Wirausaha Itu “Never Ending Learning!”

Pegadaian Syariah Solo Baru Dirampok! Saya kaget sekali ketika membaca berita yang menjadi headline di beberapa media hari itu. Saya bangkit dari kursi dan berlari mencari suamiku. “Mas, ini berita seru. Pegadaian Syariah Solo Baru dirampok!”

Suami saya ikut kaget.  “Wah, berarti perhiasan Ummi ikut dirampok juga?  Perampoknya bersenjata? Kok seram, ya. Tapi, percayalah, Pegadaian nggak mungkin mengecewakan nasabah-nasabahnya. Modal mereka kan besar, namanya juga perusahaan milik negara.”

Tragedi perampokan di Pegadaian Syariah Solo Baru itu terjadi pada hari Senin, 5 Juni 2006, di siang bolong, yakni sekitar jam 11.15-11.30. Delapan orang yang mengendarai mobil Toyota avanza silver, dengan penutup muka, menodongkan senjata api kepada petugas. Mereka pun menggasak uang tunai senilai Rp 26,9 juta dan perhiasan senilai Rp 1,9 miliar yang disimpan di brankas. Satu set perhiasan milik saya ikut menjadi korban perampokan.

Berita tentang perampokan Pegadaian Syariah Solo Baru
Perhiasan itu adalah hadiah dari keluarga suami saat pernikahan kami. Berisi satu gelang, satu cincin, dan kalung, berat total sekitar 12 gram. Nilainya saat itu sekitar tiga juta rupiah. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran kami saat itu.

Suatu malam, ketika sedang memikirkan penambahan modal untuk usaha penerbitan yang baru berjalan sekitar tiga tahun, mendadak saya teringat pada perhiasan yang lebih sering saya simpan di almari itu. Sebagai perempuan, saya memang terbilang aneh, karena malas menggunakan perhiasan. Saya lebih senang tampil  sederhana tanpa pernak-pernik aksesoris. Bahkan baju pun biasa saya pilih yang polos tanpa corak. Lebih suka lagi warna gelap.

Tahun 2003, ketika usia saya 24 tahun, saya memutuskan resign dari sebuah penerbit, meski posisi saya saat itu cukup lumayan: manajer pernaskahan. Saya merasa menjadi karyawan, setinggi apapun posisinya, bukan bagian dari puzzle yang ingin saya tata. Usai resign, saya langsung mendirikan sebuah penerbit kecil, yang pada awalnya khusus menerbitkan buku-buku tulisan saya sendiri. Dengan sedikit tabungan, dibantu suami yang saat itu masih co ass di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, saya mulai menulis, mengedit, mencetak buku-buku saya sendiri. Untuk desain isi dan cover, saya meminta bantuan kepada seorang teman.

Setelah jadi buku, saya tidak melempar ke toko, namun memasarkan secara direct selling melalui berbagai event bekerja sama dengan berbagai lembaga. Metode ini memang melelahkan, karena saya harus roadshow dari kota ke kota, tetapi efeknya sangat bagus, karena buku terjual cepat, dan perputaran modal menjadi sangat lancar. Saya bersyukur, karena memiliki networking yang cukup bagus. Mungkin karena sejak kuliah memang saya aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Bekal jaringan ini super duper penting lho, buat calon pengusaha.

Saat itu, karena kami belum punya kendaraan, kami sering bepergian naik kendaraan umum, atau menyewa mobil. Suami bertindak sebagai sopir sekaligus pengasuh anak saat saya sedang membedah buku-buku saya.

Seandainya saat itu marketing online sudah marak, mungkin saya juga akan menggunakan fasilitas tersebut. Sayangnya, awal tahun 2000-an platform website masih 1.0, alias  masih searah. Belum interaktif. Media sosial juga belum ada. Apalagi Online B2B Marketplace semacam rarali.com, Bukalapak, Tokopedia, dan sebagainya. Komunikasi dunia maya andalan saat itu adalah milis, kadang chatting random via MIRC. Meski begitu, saya juga memanfaatkan fasilitas internet yang terbatas untuk membantu bisnis kecil yang kami rintis.

