Soto Kerbau, Kanjeng Sunan, Dan Arti Sebuah Toleransi


Minggu kemarin, 16 April 2017, saya berkesempatan mendatangi Kudus, sebuah kota yang terletak di timur Semarang. Senang sekali, karena suami tercinta ternyata tak ada agenda, sehingga hari itu, beliau dengan tulus ikhlas rela mensopiri Chevrolet Spin kesayangan kami demi mengantar istri kesayangannya ini. Di Kudus, saya berkewajiban menyampaikan sedikit ilmu tentang pranikah untuk para mahasiswi di STIKES Muhammadiyah. Karena di run down yang disampaikan panitia acara dimulai jam 7.30 WIB, kami berhitung dengan waktu. Walhasil, sejam sebelum Shubuh kami sudah meluncur menuju kota Kudus, dan shalat Subuh di sebuah masjid di daerah Sumberlawang.
Alhamdulillah, perjalanan cukup lancar, meski terkendala dengan beberapa ruas perbaikan jalan. Jam 6.30, kami sudah sampai di Kudus.

“Lapar, nih...,” ujar suami. “Coba searching di Google, dong, makanan yang ready pagi begini?”
Saya pun membuka android, melacak beberapa objek kuliner khas Kudus. “Soto kerbau nih, mau?”
“Wah, mau!” ujar suami saya, antusias.

Kuliner yang unik memang yang kami cari. Seumur hidup, terus terang saya belum pernah merasakan seperti apa rasa daging kerbau. Sekitar 5 KM, sampailah kami di sebuah rumah makan di pusat Kota Kudus. Soto Kerbau Bu Ramidjan namanya. Tak terlalu besar, hanya dua ruko kecil yang dijadikan satu. Pas kami datang, warung baru buka.
“Soto kerbau dua, teh hangat dua, ya, Bu...” saya memesan menu.
“Ya, mbak.”


Tak sampai lima menit, dua mangkok soto kerbau terhidang. Saya amati sesaat daging kerbau tersebut. Warnanya lebih merah daripada daging sapi. Saya gigit, lho kok empuk. Pasti ada resep khusus nih, soalnya setahu saya, daging kerbau itu alot.
Rasanya, enak... tapi sedikit lebih manis. Di meja, ada juga berbagai hidangan. Ada paru kerbau, dan aneka jerohan kerbau.

“Bu, sudah lama membuka warung ini?” tanya saya.
“Lama, Mbak...”
“Daging kerbaunya didapat dari mana?”
“Banyak, mbak. Di pasar-pasar banyak.”
“Kalau daging sapi?”
“Ndak ada, Mbak. Ndak boleh, Kanjeng Sunan melarang kami memakan daging sapi.”
“Kenapa?” meski saya sudah pernah mendengar cerita itu, saya tetap ingin mendengar jawaban langsung dari orang Kudus.
“Karena dulu di sini banyak orang Hindu. Bagi orang Hindu, sapi itu binatang yang dimuliakan, tidak boleh dibunuh. Jadi, untuk menghormati orang Hindu, Kanjeng Sunan melarang orang Islam membunuh sapi. Sebagai gantinya, boleh memakan daging kerbau.”
Saya mengangguk-angguk. “Jadi, kalau qurban juga kerbau yang disembelih?”
Si ibu mengangguk.

Ketika saya mencoba mencari sumber tertulis tentang pelarangan makan daging sapi bagi warga Kudus, saya mendapatkan di Serat Wulangreh, tulisan Sri Susuhunan Paku Buwono IV (PB IV), yang berbunyi begini: Têdhaking Kudus tan kêna | adhahara daging sapi (Pupuh Sinom, bait 32). Tetapi, sepertinya, tulisan PB IV itu merujuk pada tradisi yang terjadi sebelumnya. Beliau hanya mengingatkan kembali dalam Serat Wulangreh. Mungkin saja memang itu benar dari Sunan Kudus saat mulai berdakwah di daerah Kudus, yang saat itu menjadi wilayah kekuaaan Kerajaan Demak.

