Catatan Haji #12: Meninggalkan Mina, Thowaf Ifadhah dan Jalan Kaki 21 KM


Suasana Mataf (Area Thowaf) lantai pertama dilihat dari rooftop (dokumen pribadi)

23 Agustus 2018 (12 Zulhijjah 1439H)

Pucuk-pucuk tenda Mina terlihat semakin mengecil. Bus semakin jauh meninggalkan tempat di mana kami bermalam beberapa hari dengan segala suka dan (sangat sedikit) dukanya itu. Berbeda dengan keberangkatan menuju Mina di sore tanggal 7 Zulhijjah untuk tarwiyah, kali ini perjalanan sungguh macet. Wajar, jutaan orang, sebagian jamaah haji bergerak serempak meninggalkan Mina di Nafar Awal. Ribuan bus mengangkut jamaah dari berbagai belahan dunia.

Selain macet, rasanya juga agak deg-degan. Saat berhamburan menuju bus, saya terpisah dengan suami. Ketika saya naik bus, ternyata kuota sudah full, sehingga suami tidak bisa bersama dalam satu bus. 

Sejam lebih bus berputar-putar mencari jalan yang bebas macet, beberapa kali mengelilingi area Masjidil Haram dan Abraj Al-Bait (Zamzam Tower). Ada ibrahnya. Saya jadi tahu kondisi kota Mekah lebih detil. Meski saya harus berdiri (tak kebagian tempat duduk), rasanya mulai enjoy menikmati pemandangan kota Mekkah.

Akhirnya, setelah berputar-putar kesana kemari, bus sampai juga di halaman Hotel Raudhah Al-Aseel. Menyusul tak lama kemudian, bus yang dinaiki suami. Kami sama-sama terjebak macet.

Target pertama setelah sampai di hotel adalah mandi sebersih-bersihnya. Membersihkan debu yang seakan melekat di sekujur tubuh dari kepala hingga kaki. Rasanya luar biasa segar. 

Thowaf Ifadhah
Setelah beristirahat sejenak, suami mengirim pesan via WA. "Siap-siap thowaf ifadhah, ya? Kita akan berangkat bakda dhuhur." Saya sedikit terhenyak. Mau thowaf ifadhah hari itu juga?

"Tapi, bus shalawat belum beroperasi? Kan baru 2 hari nanti bus beroperasi." Saya membalas pesannya. Kok pakai WA sih? Ya, memang selama ibadah Haji, baik di Madinah ataupun Mekah, kamar kami terpisah.

Bus sholawat adalah angkutan yang disediakan panitia haji Indonesia untuk mengangkut jamaah dari pondokan ke Masjidil Haram dan sebaliknya. Dua hari sebelum puncak ibadah haji di Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina) dan dua hari sesudahnya, memang bus sholawat berhenti beroperasi.

"Naik taksi, atau jalan kaki."

Ternyata, taksi sulit sekali didapat. Ya mungkin karena banyak yang memakainya. Maka, kami putuskan berjalan kaki dari hotel ke Masjidil Haram. Asyik juga kok, jalan kaki menyusuri jarak sekitar 3,5 km ini. Kami akan melewati terowongan yang sangat panjang. Sebelum ini, beberapa kali saya dan suami sudah mencoba berjalan kaki.

Thowaf ifadhah adalah salah satu rukun haji yang harus dikerjakan, jadi kalau terlewat, hajinya tidak sah. Thowaf ini sifatnya fardhu. Setelah wukuf di Arafah, Mabit di Muzdalifah dan lempar Jumroh dan tahallul awal, langkah selanjutnya adalah thowaf mengelilingi Ka'bah 7 kali dan dilanjutkan Sa'i dari Shofa ke Marwa dan sebaliknya, juga sebanyak 7 kali.

Karena kami sudah melakukan tahalul awal usai melempar jumroh di tanggal 10 Zulhijjah, thawaf ifadhah dilakukan dengan pakaian biasa, bukan pakaian ihram.

