Menikah dengan Orang Kaya, Bahagia Atau Malah Menderita?

Puteri Diana dan Pangeran Charles (foto: express.co.uk)

Salah satu menteri yang saya kagumi sebenarnya adalah Prof. Muhadjir Effendy. Saya pernah bertemu beliau di ajang Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) Tahun 2017. Saat itu, beliau masih menjabat sebagai Mendikbud. Saat itu, beliau diberi waktu untuk berbicara, mengisi satu sesi. Namun, di sesi tersebut, beliau malah memberikan kesempatan pada sekitar 180 sastrawan se-Indonesia yang hadir saat itu untuk berbicara mencurahkan ide, gagasan hingga curhat seputar pernak-pernik dunia sastra di Indonesia.

Saya kagum, karena hampir dua jam, beliau dengan sabar mendengar para sastrawan berbicara lantang dan blak-blakan. Beliau menyimak seksama, tidak menyela. Beberapa kali mencatat. Di akhir waktu, beliau membahas dengan singkat. Ada satu kalimat kocak yang beliau sampaikan. Saya agak lupa diksinya, tetapi intinya mengapa beliau tahan selama itu menyimak, karena mendengarkan para sastrawan berbicara, seperti sedang mendengarkan orang berpuisi. “Alunan nadanya indah, jadi saya betah,” begitu ungkap beliau.

Wajah beliau saat itu terlihat lelah.  Sekilas, saya menebak beliau memiliki hati yang lembut. Saking lembutnya, beberapa kali pernyataannya sering mengundang kontroversi. Beberapa waktu yang lalu, beliau menyampaikan sebuah nasihat kepada para guru honorer. "Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, syukuri dulu saja, nanti masuk surga," kata Muhadjir Effendy.

Tentu tak salah kalimat beliau. Jika saat itu Pak Muhadjir adalah seorang ustadz yang sedang memotivasi jamaah, apa yang beliau sampaikan sangat pas. Tetapi, sebagai seorang pejabat publik yang memegang posisi decision maker, nuwun sewu, Pak Muhadjir, diksi panjenengan menurut hemat saya kurang tepat. 

Saya juga punya beberapa karyawan, jelek-jelek begini, saya pengusaha meski masih kelas teri, hehe. Apa perasaan karyawan saya jika pada suatu hari saya bilang ke mereka yang sudah 40 jam seminggu bekerja di perusahaan saya, “Syukuri saja gaji Anda yang kecil, karena itu jalan menuju surga.” Sebagai pimpinan, saya wajib menggaji mereka sesuai aturan.

Tapi sekali lagi, saya yakin Pak Muhadjir yang saya hormati ini hanya kepeleset lidah. Beliau memiliki karakter welas asih. Saking welas asihnya, sebagai jalan mengatasi kemiskinan, lagi-lagi beliau mengeluarkan satu pernyataan yang menjadi viral di media sosial. 

Beliau meminta pihak terkait, dalam hal ini Kemenag, mengeluarkan fatwa agar orang kaya menikah dengan orang miskin. Ini dilatarbelakangi tingginya angka kemiskinan di negeri ini.

“Apa yang terjadi? Orang miskin cari juga sesama miskin, akibatnya ya jadilah rumah tangga miskin baru, inilah problem di Indonesia.” 

Maka, beliau, sebagaimana dikutip dari tempo.co (19/2/2020), menyarankan agar Menteri Agama membuat fatwa. “Yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin," tutur Muhadjir dalam sambutannya di Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu 19 Februari 2020.

Sekali lagi, saya yakin, pernyataan itu lahir dari lubuk hati yang terdalam dari Pak Muhadjir. Pernyataan yang mungkin lahir dari keprihatinan beliau. Akan tetapi, boleh dong, saya berpendapat lain.

Benarkah orang kaya menikah dengan orang miskin itu menjadi solusi dari permasalahan yang terjadi? Mungkin secara ekonomi bisa jadi ada aliran pemerataan pendapatan. Akan tetapi, apakah tidak terjadi hal-hal lain yang justru membahayakan pondasi rumah tangga?

Ada seorang teman yang menolak dinikahkan dengan anak orang kaya. Sebutlah namanya Arkan. Sebenarnya tampak Arkan tidak malu-maluin. Dia ganteng, pendidikan bagus, orangnya rapi dan disiplin, karir ke depan juga bagus. Suatu hari, seorang kenalan menjodohkannya dengan puteri seorang pejabat daerah yang terkenal kaya raya. Dengan halus, Arkan menolak. Alasannya, dia tak mau melukai hati ibundanya.