Berbekal pengalaman tiga tahun bekerja di penerbit (saya mulai bekerja ketika masih kuliah semester akhir), saya mengelola usaha kecil tersebut. Alhamdulillah, pelan-pelan usaha mulai memperlihatkan hasil. Namun, karena modal cekak, kami mengalami kendala saat mencoba berekspansi dengan memperbanyak produk. Kami bingung, darimana mendapatkan modal tersebut? Tak mungkin kami minta orang tua. Kami memang bertekad untuk tidak merepotkan mereka.

Sampai akhirnya saya teringat pada perhiasan itu. Ya, malam itu, ketika sedang membuka pintu almari, mata saya terpaku pada kotak kecil di laci. Jika diuangkan, perhiasan itu cukup untuk membayar DP percetakan. Tetapi… ah, saya ragu. Itu kan hadiah pernikahan. Bagaimana mungkin dijadikan sebagai tambahan modal? 

Aha! Pegadaian! Akhirnya saya menemukan ide itu. Saya tidak menghilangkan perhiasan itu, hanya “memperkerjakannya” demi mendapatkan uang cash. Pelan saya mendekati suami yang belum tertidur, sedang sibuk belajar, maklum, masih mahasiswa. “Mas, saya mendapatkan ide,” bisik saya
“Ide apa?” Tanya suami, sambil menahan kantuk.

“Perhiasan hadiah pernikahan, bagaimana kalau digadaikan? Uangnya bisa untuk DP cetakan.”
“Ide bagus. Tapi, kita harus bisa menebusnya. Kalau tidak, malu sama orang tua,” ujar suami, sembari tersenyum. Saya menjentikkan ibu jari. Kalau suami sudah setuju, insyaAllah semua akan berjalan dengan mudah.

Esoknya, dengan mengendarai motor bebek tua, kami pergi ke pegadaian syariah. Pulangnya, kami sudah mendapatkan uang cash sebagai tambahan modal mencetak buku terbaru saya.
Semua berjalan lancar, sampai kejadian perampokan itu.

Sebenarnya, saat itu kami sudah menyiapkan sejumlah dana untuk menebus perhiasan itu, karena dana yang kami putar sudah kembali, dan juga mendapatkan untung lumayan. Saat itu, meski perhiasan jelas tak kembali, pegadaian juga berkomitmen untuk mengganti semua kerugian nasabah.  Sempat terbersit untuk membeli perhiasan yang baru, minimal agar tidak malu saat orang tua menanyakannya suatu ketika. Namun entah mengapa, saya justru memiliki pemikiran lain.

“Mas, saya punya ide. Bagaimana kalau dana perhiasan ini kita putar lagi. Sebagai perhiasan, dia hanya akan tergeletak di almari. Tetapi, sebagai modal, dia akan menggerakkan usaha. Barangkali, usaha kita akan semakin besar, dan bisa menggaji karyawan, sehingga perhiasan itu akan semakin berkah. Berkah itu juga akan kembali kepada orang tua kita yang telah menghadiahkan perhiasan itu.”

“Itu punyamu, Dik. Ya terserah kamu saja, prinsipnya, aku setuju.”

Akhirnya, uang itu memang tidak kembali menjadi perhiasan, namun terus bergerak menjadi modal. Kami terus bekerja keras mengelola penerbit kecil yang kami rintis, yang kemudian semakin berkembang. Dan pada pertengahan tahun 2007, beberapa teman bergabung dan menyuntikkan dana cukup besar. Tanggal 1 Agustus 2007, penerbit kami resmi berdiri dengan payung hukum PT Indiva Media Kreasi. Berakta notaris, lengkap dengan SIUP dan bahkan masuk kategori PKP.

