Catatan Haji 3: Shalat Arbain, Antara Nikmat dan Pekerjaan Berat
Jamaah berbondong-bondong masuk ke Masjid Nabawi (foto: koleksi pribadi) |
Ahad, 29 Juli 2018...
Maghrib di hari itu, menjadi start kami melakukan shalat Arbain yang akan dijalankan sampai delapan hari ke depan. Memang, itulah kegiatan utama jamaah haji saat berada di Madinah. Khususnya tentu haji reguler, saya kurang tahu kalau haji khusus (plus), apakah ada kegiatan shalat Arba'in atau tidak, mengingat mereka hanya 25 hari di Arab Saudi, berbeda dengan haji reguler yang selama 40 hari berada di Haramain.
Kalau umrah, kecuali umrah yang ada program Arba'innya, setahu saya juga tidak melakukan program ini karena keterbatasan waktu. Ya, untuk menjalankan Arba'in, berarti butuh 5 kali shalat waktu dikalikan 8 hari. Pada program haji reguler, biasanya diberi spare 2 kali shalat fardhu, sehingga kalau memang rutin mengerjakan, bisa 42 kali shalat fardhu di Masjid Nabawi.
Mungkin di antara teman-teman ada yang belum tahu apa itu shalat Arbain, saya jelaskan sebentar nggak papa, kan?
Arbain artinya 40, shalat Arba'in artinya mengumpulkan 40 shalat fardhu berturut-turut tanpa jeda. Dalil shalat ini adalah hadist ini
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
“Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.”
Tapi, kalau saya baca dari salah satu sumber yang saya baca, ternyata hadist itu merupakan hadist yang dhaif. Menurut artikel di sana, hadist ini diriwayatkan dari jalur Abdurrahman bin Abi ar-Rijal, dari Nabith bin Umar, dari Anas bin Malik secara marfu’, sementara Nabith merupakan sosok yang tidak dikenal.
Namun, ada juga hadist yang shahih adalah dari Anas bin Malik ini:
“Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan."
Mari kita perhatikan seksama! Hadist dari Anas itu tidak merujuk pada Masjid Nabawi, artinya, di masjid manapun, jika arbain ditegakkan, maka akan terbebas dari neraka dan kemunafikan.
Tetapi, meskipun begitu, tetap saja aktivitas Shalat Arba'in di Masjid Nabawi akan terasa sangat istimewa, sebab kata Rasulullah SAW, shalat di Masjid Nabawi itu keutamaannya 1000 kali dibanding shalat di masjid lain.
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram.” (HR. Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394, dari Abu Hurairah).
Nah, sekarang jadi sinkron, kan? Meskipun shalat Arba'in pada prinsipnya bisa dilakukan di manapun, tetapi jika dilakukan di Masjid Nabawi, keutamaannya 1000 kali dibanding masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram.
Dan menurut saya, shalat Arba'in merupakan salah satu bentuk pendidikan tentang kedisiplinan yang sangat bagus bagi para jamaah haji, termasuk saya yang selama ini masih ogah-ogahan shalat tepat waktu secara berjamaah di masjid. Kadang saya melegitimasi diri sendiri, bahwa ada hadist yang menyebutkan bahwa keutamaan seorang wanita memang shalat di rumah. Tetapi, jika diniatkan untuk syiar dakwah, mengenal masyarakat dengan lebih baik, shalat berjamaah di masjid saya kira sangat utama.
Nggak lucu kan, jika kita berpegangan bahwa shalat di rumah lebih baik, sementara kita malah rajin keluyuran di luar kota, ke mal, ke pasar, ke toko buku dan sebagainya?
* * *
Masjid Nabawi (foto: koleksi pribadi) |
Ketika melangkah keluar dari hotel, Menara Masjid Nabawi sudah terlihat dari kejauhan. Saya masuk melewati Gate 6.
