sebuah Cerpen Afifah Afra

Suara beduk dari arah masjid, menyibak sunyi seiring teriakan riang belasan anak kecil yang berlarian dengan rambut basah bekas keramas. Besok pagi Ramadhan, dan kegembiraan mereka meluap hangat, mengimbas pada relung hatiku. Namun, ucapan Suryani, teman satu kontrakan yang juga berprofesi sebagai guru SD, membuat kebahagiaan itu sedikit tereduksi.

"Jadi, kau benar-benar tidak berniat pulang lebaran ini? Kau tak ingin bertemu dengan keluargamu? Kau tidak rindu pada mereka?"
Aku menggigit bibir. Semburat kerinduan, begitu dashyat mencelup jiwaku, Sur. Meskipun orangtuaku telah tiada, aku masih memiliki Yunita dengan kedua puteranya yang lucu-lucu, Erika yang tengah menanti kelahiran putera pertamanya, serta si bungsu Erman yang baru saja melepas masa lajangnya. Mereka adalah adik-adik yang kubesarkan dengan keringatku, apalagi ayah dan ibu meninggal saat mereka masih kecil. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku. Namun, ketika mereka memutuskan untuk menikah, sementara aku masih tetap melajang, bahkan hingga kini, kebahagiaan itu ternodai oleh luka yang mendalam. 

Mungkin aku memang terlalu picik, karena masalah jodoh, adalah mutlak urusan Allah. Aku harus mengakui, bahwa getir-getir kecemburan, selalu menjadi momok yang menodai setiap rendezvous kami. Aku tak ingin kefitrian lebaran, menjadi terkoyak hanya gara-gara aku tak sanggup menatap kebahagiaan rumah tangga ketiga adikku. Aku juga tak sanggup mendengarkan desas-desus miring yang senantiasa terlontar dari mulut-mulut usil para tetangga dan kerabatku.

"Ini dia, perawan tua yang tak laku!"
"Terlalu pemilih sih! Sok cantik dan sok alim. Nggak ngaca kali ya?!"
"Baru jadi bidan kampung, lagaknya sudah seperti Nyonya besar."
Maka, aku pun hanya menjawab rentet pertanyaan Suryani dengan desahan. "Tidak, Sur… aku memang tak hendak pulang. Aku merasa tentram di sini. Lagipula, ada beberapa pasienku yang HPL-nya sekitar lebaran. Kalau aku pulang, kasihan mereka, tak ada yang menolong saat melahirkan." 
Ada banyak penasaran terpancar dari wajah Suryani, namun aku merasa tak perlu mengobati penasaran itu dengan jawaban yang melegakan. "Maaf, Sur… aku mau mandi dulu. Keramas. Besok kan Ramadhan."
Suryani hanya bisa mengangkat bahu.

* * *

"Kata orang-orang, Bu Roslina tidak pulang saat lebaran ya?" suara lembut bernada bariton itu membuatku sedikit terkesima. Suara yang begitu menawan. Andai saja aku tidak tahu, siapa pemilik suara itu, pasti anganku telah melayang hingga menembus awan.

Dokter Kamajaya. Ia adalah lelaki dengan segenap kesempurnaan yang pernah kukenal di dunia ini. Ia tampan, cerdas dan menawan. Kebaikan hati serta semangat pengabdiannya, jangan ditanya. Jika ia bukan seorang yang tulus mendermakan baktinya untuk kemashlahatan ummat, mana mau ia ditugaskan sebagai PNS di pelosok. Ia memiliki masa depan cemerlang. Orangtuanya yang dokter spesialis kandungan, memiliki sebuah rumah sakit bersalin besar di Jakarta. 

Dokter Kamajaya adalah figur idaman setiap wanita, termasuk wanita berpredikat perawan tua dengan usia menembus angka 33 sepertiku. Namun, derajatnya yang terlalu tinggi, terutama bagi seorang bidan desa, membuat aku terpaksa memutus segala angan itu. Apalagi, kabarnya ia sudah bertunangan. Tak main-main, tunangannya adalah seorang selebritis jelita yang tengah naik daun dan sering muncul di layar televisi.