Hingga saat ini kami telah menerbitkan 400-an judul buku dengan total aset sekitar 4 milyar. Jumlah karyawan saat ini 18 orang. Berbagai penghargaan tinggal lokal maupun nasional telah kami raih, menunjukkan kepercayaan publik atas kinerja kami.
Pre order salah satu novel saya yang diterbitkan PT Indiva Media Kreasi
Apakah saya puas? Rasa syukur tentu ada, sangat besar malah. Tetapi saya sama sekali belum puas. Saya dan tim masih harus berjuang keras untuk menjadikan penerbit kami lebih besar, dan jika perlu nomor satu di Indonesia. Dengan SDM yang masih muda (saya termasuk tertua di sana), kami optimis, bahwa semangat muda, kreativitas dan inovasi, serta idealisme kami akan mewujudkan cita-cita kami tersebut.

Outbond karyawan PT Indiva Media Kreasi, salah satu kegiatan rutin dalam rangka team building
Berwirausaha, memang telah menjadi cita-cita saya sejak kecil. Meski lahir dari keluarga pegawai, darah wirausaha mengalir cukup kencang di jiwa saya. Almarhum Kakek saya dari pihak ayah, adalah polisi yang ketika pensiun berwirausaha dengan mendirikan peternakan sapi perah di daerah Musuk, Boyolali. Peternakannya berkembang pesat, sampai-sampai beliau mendapatkan penghargaan dari presiden RI, saat itu Pak Harto. Eyang Puteri saya dari pihak ibu juga pernah berdagang di pasar, demikian juga ayah dari eyang puteri saya tersebut, dikenal sebagai wirausaha pembuat tempe yang lumayan sukses di daerah Karangreja, Purbalingga, saat itu.

Tentu wirausaha bukan sekadar cita-cita. Saya berusaha mempraktikannya sejak usia muda. Ketika remaja, untuk memenuhi kebutuhan TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) di kampung, saya memprakarsai usaha jual bubur kacang hijau dan aneka makanan kecil dan dijajakan di depan masjid. Saya menangkap peluang dari sekitar 80-an santri TPA yang setiap sore hadir ke masjid untuk belajar mengaji. Dibantu ibu, saya dan teman-teman membikin sendiri bubur tersebut, dan juga berbelanja aneka makanan kecil di pasar kota Bobotsari yang berjarak sekitar 8 kilometer dari desa saya. Ternyata dagangan kami lumayan laris, sehingga kas TPA bertambah gemuk. Kami bisa menjalankan roda organisasi dengan lebih lincah, mampu memberi sedikit tambahan uang saku untuk para pengajar TPA yang tak lain anggota remaja masjid kami.

Kesenangan berniaga berlanjut saat kuliah, namun lagi-lagi masih untuk menambah kas organisasi. Saat itu, di samping kost saya ada penjual gorengan skala menengah. Ratusan gorengan dia bikin setiap hari. Saya pun melobi untuk menjadi reseller. Sang Penjual Gorengan memberi harga Rp 200/potong, dan saya jual ke teman-teman di kampus Rp 250/potong. Dalam sehari, saya bisa menjual hingga 100 potong. Saya tahu, tiap menjelang praktikum, teman-teman kelaparan, tetapi tidak sempat pergi ke kantin karena sibuk bikin laporan. Bayangkan, di jurusan Biologi Fakultas MIPA Undip saat itu, dalam seminggu kami bisa praktikum hingga 5 kali. Semua harus menyetor laporan.

Ya, awalnya saya berbisnis buat organisasi. Baru pertengahan semester, ketika kebutuhan dana semakin meningkat dan support keuangan dari keluarga mulai seret, saya mulai memikirkan untuk berbisnis demi diri sendiri. Saya memang memiliki sedikit penghasilan dari honor atas tulisan-tulisan saya di media, tetapi tentu tidak cukup untuk membiayai kebutuhan saya. Berdagang akhirnya menjadi pilihan saya. Berdagang itu asyik, karena kita tidak terlalu butuh banyak modal. 