Seperti saya sebutkan di bagian kedua catatan ini, jarak dari Hotel Wardah Mubarok tempat kami menginap hingga Gate 6 sekitar 750 meter. Namun, jangan salah, dari Gate 6 menuju masjid khusus puteri masih berjalan sekitar 500 meter lagi, saking besarnya Masjid Nabawi. Nah, kalau masjid penuh, kami harus di pelataran paling belakang, berjalan sekitar 300 meter lagi, hehe. Jadi, perjalanan menuju masjid harus menempuh jarak sekitar 1,5 km. Tidak jauh kalau cuma sekali. Kalau pulang-pergi, dan dikalikan 5 waktu dalam sehari?
Saat kami datang, ternyata Masjid Nabawi sedang dalam puncak kedatangan jamaah haji dari seluruh dunia, sehingga kami tak bisa mendapat tempat di dalam masjid. Tapi, pelataran pun sudah oke punya. Seluruh pelataran masjid berlantai putih bersih, dialasi karpet tebal, dan saat siang dinaungi payung-payung raksasa nan indah, lengkap dengan kipas angin yang bisa menyemprotkan uap air ke segenap penjuru. Saat jelang malam, payung akan menutup dan jelang dhuha, akan mengembang pelan-pelan. Aktivitas mengamati payung yang menutup dan mengembang sendiri, akan menjadi salah satu kegemaran yang tak akan mungkin terlupakan.
"Ramai sekali Masjid Nabawi," jelas seorang Muslimah dari Malaysia, yang dengan ramah mau berbagi tempat saat usai Maghrib saya mencoba masuk ke dalam masjid. "Kemarin masih sepi," katanya dengan dialek ala 'Upin-Ipin.'
Dia bercerita bahwa sudah sepekan di Madinah, dan sebentar lagi akan pergi ke Mekah. Dia bercerita tentang kondisi masjid yang masih agak longgar di awal-awal kedatangannya di kota ini.
Jamaah dari Malaysia, kalau sepanjang pengalaman saya di Haramain, menurut saya merupakan jamaah paling ramah. Mereka menerima kita seperti bertemu saudara, apalagi bahasa mereka kan hampir mirip dengan kita. Tak terasa 'perseteruan' yang sering menguar saat terjadi ketegangan antarnegara bertetangga ini di sana. Yang ada malah sikap ukhuwah yang hangat.
Satu hal yang membuat saya agak merasa kaget adalah ketika usai shalat maghrib dan isya, ternyata ada shalat jenazah. Ternyata tradisi di Masjid Nabawi, ketika shalat fardhu berakhir, akan diselenggarakan shalat jenazah. Jamaah di masjid akan menyalati jenazah warga Saudi ataupun jamaah haji yang wafat. Kebiasaan tersebut juga dilakukan di Masjidil Haram, Mekah. Jadi, kalau Anda hendak haji atau umroh, sebaiknya salah satu bekal ilmu yang harus dibawa adalah tata cara shalat jenazah.
Saat Adzan Isya berkumandang, saya benar-benar sulit menahan kantuk. Meski sudah mencoba menghilangkan kantuk dengan berwudhu, tetap saja tubuh saya seakan melayang saat berdiri hendak shalat berjamaah.
Shalat Isya di Madinah saat itu hampir jam setengah sembilan, sementara, ada perbedaan waktu antara Madinah dengan Solo sekitar 4 jam. Jam setengah sembilan di sana sama dengan jam 00.30 di Solo. Pantas, rasanya sungguh mengantuk.
Mata saya baru terbuka lebar saat terdengar lantunan suara yang sudah sangat saya kenal dari muratal-muratal yang sering saya dengar: Syeikh Hudhaifi, Imam Masjid Nabawi.
Meski sangat nikmat, mengesankan dan mampu membawa saya terbang dalam pesona munajat yang tak pernah saya rasakan sebelumnya, Shalat Arba'in tetap terasa berat.
Ada beberapa sebab. Pertama, soal jarak. Sampai ke tempat shalat dan kembali ke hotel, setidaknya saya harus menempuh jarak sekitar 2,5 hingga 3 km.
Padahal, paling tidak, dalam sehari saya menempuh 3 kali perjalanan PP hotel-masjid. Perjalanan pertama saat berangkat dini hari, biasanya jam 3 malam untuk Qiyamul Lail, Subuh dan menunggu Syuruk lalu Dhuha.
