Menghidupkan Ekosistem Perbukuan di Indonesia

“Buku adalah jendela dunia," kata Bung Hatta. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Kamis 11/8 kemarin, bertempat Hotel Megaland Solo, sejumlah penerbit anggota Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) se-Jawa Tengah menyelenggarakan Musyawarah Daerah (Musda) Ke-8. Ir. H. Tomy Utomo Putro, MM (Intan Pariwara) yang sebelumnya menjabat sebagai ketua DPD Ikapi Jateng, terpilih secara sebagai ketua masa bakti 2016-2020, menggantikan ketua sebelumnya, H. Siswanto (Tiga Serangkai).

Selamat bertugas, Pak Tomy! Tentu tak ringan menjadi ketua Ikapi di masa-masa suram dunia perbukuan dan literasi seperti saat ini. Tapi saya yakin, dengan semangat membangun ekosistem dunia perbukuan yang kuat dan berakar, berbagai masalah yang mendera akan terselesaikan.

Berbagai Permasalahan Dunia Perbukuan

Di acara Musda yang juga dihadiri ketua Ikapi Pusat, Rosidayati Rozalina, dan Ketua Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), Supriyatno, sejumlah wacana mengemuka. Bu Rosidayati, dalam pidato sambutannya menyebutkan banyak penerbit mengeluhkan buruknya laporan keuangan dari tahun ke tahun. Sementara, menurut Pak Supriyatno, Puskurbuk mendapatkan laporan bahwa beberapa penerbit yang buku-bukunya lolos penilaian, saat didatangi, ternyata telah "hilang." Kantornya berubah menjadi toko kelontong, toko pakaian bahkan warung mie ayam. Adapun Pak Tomy Utomo Putro menyebutkan fakta yang cukup membuat kening berkerut: dari 133 anggota Ikapi Jateng, hanya sekitar 30% yang masih bertahan. 

Saat Pak Tomy menyebut angka 133, rekan saya, Mbak Puji dari CV Seti Aji berbisik, "Dulu malah anggota Ikapi Jateng pernah sampai 500-an lho...." Saya kurang tahu persis, apakah ucapan Mbak Puji itu benar atau tidak. Tetapi saya memilih percaya, sebab CV Seti Aji merupakan salah satu penerbit yang aktif di Ikapi Jateng. Sementara, Indiva baru akhir-akhir ini terlibat dalam kegiatan Ikapi Jateng. 

Jika memang anggota Ikapi Jateng memang pernah mencapai 500-an, dan kemudian disebutkan tinggal sekitar 40-an, saya harus berpikir keras. Ada apa sebenarnya dengan Ikapi Jateng? Lantas, karena di Ikapi Jateng banyak ikon-ikon penerbit raksasa Indonesia, maka pertanyaan jadi mengembang, ada apa dengan Ikapi Pusat? Lalu semakin melebar, ada apa dengan perbukuan di Indonesia?

"Dalam perspektif saya, yang namanya Ikapi yang satu," ujar Bu Rosidayati, dalam pidatonya. "Satu Ikapi daerah tercoreng, semua kena. Ikapi Jateng, Ikapi DKI hanyalah penyebutan, dalam prakteknya Ikapi adalah satu tubuh."

Okay... jadi mari kita bahas salah satu bagian dari "tubuh" Ikapi yang bisa jadi merupakan gambaran dari tubuh besar Ikapi lainnya. Ikapi Jateng.

Seharusnya, Jateng adalah provinsi yang menjadi pelopor dalam masalah perbukuan, khususnya buku pelajaran. Sejumlah penerbit raksasa bermarkas di Jateng. Sebut saja Tiga Serangkai, yang buku-bukunya telah dipakai sejak saya belum lahir. Lalu Intan Pariwara Group. Divisi penerbitan Intan Pariwara sendiri cukup mendominasi pasar buku nasional, percetakannya, PT Macanan Jaya Cemerlang juga bisa dibilang salah satu yang terbesar di Jawa Tengah, bahkan nasional. Lalu ada Toha Putera, raksasa dari Semarang. Aneka Ilmu, Mediatama, Sindunata, Teguh Karya dan sebagainya. Indiva mah, cuma bayi mungil yang baru lahir dan belajar merangkak.

Sayangnya, berbagai kebijakan perbukuan yang dikeluarkan pemerintah, seperti penerbitan BSE, Pembatalan kurikulum 2013 beberapa waktu yang lalu, pembatasan LKS dan sebagainya, merupakan pukulan telak bagi anggota Ikapi Jateng yang mayoritas penerbit buku pelajaran dan LKS. Salah seorang sesepuh Ikapi Jateng, dalam ajang tersebut berkata, "Padahal, karena penerbitlah BSE edisi cetak bisa tersebar sampai Merauke, sampai pelosok-pelosok yang tak terjangkau akses internet. Kami rela meski diberi margin keuntungan sangat sedikit oleh pemerintah."