Sampai di Masjidil Haram, sudah menjelang shalat asyar. Suasana sangat ramai. Ternyata, banyak jamaah haji yang nafar awal, langsung melaksanakan thowaf ifadhah hari itu juga. Area mataf (tempat thowaf) lantai pertama di area Ka'bah penuh sesak. Kami pun memutuskan untuk sholat asyar dan thowaf di roof top, alias lantai paling atas Ka'bah. 


Konsekuensi thowaf di rooftop, jelas jalurnya lebih panjang. Tujuh putaran sekitar 4-5 kilometer.  Tetapi, thowaf di sana lebih longgar dan lega, tidak berdesak-desakan seperti di suanasa lantai pertama. Beberapa kali melakukan thowaf sunnah sebelum ini, kami memang lebih memilih di rooftop. Selain di rooftop, ada juga mataf di lantai 2, bahkan ada juga yang khusus menggunakan skuter. Thawaf menggunakan skuter jauh lebih murah ketimbang menyewa kursi roda. Harga sewa skuter hanya SR 50 untuk single dan SR 100 untuk couple saat thowaf, dan senilai yang sama untuk sa'i.

Thowaf berakhir saat adzan magrib. Sejatinya, kami ingin langsung melanjutkan sa'i pasca maghrib. Tapi sebagian anggota regu kami tampak sangat kelelahan. Sangat masuk akal. Pagi tadi kami jalan kaki ke Jamarat, PP sekitar 7 km. Ditambah jalan kaki ke Masjidil Haram sekitar 3-4 KM, lalu ditambah thowaf sekitar 4 KM pula. Kaki sudah sangat pegal-pegal.

Akhirnya kami beristirahat sejenak usai shalat maghrib. Baru setelah shalat isya, kami melanjutkan sa'i. Jarak Shofa ke Marwa sekitar 500 meter, jika dikalikan 7, maka kami harus menempuh lagi jarak 3,5 km. Suasana mas'a (tempat sa'i) juga tak kalah ramai dibandingkan dengan mataf. Keramaian ini membuat kami merasa bersemangat dan perjalanan terasa lebih ringan.

Suasaa di Mas'a (tempat sa'i), gambar saya ambil saat umroh pertama datang ke Mekah, sebelum puncak kegiatan Haji (dokumen pribadi)


Usai sa'i, Bu Dianti, salah seorang anggota regu kami jatuh terduduk. "Mbak, aku wis rak kuat (saya sudah tidak kuat)," kata beliau separuh bercanda separuh serius.

"Wah, Bu... semangat. Kita masih harus ke hotel lagi jalan kaki."
"Apa... jalan kakiiii lagiiii...?"

Sebenarnya, kami sudah menyadari sejak awal konsekuensi itu. Kami memang sengaja mempercepat pelaksanaan thowaf ifadhah agar segera lega. Teman-teman lain di jamaah KBIH malah baru akan thowaf ifadhah setelah bus shalawat beroperasi, yakni 2 atau 3 hari lagi. Kami sudah sepakat untuk menempuh hal berat ini. Tetapi, saat dijalani, ternyata sungguh butuh perjuangan besar. 

Untung, saat kami berjalan ke luar lokasi Masjidil Haram, ada seorang pria bergamis dan kafiyeh berteriak-teriak. "Raudhah sapuluh riyal...!"

Bukan taksi, tapi semacam angkot tua dari mobil semacam mobil elf yang dikendari warga setempat. Mereka mencari penumpang menuju arah Raudhah, lokasi hotel kami. Kami sangat girang. Karena tak harus jalan kaki menuju hotel.

Ketika kami naik angkot, terlihat ratusan orang berjalan kaki menuju Madinah, tampaknya rombongan dari Magelang, terlihat dari slayernya. Jam 11 malam, dan mereka baru hendak melakukan thawaf ifadhah. Jam berapa ya, selesainya?

Jalan Kaki 21 KM?

Sampai di hotel, saya melirik smart watch di pergelengan tangan yang juga berfungsi sebagai penghitung langkah kaki dan jarak tempuh. Saya kaget melihat angka 21 KM tertera di sana. Saya memang agak meragukan akurasi jam pintar yang saya kenakan itu. Tetapi, 21 KM mungkin saja sudah saya tempuh hari ini. Jalan ke Jamarat-Tenda PP 7 km, ditambah jalan kaki hotel-masjidil Haram 3,5 km, lalu thowaf di rooftop 4 km, dan sa'i 3,5 km. Belum wara-wirinya, puter-puter di masjidil haram yang luar biasa luas....