Perjalanan kedua, shalat Dhuhur dan Asyar yang jadi satu paket. Perjalanan ketiga, Maghrib-Isya. Awalnya, hampir setiap shalat fardhu kami pulang dulu ke hotel, lama-lama kaki terasa gempor, sehingga memang harus bersiasat seperti di atas, menyatukan beberapa waktu shalat dalam satu perjalanan. Untuk itu, kami terbiasa membawa bekal snack, kurma atau buah. Sedangkan air zamzam tersedia melimpah di masjid. Kalau nasi, biasanya dilarang olah asykar yang bertugas. Setiap hendak masuk masjid, tas kami memang akan diperiksa oleh Asykar Muslimah yang bertugas. Mereka juga akan mengatur jamaah agar tertib, teratur dan tidak berjubel.
Asykar Muslimah di Madinah ini merupakan topik pembicaraan yang menarik di kalangan ibu-ibu jamaah haji Indonesia. Sebab, aksen mereka saat berbahasa Indonesia sangat unik didengar. "Sudah penuh ibuu... sanaa... sanaa!" teriaknya sambil mengarahkan jamaah untuk menuju tempat yang kosong. Mereka tegas, tapi baik. Dan kata sebagian ibu, jika purdah mereka dibuka, wajah mereka sangat cantik.
Nah, kembali ke soal jarak ya...
Jadi, sehari paling tidak harus berjalan kaki sekitar 7,5 km. Itu belum aktivitas lain. Ke toilet masjid misalnya, bisa berjalan kaki sekitar 300 meter, pulang pergi berarti 600 meter, hehe... Padahal, saya pernah mengalami 'insiden' sakit perut aneh yang bikin bolak-balik toilet.
Tiga hari pertama, pinggang saya terasa sangat pegal, bahkan tak bisa ditekuk ke depan. MasyaAllah. Alhamdulillah, berangsur-angsur saya bisa menyesuaikan diri. Ya, seperti saya ceritakan di depan, suami saya memotivasi saya dengan unik. "Obat sakit pinggang, jalan kaki lebih jauh lagi, dengan langkah lebih cepat lagi...."
Kedua, beradaptasi dengan waktu yang berbeda sekitar 4 jam dengan WIB juga juga berat. Apalagi, jam di Madinah, jika disamakan dengan WIB, mungkin sama dengan di Padang atau mungkin Medan. Jam magrib di sana hampir jam 7, isya setengah sembilan. Jadi, aslinya jarak waktu dengan Solo empat jam lebih.
Saat Maghrib-Isya, adalah saat harus berjuang melawan kantuk. Semakin mengantuk karena tidur kami memang termasuk sangat kurang. Jam 2 malam sudah bangun, antre kamar mandi, dan tidur kembali setidaknya jam 10 atau 11 malam.
Ketiga, kata suami saya, ibu-ibu lebih sulit mengerjakan Arbain karena relatif jarang ke masjid untuk shalat jamaah. Tak semua ibu sih, tapi saya termasuk yang demikian. Karena tidak terlalu sering ke masjid, maka shalat kadang tidak on time. Atau, tepat pada waktunya, tapi tidak bergantung pada adzan atau iqomah. Nah, Arba'in di Madinah ini benar-benar sebuah pelajaran berharga tentang kedisiplinan, komitmen dan kesungguhan.
Alhamdulillah, Allah SWT memberikan saya kemampuan, walau memang tidak mudah menjalaninya. Shalat Arba'in memang nikmat, tetapi benar-benar sungguh berat. Semoga suatu saat saya punya kesempatan untuk kembali ke Masjid Nabawi dan mengulang kegiatan ini. Amiin, Ya Rabb.