Menurut saya, sebelum kita terjun dalam bisnis sebenarnya, yakni memproduksi barang atau jasa, yang perlu kita lancarkan adalah ketrampilan marketing terlebih dahulu. Sebab, menurut Kotler dan Keller (2009: 4), aspek  finansial, operasi, akuntansi dan fungsi bisnis lainnya tidak akan berarti jika tidak ada cukup permintaan produk dan jasa, sehingga perusahaan bisa mendapatkan keuntungan. Kesuksesan dari sebuah organisasi bisnis sangat tergantung dari kesuksesan finansial, yakni bagaimana mereka mampu meningkatkan penjualan produk atau jasa yang mereka tawarkan kepada pembeli. Sedangkan kesuksesan finansial, sangat bergantung pada kemampuan pemasaran. Jadi, pemasaran itu sangat penting, Saudara-Saudara!

Nah, karena saat itu saya lumayan dekat dengan beberapa penerbit, saya meminjam buku-buku mereka untuk saya jual. Sebagian saya jual langsung, sebagian saya titipkan ke beberapa rental komputer.  Kok rental? Ya, sebab saya melihat saat itu toko-toko buku malah sepi, sedangkan rental computer malah selalu ramai dijejali mahasiswa. Ternyata, dugaan saya benar. Keuntungan dari penjualan buku itu lumayan banget untuk menambah uang saku. 

Memulai Wirausaha Sejak Muda? Why Not!
Jadi, wirausaha adalah sesuatu yang telah saya impikan. Bukan sekadar mimpi ya, tapi juga aksi. Menurut saya, kalau kita hanya punya mimpi saja, berarti kita masih jomblo. Mimpi harus dinikahkan dengan aksi.  Maka dia bisa beranak-pinak menghasilkan kesuksesan.

Yang paling penting lagi, jika kita memang sudah memutuskan untuk menjadi A, ya mari konsentrasi untuk menjadi A. Jangan tergoda ke yang lain. Maka, ketika orang-orang berlomba-lomba ikut CPNS, saya sama sekali tidak tertarik. Kakak saya yang berprofesi PNS, setiap ada lowongan PNS selalu menelepon saya, “ayo kamu ikut CPNS, kamu kan pinter, yakin deh bakal lolos.”

Saya tetap tak berminat. Bukan, bukan saya merendahkan profesi PNS. Lha, saya juga lahir dan besar dari keluarga PNS. Saya hanya ingin menempuh sesuatu yang beda. Sejak sangat muda, saya sudah mematok cita-cita: saya mau jadi pengusaha. Dan berwirausaha, harus dilakukan sedini mungkin, serta FOKUS. Berdasarkan pengalaman saya, tahapan usia dan apa yang harus dilakukan untuk memulai berwirausaha bisa dibagi dalam beberapa periode sebagai berikut:


< 20 tahun : Usia persiapan, pembentukan dan penguatan visi misi wirausaha, dan belajar banyak hal. Apa dan bagaimana bentuk bisnis kelak, sebaiknya sudah kita rancang. Bisa diawali dari passion/hobi, atau kecenderungan di keluarga kita. Selanjutnya, jadikan korteks otak kita kita dipenuhi oleh berbagai ilmu dan pengalaman tentang bisnis. Kuasai skill yang mendukung bisnis tersebut dengan banyak latihan. Bagus juga kalau di hari libur, kalian magang di berbagai tempat, agar tahu bagaimana berbisnis itu. Jangan lupa, rajin menabung untuk mengumpulkan modal. Jer basuki mawa beya. Meski bisnis katanya bisa modal dengkul, tapi dengan adanya uang, bisnis bisa lebih lancar.

20 sd. 25 tahun : Praktik usaha, kalian harus sudah mulai punya usaha yang jelas sesuai passion kalian. Saat ini, biasanya kalian sudah berada di bangku perguruan tinggi. Satu keuntungan besar, karena kalian bisa mulai merintis usaha, sementara kalian masih mendapatkan support dana dari orang tua. Kalian bisa lebih leluasa melakukan berbagai  eksperimen. Namanya eksperimen, bisa benar, bisa salah. Bisa berhasil, bisa gagal. Tapi awas, semua harus terukur.