Pantesan kaki terasa begitu pegal. 21 KM ini rekor jalan kaki terjauh saya, bukan hanya selama haji, tetapi juga seumur hidup saya.

Tapi apapun yang terjadi, prosesi ibadah haji sudah selesai. Kami tinggal menikmati sisa-sisa hari selama di Makkah.

Allahummaj'al hajjan mabruuran wa sa'yan masykuron wa dzanban maghfuron wa tijarotan lan tabuur.

Amiin ya Rabb.

18 komentar untuk "Catatan Haji #12: Meninggalkan Mina, Thowaf Ifadhah dan Jalan Kaki 21 KM"

Comment Author Avatar
Semoga Allah menerima semua ibadah dan diberikan kesempatan untuk ke Baitullah lagi, ya, Mbak. Aamiin Allahumma Aamiin, sangat menginspirasi kisahnya, terutama perjuangan untuk segera melaksanakan rukun-rukun haji, meski harus berjalan denga rute yang sangat jauh.
Comment Author Avatar
Amiin ya Rabb... semoga diberikan kekuatan dan kesempatan
Comment Author Avatar
Masya Allah, luar biasa perjuangannya ya Mbak, jalan kaki total 21 km, tak terasa karena penuh cinta..
Comment Author Avatar
Iya, tak berasa.
Karena cinta, juga karena pembiasaan sejak dari Madinah. Sebelum itu, selama di tanah suci, jalan kaki paling sedikit 5 km sehari
Comment Author Avatar
Ingin juga ke sana. Semoga tidak lama lagi Allah memberi kesempatan. Amin
Comment Author Avatar
Amiin... Ya Allah, berikan kesempatan kepada Wawan dan istri untuk berhaji
Comment Author Avatar
21 km pun tak terasa lelahnya ketika semuanya didasarkan karena panggilan cinta... MasyaAllah
Comment Author Avatar
Itu yang membuat terkesima, apalagi saat kembali ke tanah air, jalan 1-2 km saja terasa malas bukan main
Comment Author Avatar
Bahagianya bund....

Bisa beribadah di tanah suci...

Bisa tahu suasana masjidil haram pula...

Semoga mabrur njih...

Yang komen ini semoga ditakdirkan pula ke sana.... Amin.
Comment Author Avatar
Amiin ya Rabb
Semoga saudara-saudariku mendapatkan undangan dari-Nya segera
Comment Author Avatar
Alhamdulillah, pengalaman yang luar biasa. Terutama jalan kakinya. Bisa dicoba lagi di Indonesia. Hehe
Comment Author Avatar
Di Indonesia, yang terberat, fasilitas utk pejalan kaki sangat-sangat kurang
Comment Author Avatar
Alhamdulillah akhirnya selesai. Semoga menjadi haji yang mabrur Mbak. Sedangkan bersepeda 11 km saja saya sudah klenger apalagi 21 km jalan kaki. Daki gunung aja paling jauh jalurnya sekitar 8 km hanya saja berat karwna melawan gravitasi. Tapi kalau jalan 21 km Ya Allah semoga kelak tiap kilometernya menjadi hujjah di yaumil akhir.
Comment Author Avatar
Kalau mendaki gunung, 3 km saja ngos2an, memang berat. Di sana jalan kebanyakan datar, sedikit naik saat menuju Jamarat.
Comment Author Avatar
Btw Mba saya naksir smart watch nya. Beli dimana. Pengen banyakin jalan kaki sekarang nih
Comment Author Avatar
Mi Fit, produk Xiao Mi. Tapi cari yang ori, di olshop banyak yang KW, gampang rusak. Nanti jam tersebut bisa kita linkkan dg HP lewat bluetooth. Download juga aplikasnya di playstore
Comment Author Avatar
Artinya berhaji butuh tenaga yang kuat ya Mba. Dari sekarang harus jaga kesehatan
Comment Author Avatar
Benar, olahraga fisik yang sangat diperlukan adalah jalan kaki, khususnya di bawah terik mentari

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!