BERSAMBUNG
Seperti saya sebutkan di bagian kedua catatan ini, jarak dari Hotel Wardah Mubarok tempat kami menginap hingga Gate 6 sekitar 750 meter. Namun, jangan salah, dari Gate 6 menuju masjid khusus puteri masih berjalan sekitar 500 meter lagi, saking besarnya Masjid Nabawi. Nah, kalau masjid penuh, kami harus di pelataran paling belakang, berjalan sekitar 300 meter lagi, hehe. Jadi, perjalanan menuju masjid harus menempuh jarak sekitar 1,5 km. Tidak jauh kalau cuma sekali. Kalau pulang-pergi, dan dikalikan 5 waktu dalam sehari?
Saat kami datang, ternyata Masjid Nabawi sedang dalam puncak kedatangan jamaah haji dari seluruh dunia, sehingga kami tak bisa mendapat tempat di dalam masjid. Tapi, pelataran pun sudah oke punya. Seluruh pelataran masjid berlantai putih bersih, dialasi karpet tebal, dan saat siang dinaungi payung-payung raksasa nan indah, lengkap dengan kipas angin yang bisa menyemprotkan uap air ke segenap penjuru. Saat jelang malam, payung akan menutup dan jelang dhuha, akan mengembang pelan-pelan. Aktivitas mengamati payung yang menutup dan mengembang sendiri, akan menjadi salah satu kegemaran yang tak akan mungkin terlupakan.
"Ramai sekali Masjid Nabawi," jelas seorang Muslimah dari Malaysia, yang dengan ramah mau berbagi tempat saat usai Maghrib saya mencoba masuk ke dalam masjid. "Kemarin masih sepi," katanya dengan dialek ala 'Upin-Ipin.'
Dia bercerita bahwa sudah sepekan di Madinah, dan sebentar lagi akan pergi ke Mekah. Dia bercerita tentang kondisi masjid yang masih agak longgar di awal-awal kedatangannya di kota ini.
Jamaah dari Malaysia, kalau sepanjang pengalaman saya di Haramain, menurut saya merupakan jamaah paling ramah. Mereka menerima kita seperti bertemu saudara, apalagi bahasa mereka kan hampir mirip dengan kita. Tak terasa 'perseteruan' yang sering menguar saat terjadi ketegangan antarnegara bertetangga ini di sana. Yang ada malah sikap ukhuwah yang hangat.
Satu hal yang membuat saya agak merasa kaget adalah ketika usai shalat maghrib dan isya, ternyata ada shalat jenazah. Ternyata tradisi di Masjid Nabawi, ketika shalat fardhu berakhir, akan diselenggarakan shalat jenazah. Jamaah di masjid akan menyalati jenazah warga Saudi ataupun jamaah haji yang wafat. Kebiasaan tersebut juga dilakukan di Masjidil Haram, Mekah. Jadi, kalau Anda hendak haji atau umroh, sebaiknya salah satu bekal ilmu yang harus dibawa adalah tata cara shalat jenazah.
* * *
Saat Adzan Isya berkumandang, saya benar-benar sulit menahan kantuk. Meski sudah mencoba menghilangkan kantuk dengan berwudhu, tetap saja tubuh saya seakan melayang saat berdiri hendak shalat berjamaah.
Shalat Isya di Madinah saat itu hampir jam setengah sembilan, sementara, ada perbedaan waktu antara Madinah dengan Solo sekitar 4 jam. Jam setengah sembilan di sana sama dengan jam 00.30 di Solo. Pantas, rasanya sungguh mengantuk.
Mata saya baru terbuka lebar saat terdengar lantunan suara yang sudah sangat saya kenal dari muratal-muratal yang sering saya dengar: Syeikh Hudhaifi, Imam Masjid Nabawi.
Meski sangat nikmat, mengesankan dan mampu membawa saya terbang dalam pesona munajat yang tak pernah saya rasakan sebelumnya, Shalat Arba'in tetap terasa berat.
Ada beberapa sebab. Pertama, soal jarak. Sampai ke tempat shalat dan kembali ke hotel, setidaknya saya harus menempuh jarak sekitar 2,5 hingga 3 km.
Padahal, paling tidak, dalam sehari saya menempuh 3 kali perjalanan PP hotel-masjid. Perjalanan pertama saat berangkat dini hari, biasanya jam 3 malam untuk Qiyamul Lail, Subuh dan menunggu Syuruk lalu Dhuha.