25 sd 30 tahun : Saatnya fokus, mencurahkan seluruh perhatian, inovasi, strategi demi membesarkan usaha kalian. Ini saatnya kalian mengalami pasang surut, bahkan juga topan badai. Pastikan kalian tetap tegar dan kuat menjalani. Jangan banting setir. Setiap kesulitan harus dihadapi dengan gagah berani. Pada usia ini kalian mungkin sudah berkeluarga dan membutuhkan banyak biaya, tetapi jangan boros dengan menghambur-hamburkan hasil usaha meski tampaknya usaha kalian sudah mulai mendapatkan keuntungan lumayan. Pendapatan, seberapapun, harus bisa dipecah dalam beberapa pos: 1) konsumsi; 2) saving; 3) investasi (yakni dana yang terus membuat usaha berputar--modal yang jumlahnya harus terus meningkat); dan 4) sedekah dan sumbangan sosial.

30 sd 40 tahun : Usaha Anda mulai mapan, Anda sudah mulai tenang di belakang kemudi. Tetapi, mungkin saja Anda akan terlena dan mengantuk, lalu stagnan, sehingga lupa bahwa inovasi tak boleh terhenti. Apalagi, dunia terus berubah. Anda harus tetap berpikir keras menyesuikan diri dengan perubahan-perubahan. Hanya saja konsentrasi Anda adalah mempertahankan kendali. Jangan terlalu banyak menempuh tikungan-tikungan tajam yang berpotensi menghancurkan bisnis Anda. 

>40 tahun : Saatnya berekspansi, mencoba melakukan diversifikasi dengan tetap menguatkan basis bisnis sejati Anda. Dengan modal fondasi usaha yang kuat, proses diversifikasi akan berlangsung relatif mulus.

Tahap terakhir ini belum saya alami, saya belum kepala empat, euy! Namun, tahap pertama hingga tahap keempat, secara tertib saya jalani. Berwirausaha itu tidak boleh ujug-ujug alias instan. Abaikan semua iming-iming berbagai usaha yang mampu mengalirkan jutaan dolar dalam hitungan waktu sekejap mata. Bisnis itu never ending learning, never ending trying. Bisnis membutuhkan waktu yang panjang, perencanaan yang teliti, karakter tahan banting, sabar, tidak tergesa-gesa, dan napas panjang. Bisnis itu bukan sprint, tetapi marathon. Kelangsungan bisnis, loyalitas pelanggan, dan masa depan yang baik jauh lebih diutamakan ketimbang keuntungan sesaat, penjualan besar (namun mengecewakan pelanggan),dan pemikiran jangka pendek.

Wahai pemuda, mari semarakkan perekonomian negeri ini dengan semangat berwirausaha. Rancang dan rintis bisnis kalian, sekarang juga! Apalagi, seiring perkembangan teknologi informasi yang luar biasa pesat, sekarang pintu-pintu bisnis terbuka lebih lebar. Berbagai startup secara khusus memberikan peluang lebar-lebar untuk kawula muda dalam memulai bisnis. Beberapa startup penyedia marketplace antara lain: Rarali, Bukalapak, Tokopedia, Olx dan sebagainya. Mengapa saya anjurkan Sobat sekalian berbisnis menggunakan marketplace?

Mengapa Marketplace?

Dunia bisnis memang telah berkembang sangat pesat, bahkan radikal. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena perubahan gaya hidup dari masyarakat kita yang juga merupakan target market kita. Perubahan platform web dari 1.0 yang searah menjadi 2.0 yang memungkinkan adanya web yang interaktif, telah secara revolusioner mengubah wajah internet. Ya,  revolusi internet sedang menyapu bola bumi dengan kecepatan sedemikian rupa, sehingga masyarakat mencoba dengan giat memahami, apa yang sebenarnya tengah terjadi, apa arti semua, kemana pergi dan bagaimana memanfaatkan kesempatan tersebut (Shimp, 2003: 542).