“Ibu saya di desa kalau masak masih pakai tungku. Tiap hari berlepot abu. Ibu senang dengan kehidupan macam itu. Saya khawatir ibu menjadi berjarak denganku jika menantunya bahkan mencuci piring saja tak pernah!”

Orang kaya dan orang miskin pasti memiliki budaya yang sangat berbeda. Saya sendiri lahir di kalangan keluarga sederhana. Miskin alhamdulillah tidak, kaya juga enggak. Pokoknya pas-pasanlah, pas mau beli baju, ada rezeki. Pas mau bayar sekolah, ada uang. Pas mau piknik, bapak ada bonus, hehe.

Karena itu, sampai sekarang, saya akan terkejut melihat ada orang dengan enaknya makan seporsi ratusan ribu. Kalaupun saya mampu membeli alias punya uang, rasanya tetap “ora kolu” bahasa Jawanya. Artinya, tak bisa menelan makanan karena faktor psikologis.

Bayangkan jika seorang Nia Ramadhani menikah dengan seorang penarik becak. Bagaimana dia bisa hidup bahagia jika mengupas salak saja tak bisa. Atau makan di pinggir jalan saja takut karena trauma kucing. Bukan cuma suaminya yang stres, si Nia pun pasti akan jadi objek bully orang-orang di sekitarnya. Kalau Nia ngamuk, bayangkan, suaminya mungkin akan nyanyi begini:

Oh tuhaaan kucinta Nia
Kurindu Nita
Kusayang Nina
Inginkan Nisa

Lho, kok jadi poligami hihi...

Puteri Masako, istri Kaisar Naruhito, adalah perempuan dari kalangan rakyat jelata. Orang tentu akan menganggap dia sangat beruntung karena dinikahi Pangeran Naruhito yang saat itu putera mahkota kekaisaran Jepang. Ternyata, sang puteri justru pernah mengalami stres, karena masuk dalam sebuah lingkungan baru yang penuh dengan tekanan. Tuntutan keluarga kerajaan sangat tinggi pada seorang calon istri kaisar, dan ini membuat Puteri Masako mengalami depresi.

Hal yang sama juga dialami oleh Meghan Markle. Menjadi seorang Duchess of Sussex sebagai istri Pangeran Harry, cucu Ratu Elizabeth, ternyata justru membuatnya tertekan karena sulit melakukan penyesuaian diri terhadap budaya kerajaan. Keputusan mengejutkan diambil, mereka mengundurkan diri dari kerajaan Inggris. Kisah yang terjadi pada Harry ini mengingatkan kita kepada kisruh rumah tangga orang tua Harry, Putri Diana dan Pangeran Charles. Puteri Diana juga awalnya orang biasa saja, lalu dapat "durian runtuh", karena dipinang seorang pangeran. Tetapi, ternyata justru Diana terseret pada satu pusaran kehidupan yang runyam. Tak ingin akhir hidupnya tragis seperti sang ibu, Harry memutuskan untuk memilih kehidupan sendiri.

Tulisan saya ini tentu bukan berarti menolak orang kaya menikah dengan orang miskin. Tentu sah-sah saja jika hal ini terjadi, karena jodoh itu urusan Allah SWT. Banyak orang miskin menikah dengan orang kaya, dan benar-benar bahagia. Namun, jika kemudian muncul kewajiban orang kaya menikah dengan orang miskin, maaf, menurut saya ini terlalu mekso alias memaksa.

Dalam Islam adalah istilah konsep kekufuan, atau sederajatan. Kufu ini belum tentu sekadar soal ekonomi. Masih banyak hal-hal lain, seperti pemikiran, pendidikan, pengalaman, gaya hidup, dan sebagainya. Sepasang jodoh itu mestinya seperti sepasang sendal. Masak kaki kanan memakai sandal ukuran 40, merknya terkenal, harganya jutaaan, sementara kaki kiri memakai sandal jepit ukuran 36 yang harganya cuma belasan ribu? Pasti akan banyak sekali permasalahan yang ditimbulkan.

Lepas dari itu, pernikahan adalah perkara kecocokan, perasaan sreg alias cenderung (sakinah), dan juga kerelaan. Setuju?

2 komentar untuk "Menikah dengan Orang Kaya, Bahagia Atau Malah Menderita?"

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!