Sementara minat baca masyarakat di Jateng tak kunjung membaik, bahkan justru menurun. Pameran-pameran buku, kecuali di Solo yang masih lumayan ramai, selalu sepi pengunjung. Event-event literasi juga semakin meredup.Satu persatu toko buku pun gulung tikar alias tutup. Tampaknya, di daerah-daerah lain di Indonesia pun setali tiga uang. Di Jawa Timur, event perbukuan hanya meriah di kota Malang. Di kota lain sepi peminat. Di Jawa Barat, kecuali Bandung, juga sami mawon. Yang masih gegap gempita menyambut event perbukuan mungkin hanya daerah Jadebotabek. Cukup dimengerti, konon 70% uang negeri ini beredar di daerah tersebut. Daya beli masyarakat yang tinggi juga ditunjang dengan minat baca yang sudah bagus. Beberapa kali berkesempatan mengunjungi Jakarta Islamic Book Fair yang fenomenal itu, saya sampai berdecak kagum melihat para pengunjung yang memborong buku hingga bertas-tas, sesuatu yang jarang didapati di pameran-pameran buku di daerah.

Di luar itu, ancaman perubahan teknologi, semakin menambah runyam dunia perbukuan. Meskipun menurut Nicholas Carr dalam buku The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains, internet bisa mendangkalkan pikiran, pada kenyataannya, masyarakat lebih mengandalkan internet sebagai sumber pencarian informasi utama ketimbang mencari di buku. Bahkan pelajar, mahasiswa, penulis buku pun sekarang lebih senang merangkai berbagai informasi dangkal yang diperoleh dari internet ketimbang menyelam ke buku babon alias textbook untuk menemukan penjelasan yang lebih mendalam, atau melakukan wawancara secara serius dengan narasumber.Tak heran, kualitas tulisan dari hari ke hari pun makin cethek, sekadar copas sana copas sini, lalu diparafrase dan dipoles sedikit analitis biar tak terkesan plagiasi. Yah, mungkin itu juga yang membuat pembaca malas beli buku. Lha, penulisnya saja malas menggali informasi.

Di jalur distribusi buku, terjadi permasalahan yang tak kalah berat. Toko-toko buku satu per satu mati. Toko Buku Gramedia, sebagai jaringan toko buku terbesar di Indonesia, yang memang memiliki sumber daya keuangan, jaringan, fasilitas dan manusia yang relatif lebih unggul, mampu bertahan di iklim buku yang lesu, akhirnya menjadi saluran distribusi utama nyaris seluruh penerbit di Indonesia. Dalam satu pertemuan antara pihak Merchandising Division Jaringan TB Gramedia dengan para suplier, saya juga hadir di sana, pihak Gramedia menyebutkan bahwa sebulan sekitar dua ribu judul buku baru masuk ke Gramedia, sementara display terbatas. Perlu dipahami, bahwa setiap space di toko, memiliki "biaya" yang diperoleh dari rumus yang njelimet. Kasarnya, mereka akan rugi jika memajang buku yang ternyata tidak terjual. Maka, manajemen Toko pun memberlakukan mekanisme  retur yang sangat cepat. Setiap penerbit diberikan kesempatan sebulan untuk dipajang, jika tidak ada penjualan, buku akan dikurangi dalam bulan berikutnya, dan akan diretur seluruhnya jika tetap tak ada penjualan. Sebelumnya penerbit bisa optimal mendapatkan penjualan dengan masa display sekitar setahun lamanya, bahkan lebih.

Berbagai Usulan Solusi
Secara umum, dunia perbukuan di Indonesia memang sedang dipayungi awan tebal. Agar buku tak lenyap dari negeri ini, para pelaku perbukuan harus segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut. 

Pertama, langkah dari pemerintah. Saat masih menjabat sebagai Mendikbud, Anies Baswedan menggencarkan ekosistem perbukuan sekolah. Buku-buku harus masuk ke sekolah sehingga terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan pelaku perbukuan. Sejumlah aturan diterbitkan, misalnya Permendikbud No 23 Tahun 2015 yang mengatur tentang kegiatan sehari-hari di sekolah yang harus diterapkan, di antaranya membaca buku non-pelajaran 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai, disusul dengan Permendikbud No 8 Tahun 2016 tentang buku yang digunakan oleh satuan pendidikan. Pelaku Perbukuan berharap RUU Perbukuan yang saat ini masih dalam proses penggodokan bisa segera disahkan.

Selanjutnya pemerintah diharapkan cukup menjadi regulator, fasilitator, pembina, pengawas dan penilai saja dalam masalah perbukuan. Bukan justru ikut terlibat sebagai penerbit sebagaimana saat menerbitkan BSE yang secara fakta telah melemahkan banyak penerbit  buku pelajaran. Pemerintah juga diharapkan cukup matang dalam menggodok sebuah kebijakan, sehingga peristiwa semacam penerbitan Kurikulum 2013 yang kemudian dibatalkan tidak terjadi lagi. Anggaran untuk belanja buku ke penerbit sebaiknya juga dinaikkan, seiring dengan perbaikan sistem penilaian buku yang dilakukan pemerintah terhadap penerbit. 