Siang itu, Dokter Kamajaya dan rombongan dari Puskesmas kecamatan, baru saja memberikan penyuluhan tentang flu burung ke masyarakat desaku. Sebagai salah satu bawahannya, aku tentu saja ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.

"Dokter mendengar dari siapa?" tanyaku.
"Banyak yang cerita. Kabarnya, Bu Roslina lebih memberatkan pasien-pasien Ibu, ya?!"
Aku tergeragap. Ah, itu kan hanya alasanku saja. Terdengarnya sungguh mulia. Padahal, aku tak pulang karena kepengecutan belaka. Aku tak berani menerima kenyataan dengan dada lapang.
"Saya benar-benar salut…" Dokter Kamajaya menatapku dengan pandangan berbinar. "Jarang sekali aku bertemu dengan orang yang memiliki idealisme seperti Ibu. Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Ibu bertugas di sini?"
"Hampir 5 tahun, Dok!"

"Ck… ck, hebaat! Saya sendiri, baru setahun ditempatkan, rasanya sudah tak tahan. Padahal di kota kecamatan. Sebenarnya, saya ingin bertahan lebih lama. Hanya saja, mungkin karena saya ini anak manja, butuh perjuangan keras untuk bertahan dalam idealisme itu."
"Bukankah di Jakarta, seorang dokter bisa lebih terjamin kehidupannya?" tanyaku. Aku ingat, salah seorang temanku yang juga seorang dokter, begitu lulus menjadi dokter di sebuah klinik di Jakarta. Sebulan, gajinya hampir 15 juta. 

"Bu Roslina, bukankah hidup itu tidak hanya untuk sekerat roti?" Dokter Kamajaya mengumbar senyum. "Prinsip itu juga kan, yang menggerakkan hati Bu Roslina untuk  bersedia ditugaskan di tempat terpencil seperti ini?"

Aku tercenung, karena baru kali ini aku mendapatkan suntikan semangat dari seseorang. Biasanya, orang-orang di sekitarku justru menebar kata-kata yang membuatku down. 
"Apa sih, yang kamu peroleh dari menjadi bidan di desa? Duit nggak ada, mau senang-senang nggak ada fasilitas… jangan terlalu sok pahlawanlah…"

Begitu kata mereka. Menyakitkan. Bagiku, menjadi seorang bidan adalah panggilan jiwa. Ucapan bijak Dokter Kamajaya, laksana setetes embun yang membasahi jiwa gersangku. Ah, betapa bahagia menjadi perempuan yang mendampingi lelaki sehebat dia…

* * *

Tak terasa, 30 hari telah berlalu. Kumandang takbir dari masjid-masjid, meriuhkan suasana malam. Alhamdulillah, Ramadhan berhasil kulalui dengan sukses. Kini, sebagaimana para warga di dusun ini, aku juga ikut-ikutan bersibuk ria menyiapkan segala pernik lebaran. Ketupat, opor, serta berbagai makanan kecil lainnya. Besok, aku yakin, di rumah kontrakanku yang kecil ini, tamu-tamu akan datang silih berganti, terutama puluhan remaja dan anak-anak di dusun yang selama ini memang sangat dekat denganku.

Setelah semua persiapan usai, aku pun merebahkan diri di kursi rotan ruang depan. Jendela dan pintu sengaja kubuka. Biasanya akan ada atraksi obor dari para pemuda yang lewat, sesuatu yang menarik, apalagi bagai desa yang belum terjamah aliran listrik.

"Bu Roslina… Bu… gawat… gawat!" tiba-tiba terdengar suara teriakan panik. Seorang lelaki muda masuk tergesa. Wajahnya mengandung bulir kecemasan yang bernas. "Jamilah, istri saya… hendak melahirkan. Tolong Bu… tolong!"