Perjalanan kedua, shalat Dhuhur dan Asyar yang jadi satu paket. Perjalanan ketiga, Maghrib-Isya. Awalnya, hampir setiap shalat fardhu kami pulang dulu ke hotel, lama-lama kaki terasa gempor, sehingga memang harus bersiasat seperti di atas, menyatukan beberapa waktu shalat dalam satu perjalanan. Untuk itu, kami terbiasa membawa bekal snack, kurma atau buah. Sedangkan air zamzam tersedia melimpah di masjid. Kalau nasi, biasanya dilarang olah asykar yang bertugas. Setiap hendak masuk masjid, tas kami memang akan diperiksa oleh Asykar Muslimah yang bertugas. Mereka juga akan mengatur jamaah agar tertib, teratur dan tidak berjubel.
Asykar Muslimah di Madinah ini merupakan topik pembicaraan yang menarik di kalangan ibu-ibu jamaah haji Indonesia. Sebab, aksen mereka saat berbahasa Indonesia sangat unik didengar. "Sudah penuh ibuu... sanaa... sanaa!" teriaknya sambil mengarahkan jamaah untuk menuju tempat yang kosong. Mereka tegas, tapi baik. Dan kata sebagian ibu, jika purdah mereka dibuka, wajah mereka sangat cantik.
Nah, kembali ke soal jarak ya...
Jadi, sehari paling tidak harus berjalan kaki sekitar 7,5 km. Itu belum aktivitas lain. Ke toilet masjid misalnya, bisa berjalan kaki sekitar 300 meter, pulang pergi berarti 600 meter, hehe... Padahal, saya pernah mengalami 'insiden' sakit perut aneh yang bikin bolak-balik toilet.
Tiga hari pertama, pinggang saya terasa sangat pegal, bahkan tak bisa ditekuk ke depan. MasyaAllah. Alhamdulillah, berangsur-angsur saya bisa menyesuaikan diri. Ya, seperti saya ceritakan di depan, suami saya memotivasi saya dengan unik. "Obat sakit pinggang, jalan kaki lebih jauh lagi, dengan langkah lebih cepat lagi...."
Menanti shalat di belakang galon-galon air Zamzam yang banyak tersedia di Masjid Nabawi |
Kedua, beradaptasi dengan waktu yang berbeda sekitar 4 jam dengan WIB juga juga berat. Apalagi, jam di Madinah, jika disamakan dengan WIB, mungkin sama dengan di Padang atau mungkin Medan. Jam magrib di sana hampir jam 7, isya setengah sembilan. Jadi, aslinya jarak waktu dengan Solo empat jam lebih.
Saat Maghrib-Isya, adalah saat harus berjuang melawan kantuk. Semakin mengantuk karena tidur kami memang termasuk sangat kurang. Jam 2 malam sudah bangun, antre kamar mandi, dan tidur kembali setidaknya jam 10 atau 11 malam.
Ketiga, kata suami saya, ibu-ibu lebih sulit mengerjakan Arbain karena relatif jarang ke masjid untuk shalat jamaah. Tak semua ibu sih, tapi saya termasuk yang demikian. Karena tidak terlalu sering ke masjid, maka shalat kadang tidak on time. Atau, tepat pada waktunya, tapi tidak bergantung pada adzan atau iqomah. Nah, Arba'in di Madinah ini benar-benar sebuah pelajaran berharga tentang kedisiplinan, komitmen dan kesungguhan.
Alhamdulillah, Allah SWT memberikan saya kemampuan, walau memang tidak mudah menjalaninya. Shalat Arba'in memang nikmat, tetapi benar-benar sungguh berat. Semoga suatu saat saya punya kesempatan untuk kembali ke Masjid Nabawi dan mengulang kegiatan ini. Amiin, Ya Rabb.
BERSAMBUNG
1 komentar untuk "Catatan Haji 3: Shalat Arbain, Antara Nikmat dan Pekerjaan Berat"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!