Kedua, langkah dari pelaku utama industri perbukuan,  yaitu penerbit, penulis, distributor dan berbagai unsur yang saling terkait. Teknologi tidak bisa dijadikan kambing hitam, sebab perubahan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Industri buku harus secepatnya menerapkan alih teknologi. Buku fisik memang masih dibutuhkan masyarakat, akan tetapi, lambat laun buku fisik pasti akan berkurang. Penerbit harus mencoba berbagai platform, misalnya e-book. Ikapi perlu meng-upgrade anggota-anggotanya berbagai skill alih teknologi. Selain itu, dengan ekosistem perbukuan yang dikembangkan oleh pemerintah, penerbit harus agresif menawarkan produk-produknya. Tentu produk yang ditawarkan harus produk yang unggul, mendidik, memiliki performance yang bagus, dan harganya terjangkau.
Teknik marketing juga harus berubah. Menurut Kotler dan Keller (2009), memang telah terjadi perubahan secara revolusioner di dunia marketing dewasa ini. Filosofi marketing sudah bukan lagi berbasis produk, alias mencetak buku sebanyak-banyaknya sehingga bisa menjual dengan murah. Tetapi, marketing harus benar-benar mampu melihat, apa kebutuhan pasar, menjawab dengan produk yang berkualitas, dan mengkomunikasikan dengan baik produknya. Pasar sudah bergerak ke dunia cyber, maka penerbit harus mulai bergeser untuk melakukan komunikasi produk yang efektif di dunia cyber. Hingga saat ini, masih ada penerbit di Jateng yang belum memiliki website, akun media sosial, alih-alih memanfaatkannya dengan baik.

Ketiga, langkah berbagai unsur pelaku perbukuan seperti sekolah, perpustakaan dan masyarakat. Berbagai unsur ini, bersama dengan pemerintah dan pelaku industri perbukuan harus menyadari bahwa ekosistem buku harus dihidupkan. Sekolah bisa memotivasi siswanya agar program 15 menit bisa menjadi stimulus terbentuknya tradisi membaca. Perpustakaan tidak sekadar bangunan “mati” dengan rak-rak berisi buku, tetapi juga harus hidup dengan program-program yang menarik masyarakat.  Masyarakat pun seyogyanya menganggarkan dana untuk belanja buku. Jika mentradisikan baca buku kepada orang dewasa yang sudah telanjur asing dengan buku itu sulit, kita bisa memfasilitasi anak-anak kita, sehingga akan tumbuh generasi baru yang akrab dengan buku dan dunia literasi.

Dengan peran aktif semua pelaku perbukuan, saya meyakini bahwa ekosistem perbukuan akan benar-benar hidup, bukan hanya di sekolah dan perpustakaan, tetapi juga di keluarga, di taman-taman kota, halte-halte bus, rumah makan, terminal, stasiun, bandara dan sebagainya. Betapa indahnyadi seluruh sudut negeri ini tumbuh dan berkembang ekosistem buku yang rimbun dan kokoh. 

Sumber foto: www.freevectors.net

7 komentar untuk "Menghidupkan Ekosistem Perbukuan di Indonesia "

Comment Author Avatar
Amiiin....semoga ekosistem buku kembali hidup dan bergairah. Menteri yang sekarang harus nerusin tuh program paj anis baca 15menit sehari di sekolah ditambah inovasi2 lain supaya angka melek literasi dan minat baca kita bisa membaik
Comment Author Avatar
Kayaknya malah tambah rumit... persyaratan buku yang dibaca diperketat :-(
Comment Author Avatar
Hmmm... jadi malu, aku merasa belum maksimal ikut berperan di dalamnya nih.
Btw, thanks for tagging me in facebook ;)
Comment Author Avatar
Mari sama2 membangun ekosistem perbukuan, sebisa kita
Comment Author Avatar
Bismillah, mbak, salam kenal, Usamah dari Bengkulu.
Mau tanya mbak, maaf jika mungkin tidak berhubungan dengan postingan di atas, Tapi setuju memang perbukuan bahkan apresiasis merasa ada penurunan.

Saya alhamdulillah udah baca n punya buku serial marabunta 1-3, kira-kira mencari yang seri ke empat dimana ya mbak, kalo dikota saya sampai saat ini saya belum menemukannya, terimakasih mbak, Salam Berkarya
Comment Author Avatar
Salam kenal, Usamah...
Coba kontak saja ke marketing Gema Insani.
Comment Author Avatar
Jika membicarakan soal dunia penerbitan, cenderung pesimis dan madesu sepertinya. Insan perbukuan mau tidak mau harus cepat beradaptasi dengan perubahan. Memang media elektronik seolah superior, tetapi saya percaya, media cetak tetap perlu selama manusia menggunakan panca indranya. Media elektronik harus diposisikan sebagai pendamping, nilai tambah, bukan pesaing

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!