Maka, kian hari, dunia cyber menjadi semakin familiar bagi masyarakat kita. Bisnis pun mengalami sebuah perubahan yang sangat ekstrim. Menurut data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pada kuartal I 2014 sejumlah 82 juta rakyat Indonesia telah terkoneksi dengan internet. (sumber dari sini).

Terbukanya pasar online dengan space yang nyaris tak terbatas telah mengubah metode pemasaran bisnis kita dari model konvensional menjadi jauh lebih dinamis. Masyarakat mulai akrab dengan metode jual beli online, karena selain menghemat waktu, juga sangat simpel, efisien dan efektif. Kita tak perlu berdandan kelimis hanya untuk membeli buku, tak perlu menembus kemacetan, dan tak harus capek-capek menyusuri mal yang luasnya mengalahkan lapangan bola--yang juga belum pasti menyediakan apa yang kita cari.

Jika kalian adalah anak muda yang memiliki cita-cita menjadi pengusaha, berkenalan dan akrab dengan pasar online adalah salah satu syarat wajib. Kehadiran berbagai marketplace harus kita sambut gembira dan antusius. Berbagai Online B2B Marketplace memberikan kemudahan proses transaksi jual-beli melalui teknologi dan fitur yang dapat membantu Seller dan Buyer melakukan proses bisnis lebih mudah, aman, dan transparan. Mereka menghubungkan pembeli, baik korporat maupun individu, dalam menemukan ribuan produk untuk kebutuhan bisnis dan perusahaan dari ratusan supplier ternama dan terpercaya. Ingin memulai bisnismu? Apapun produknya, mulai dari komputer, elektronik, produk kecantikan, furnitur, aksesoris, pakaian, dan segala maca produk, bisa dijual di sana. Demikian juga, jika kita membutuhkan berbagai perlengkapan dan peralatan, baik untuk dipakai sendiri maupun untuk dijual lagi, aneka produk terpajang di sana.

Cobalah marketplace sebagai awalan bisnis kalian!

36 komentar untuk "Wirausaha Itu “Never Ending Learning!”"

Comment Author Avatar
Sudah lama ingin jadi pengusaha sukses. Bener kata Mbak Yeni, setinggi apapun jabatan, kalau statusnya karyawan, ya begitu-begitu saja.

