Benarkah Cantik Itu Harus Putih?
Pernahkah Anda melihat iklan yang pernah ‘ngebom’ layar televisi lokal kita beberapa saat yang lalu? Saya lupa persisnya seperti apa, tetapi kurang lebih, beginilah adegannya.
Seorang gadis menjerit ketika melihat wajahnya di depan cermin! “Ya ampuuun, kapok deh aku ikutan aksi. Panaas banget, so, mukaku gosong, deh!”
Lihatlah, betapa bingung dan paniknya dia, melihat wajahnya yang biasa putih bersih, tiba-tiba menjadi terbakar. Sebenarnya nggak gosong-gosong amat, sih. Tetapi, sang gadis tampak seperti sedang tersesat di rimba raya, bingung dua belas segi. Meski hidup masih berjalan, dan jatah uang saku juga tetap lancar mengalir, doski sama sekali tidak bahagia. Sebaaaab, kulitnya berubah gelap. You know, apa arti kulit gelap bagi seorang gadis? Jelek, udik, nilai pasaran rendah.
Anda boleh protes, tapi itulah kenyataannya. Menjadi putih, bagi mayoritas perempuan, sama halnya menjadi terlihat “jantan” bagi mayoritas lelaki. Jika berbagai cara dilakukan para lelaki untuk terlihat macho, bahkan jika untuk itu dia perlu mengosongkan dompetnya, demikian juga yang dilakukan kaum perempuan untuk terlihat putih. Sebab, putih itu artinya cantik. Sedangkan cantik itu adalah cara agar “nilai jual” sang perempuan menjadi tinggi. Sebab, dengan cantik, kehidupan menjadi lebih mudah.
Bahkan, ada riset yang menunjukkan, bahwa perempuan cantik itu ternyata memiliki karir lebih bagus daripada yang tidak cantik. Ya, meski kita harus tepok jidat, apa sih hubungan antara kecantikan dengan keprigelan dalam bekerja, nyatanya, memang itulah yang terjadi, sodara-sodara!
Suatu hari, saya termenung usai membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang gaya hidup para perempuan ibukota, khususnya yang berada pada level sosialita. Dengan entengnya mereka bercerita tentang program perawatan kulit senilai berjuta-juta rupiah yang secara rutin mereka lakukan, demi mendapatkan kulit yang cling alias bening. Tak cukup menjadikan kulit putih, jika perlu mendekati kulit para bule, mereka juga mempermak penampilan dengan mencat rambut menjadi pirang, lens kontak warna biru, dan mereparasi hidung dan dagu sehingga terlihat lebih “oke”.
Mengapa menjadi putih itu sangat penting bagi mayoritas wanita? Sebab, selama ini kita telah dibentuk oleh semacam “standardisasi” tentang perempuan cantik. Langsing, tinggi semampai, dan tentu saja putih. Standard tersebut tentu diambil dari skala internasional, dalam hal ini barat. Menurut Ibnu Khaldun, seorang cendekiawan, bangsa yang kalah akan mengikuti peradaban bangsa yang menang. Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Secara tak sadar, kita telah menjadi bangsa inferior yang tak percaya diri dengan standard yang berlaku di negerinya, dan akhirnya mengambil standard bangsa lain.
Mengapa orang Indonesia berkulit gelap? Sebab kulit orang Indonesia lebih banyak mengandung pigmen melanin. Fungsi pigmen ini adalah melindungi kulit dari sinar ultraviolet matahari yang sangat berbahaya dan bisa menimbulkan penyakit semacam kanker kulit. Indonesia adalah negara tropis. Matahari bersinar sepanjang tahun, 12 jam sehari. Tuhan, Sang Pencipta alam raya telah begitu adil dengan memberikan melanin yang lebih banyak sebagai tameng menghadapi radiasi sinar matahari.
Namun, karena ingin mengikuti standard barat, sebagian dari kaum perempuan justru “mengelupas” melanin tersebut dengan aneka program whitening. Silakan cek bagaimana kerja-kerja zat pemutih. Kebanyakan adalah dengan menghambat produksi melanin. Ini sama dengan seorang prajurit yang dengan sengaja melepas baju besi dan tamengnya saat maju berperang. Konyol, bukan?
Well, sebenarnya, apa salahnya sih mempertahankan kenaturalan kita? Kulit sedikit cokelat, asal bersih dan terawat, juga manis kok. Orang-orang bule, yang kulitnya putih, jika datang ke negara tropis, malah senang berjemur. Kulit yang sedikit gelap seperti tembaga, bagi mereka keren dan eksotis! Nah, lho…
Jadi, apakah cantik itu sama dengan putih? Di Barat mungkin iya. Tetapi, di India, Arab, Indonesia, Afrika, atau China dan Jepang mungkin berbeda.
Mari kita resapi perkataan Mihaela Noroc, seorang fotografer kenamaan yang berhasil menerbitkan buku The Atlas of Beauty. Kata dia, “Kecantikan ada di mana-mana, dan itu bukan masalah kosmetik atau ukuran tetapi lebih tentang menjadi diri sendiri.”
Mari menjadi diri sendiri dengan berbangga terhadap apa yang Sang Pencipta takdirkan atas diri kita.
14 komentar untuk "Benarkah Cantik Itu Harus Putih?"
tapi ku tetap nyaman beginian, cuma terkadang kepingin juga putih.. hehe
tapi cantik dengan air wudhu lebih enak dipandang ya kan mba, adem gitu.. hehe
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!