Diam-diam saya termenung. Angan saya melayang pada tahun 1500-an, saat seorang bangsawan muda bernama Raden Ja’far Shodiq menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa Ja’far Shodiq berasal dari Palestina. Konon, nama Kudus, yang disematkan menjadi nama kota, berasal dari kata Al-Quds, Palestina. Nama asli kota Kudus sendiri adalah Tajug, dan pada saat itu merupakan sebuah kota yang disucikan oleh umat Hindu. Desa Tajug dihadiahkan Sultan Demak kepada Ja’far Shodiq karena telah membantu sultan menaklukkan Majapahit, di mana saat itu Ja’far menjadi panglima perang di pasukan Raden Patah, Sultan Demak yang pertama.

Penaklukan Majapahit oleh Demak sendiri memiliki banyak kontroversi. Ada sumber yang menyebutkan bahwa Raden Patah bukan memerangi Majapahit, namun memerangi Girindrawardhana yang merebut Majapahit dari Brawijaya. Pendapat ini dikuatkan dari prasasti petak dan prasasti Jiyu. Prasasti ini mementahkan tulisan yang ada di Babad Tanah Jawi, bahwa perang Majapahit vs Demak adalah Perang Sudarma Wisuta, yaitu peperangan antara ayah (Brawijaya) melawan anaknya (Raden Patah).

Wallahu a’lam... teori tentang akhir kerajaan Majapahit memang beragam banget...
Intinya, Ja’far Shodiq pernah membela Demak, dan kemudian mendapat hadiah tanah perdikan bernama Tajug. Terinspirasi dari Al-Quds di Palestina, Ja’far Shodiq menamai desa itu dengan nama Kudus. Beliau sendiri akhirnya lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus.
Nah, menariknya, saat melakukan Islamisasi, ternyata Sunan Kudus lebih menempuh pendekatan kultural. Beliau tetap menghormati umat yang saat itu mayoritas, Hindu, dengan tidak menyakiti mereka dengan penyembelihan sapi. Keren, kan? Toleransi, ternyata telah dilakukan umat Islam sejak 5 abad yang lalu.

Bagi saya, kearifan lokal masyarakat Kudus ini menarik. Namun, saya juga tak menafikan kenyataan, bahwa sapi bagi umat Islam, memang bukan sesuatu yang haram.
Kenyataannya, di Kudus pun saat ini sudah mulai ada sebagian umat Islam yang mulai mengonsumsi sapi, dan menyembelih qurban berupa sapi. Saya tidak menyalahkan mereka, juga tidak menyalahkan sebagian umat Islam di Kudus yang masih kukuh memegang teguh ajaran Sunan Kudus, meski saat ini, umat Hindu di Kudus sudah menjadi minoritas.

Toleransi harus dilanjutkan. Jika dahulu umat Islam dengan apik bertoleransi dengan kaum Hindu, masak sekarang sesama umat Islam tidak bisa saling menghargai pendapat masing-masing?
“Mi, mangkokmu sudah kosong tuh, ngelamun melulu!” ujar suamiku.
“Yeiiy, siapa ngelamun? Ini sedang merenung, Bi... sedang memikirkan hal serius,” kata saya sambil nyengir kecut.
“Tidak ada yang lebih penting saat ini ketimbang membayar semua makanan dan segera sampai ke lokasi. Nih sudah setengah delapan!”
“Siap, bos!”

Kami pun akhirnya meninggalkan warung soto tersebut. Lamat-lamat, saya seperti merasakan suasana tempo dahulu. Ketika sosok bersurban dan berjubah putih itu mengajari orang-orang awam bersyahadat dengan penuh kesabaran. Ah, Kanjeng Sunan... saya rindu bertemu denganmu.

6 komentar untuk "Soto Kerbau, Kanjeng Sunan, Dan Arti Sebuah Toleransi"

Comment Author Avatar
Subhanallah, ternyata masyarakatmuslim Kudus sangat menghormati umat agama lain. Inspirinh mbak...
Comment Author Avatar
Satu jenis kearifan lokal yang perlu dihargai
Comment Author Avatar
Favoritkuh banget soto keboo. Kalo d Kudus emang jaraang banget yg jual daging sapi, gantinya kebo.
Comment Author Avatar
Jadi pengin main ke Kudus lagi :-)
Comment Author Avatar
Dari tetangga yang jual rendang daging sapi, mengalir cerita juga tentang rendang daging kerbau di Kudus. Jadi pengen icip-icip juga nih kuliner daging kerbau
Comment Author Avatar
sekalian ziarah ke makam Walisongo

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!