Bak tentara yang mendengar peluit komandan, aku pun sigap berkemas. Sejurus kemudian, langkah-langkahku telah mencipta gempa pada tanah yang kupijak. Rumah Jamilah lumayan jauh, sekitar 1 jam berjalan kaki, melewati hutan pinus dan beberapa sungai kecil. Hawa dingin pegunungan membuatku menggigil. Namun, kumandang takbir yang terdengar samar-samar, menyisipkan kehangatan tersendiri pada pori-pori tubuhku.

Ketika kujumpai, Jamilah terlihat sangat lemas. Keringat bercucuran, membasahi parasnya yang cantik.
"Sudah sejak hari kemarin terasa mau melahirkannya," lapor seorang perempuan setengah baya, "tetapi bayinya tidak juga lahir."

Aku mengecek jalan lahir Jamilah. Sudah bukaan enam. Namun, mataku sesaat terbelalak, ketika melihat cairan membasah di sekitar selangkangan Jamilah. Ya Allah, ketuban sudah pecah. Gawat! Kelahiran yang tidak normal bukanlah tugas seorang bidan. Jamilah harus dibedah cesar. Tetapi, di daerah terpencil seperti ini, siapa yang bisa melakukan bedah cesar? Sejenak aku terjebak kepanikan, meski secara lahir aku berusaha untuk tetap tenang.

Dokter Kamajaya! Aku mendesah, gugup. Dia memang hanya dokter umum. Tetapi paling tidak, ia lebih bisa menanggulangi masalah seperti ini daripada aku yang hanya seorang bidan. Apalagi, ayah dan ibu Dokter Kamajaya adalah spesialis kandungan. Mungkin ia telah banyak belajar dari orangtuanya.

"Tampaknya, Jamilah harus dibawa ke puskesmas di kecamatan. Saya tidak sanggup menolongnya…"
Lelaki muda itu, suami Jamilah merespon ucapanku dengan cepat. Beberapa saat kemudian, dengan ditandu, Jamilah dibawa ke kota kecamatan. Aku mengikuti perjalanan itu dengan dada penuh debar. Beruntunglah, ketika sampai di jalan besar, sebuah truk pengangkut getah pinus yang lewat mau memberikan tumpangan. Perjalanan menuju kota kecamatan pun bisa lebih dipersingkat.
Seperti dugaanku, Dokter Kamajaya pun terlihat gugup. 

"Keadaan sangat genting, Dok…," ujarku, mencoba meyakinkannya. "Tak mungkin Jamilah dibawa ke rumah sakit kabupaten. Ia sudah mengerang-ngerang kesakitan. Ketuban sudah pecah sekitar 4 jam yang lalu."

Dokter Kamajaya mengangguk-angguk. "Baiklah! Tetapi, Bu Roslina mau kan, membantu saya?!"
"Insya Allah Dok… yang kita pertaruhkan adalah nyawa pasien!"

Akhirnya, dengan sepenuh kenekadan, operasi itu pun digelar. Setelah membius Jamilah, kami pun mulai beraksi dengan membedah perut perempuan muda itu. Berbagai kekakuan serta ketegangan mewarnai, namun alhamdulillah… setelah bersusah payah, proses bedah itu pun purna.
Dokter Kamajaya menghela napas lega. Sembari membereskan berbagai peralatan yang masih berlumur darah, sesekali aku memperhatikannya. Tampak sekali, betapa kelelahan membayang di matanya. Kelelahan yang lebih disebabkan karena rasa tegang sepertinya. Saat itu, baru aku tersadar, mengapa sang dokter masih berada di rumah dinasnya yang terletak di samping puskesmas pada malam takbiran seperti ini? 