Mbak Yeni, kalau boleh request, kapan-kapan cerita dong Mbak awal mula bikin penerbitan, apa saja persiapan dan langkah2nya. Terimakasih
Comment Author Avatar
InsyaAllah nanti saya tuliskan ya...
Ditunggu saja dan mohon doanya
Comment Author Avatar
Comment Author Avatar
Thank you mbak... sudah berkunjung dan komen :-)
Comment Author Avatar
Saat ini saya masih karyawan. Mudah-mudahan segera punya karyawan...
Comment Author Avatar
Amiin, sudah cocok kok jadi owner
Comment Author Avatar
Lama nggak ngintip blognya.. Jadi keren banget nihh Mbak..
Oh ya.. Saya juga punya semangat enterpreneur, belum berhasil mendirikan apa2 jadi belum saya tuliskan.. XD Masih bereksperiment tampaknya.. :D
Comment Author Avatar
Alhamdulillah, ini pakai template premium buatan Mas Sugeng, blogger senior.
Sekarang aja kalau mau mulai berbisnis. Mungkin bisnis konsultan IT gitu hehe
Comment Author Avatar
Ayo bikin guest posting lagi
Comment Author Avatar
Menginspirasi. Jazakillah khair, Mbak.
Ikutan lombanya juga ah... :D
Comment Author Avatar
Ayo, ditunggu artikel Rafif juga
Comment Author Avatar
Terharu baca artikel ini.
Semoga Indiva sukses dan berjaya selalu.
Bangga menjadi salah satu bagian dari Indiva.
Comment Author Avatar
Antara modal, jaringan dan skill, mana yg nurut kakak paling diutamakan?
Comment Author Avatar
Ketiganya penting, kalau kita punya salah satu, yang keduanya harus dicari. Tapi menurut saya, yang paling mendasar ya skill dahulu, lalu jaringan, terakhir modal.
Comment Author Avatar
Kisah yang sangat menarik. Saya sedang berusaha membangun bisnis, meski mungkin terlambat krn usia sudah 30-an.
Comment Author Avatar
Asal direncanakan dengan matang, meski tantangan tentu lebih besar, WHY NOT?
Comment Author Avatar
Sangat menarik...
Saya berminat utk membangun bisnis sendiri. Doakan ya
Comment Author Avatar
Kisah yang inspiratif sekali mba Yeni, saya dan suami pun sudah merencanakan berwirausaha meskipun saat ini usaha kami sudah tutup tapi kami tak ingin berhenti wlw skrg mengumpulkan modal dulu untuk membuat usaha.
Semoga bisa mengikuti jejak mba Yeni :) saya juga sama dengan mba Nurin diatas penasaran dengan mula usaha membuat penerbitan ini. Semoga berkenan ^^
Comment Author Avatar
Modal, jaringan dan skill. Ketiganya harus diperkuat. Semoga sukses usahanya. Untuk usaha penerbitan, kapan-kapan saya buatkan postingnya ya. Terimakasih atas kunjungannya.
Comment Author Avatar
Bukankah penerbitan pun skrg udah nyaris tergeser perubahan zaman?
Comment Author Avatar
Mas Bahtiar, asal penerbit bisa cepat alih teknologi, insyaAllah tetap eksis
Comment Author Avatar
Inspiratif banget mba, bacanya kudu berulang2 ya
Comment Author Avatar
Serius mbak? Kenapa berulang-ulang? Apa tulisannya kurang jelas? :-)
Comment Author Avatar
Selalu salut dengan para wirausahawan, keren.
Comment Author Avatar
Mesti harus jatuh bangun, Mas...
Terimakasih atas kunjungannya ya
Comment Author Avatar
Mbak, sebentar lagi saya 40 tahun. Saya merasa penghasilan sbg karyawan sudah mentok. Tapi sy ingin nambah penghasilan dg bisnis, tapi gk ada pengalaman. Terlebih, sy tipe fokus, gk bisa multitasking. Ada saran?
Comment Author Avatar
Kalau tipenya fokus, mending yg sudah ada (karyawan) dioptimalkan. Bisa cari2 tambahan penghasilan sesuai keahlian, yg dikerjakan di luar jam kerja.
Comment Author Avatar
Wah keren tipsnya, aku udah baca. Dan Ralali.com emang membantu banget buat para pengusaha, karena mampu menghubungkan pengusaha satu dengan yang lainya untuk transaksi grosir lebih mudah. Sebagai tukang layangan, sayapun jadi terbantu dalam menemukan partner jualan saya

Btw kunjungan baliknya ya di artikelku ini http://amir-silangit.blogspot.co.id/2016/11/mudahnya-memulai-usaha-di-usia-muda.html

Terimakasih^_^
Comment Author Avatar
Terimakasih komen dan kunjungannya...
Siap kunjungan balik
Comment Author Avatar
Komen pertama tertanggal 13 Oktober 2016(?!?)

Ehm! Entah kenapa keluargaku menanamkan bahwa jadi PNS itu jaminan kelayakan hidup, namun Kanjeng Ramaku juga mejang aja nganti dadi Babune Nguwong? Seolah kebingungan itu harus aku sendiri yang mencari jawabannya**
Betewe
Aku bersyukur menyukaimu, Bund!
Berharap dimudahkan belajar darimu.
Semoga dirimu tak pernah segan untuk berbagi..
Comment Author Avatar
Kebanyakan, menjadi PNS memang "layak hidup", meski akhirnya bergantung orang per orang. Keluarga saya banyak yg PNS, ada yang krn cara memenej keuangannya kurang bagus, ya terbelit utang juga.
Comment Author Avatar
InsyaAllah akan terus berbagi, sebab berbagi adalah cara kita untuk tumbuh :-)

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!