"Hampir saja saya pergi, Bu…," jawab sang dokter, ketika aku menanyakannya. "Mobil sudah saya persiapkan. Niatnya sih sejak kemarin, karena Papa dan Mama juga terus-terusan menelpon. Tetapi, nggak tahu, pasien selalu saja datang, bahkan jumlahnya semakin hari semakin banyak. Mungkin karena puasa, banyak yang terkena penyakit tipus atau magh."
"Kalau begitu, kami harus meminta maaf, karena telah mengganggu jadwal Dokter…" ujarku, menyesal.

"Tak apa. Ini sudah kewajiban saya sebagai seorang dokter… Apa yang saya lakukan, belum ada apa-apanya dibanding dengan anda, Bu…"
Ketika mengucapkan kata-kata itu, ada semburat kebahagiaan memancar dari wajahnya yang rupawan. Sesaat aku terpana dalam keterpesonaan, meskipun kemudian aku segera tersadar, ia milik orang lain, Ros…

* * *

"Apakah pada saat malam takbir yang kudus seperti ini, kau tak ingin berada dalam sebuah suasana yang hangat bersama suami dan anak-anak?"

Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Bukan hanya karena muatan kata-katanya yang membius, namun juga penepisan batas formalitas yang ia lakukan. Sang dokter memanggilku dengan 'kau' bukan 'anda' atau 'ibu' seperti biasanya. 

"Jika selama ini ada lelaki yang mengagumi sepak terjangmu, serta mendambakan pendamping hidup yang kuat sepertimu, apakah kau bersedia menerimanya?"
"Ss… siapa lelaki itu? Adakah lelaki yang bersedia mendampingi hidupku?"
"Tentu saja ada. Dan lelaki itu adalah… aku!"
Dokter Kamajaya? Seperti terlindas setrum berkekuatan mega amper, aku terkesima. Bercandakah dia? Rasa letih yang membuncah setelah berjam-jam berjibaku menolong pasien, mendadak sirna tak berbekas. Dadaku berdebar kencang.

"Ketika Saras, tunanganku memutus hubungan hanya gara-gara tidak mau kuajak tinggal di desa ini, aku sudah tahu, kepada siapa sesungguhnya aku harus melabuhkan harapan. Pendamping hidupku, haruslah seorang pejuang siap mengabdi untuk ummat, bukan sosok manja yang terbiasa berenang dalam kesenangan. Setelah aku mengamati, sosok yang paling cocok untukku… adalah kau. Maukah kau menerimaku, agar malam-malam takbiranmu tak lagi sepi?"

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar…
Lailaaha illallaahu Allahu Akbar
Allahu Akbar walilaahilhamd…

Suara takbir yang masuk dalam gendangan telingaku, membuat aku tersentak dan membuka mata. Seberkas kunang-kunang membias di pelupuk mata. Ya Allah, aku ternyata bermimpi. Hanya mimpi. Namun… mimpi itu telah didahului sebuah peristiwa nyata, yakni percakapan pada malam yang kudus itu. Percakapan yang kemudian terulang secara sempurna saat sepasang mataku terpejam.
Aku bangkit dari tempat tidur, sebuah bed untuk pasien di salah satu kamar rawat inap puskesmas kecil itu, begitu pintu diketuk. Bergegas aku membukanya, dan sebuah senyum manis terlempar untukku.

"Ini mukena untukmu, Ros… kita shalat ied bersama-sama di lapangan. Ibu Jamilah sudah ada yang menemani. Ia dan bayinya sangat sehat."
"Alhamdulillah…" tak ada kata yang sanggup terlontar selain senandung puji kepada Allah, sang Rabbul Izzati.
"Usai shalat, bersiap-siaplah… Mama dan Papaku akan datang menjemputku dan calon menantunya…"

Semburat merah menghias wajahku. 
"Mengapa linglung? Ayo, mandilah… nanti keburu terlambat shalat."
Sebuah senyum kembali tergores, indah. Dan ragaku seperti terbang melayang… menembus awan. Allah ternyata selalu adil dalam membagikan kebahagiaan.





4 komentar untuk "Takbir Cinta Untuk Rooslina [Cerpen]"

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!