Widget HTML #1

Tetap Produktif Menulis Meski Di Tengah Wabah Corona, Bagaimana Caranya?


Hai, Sobat… alhamdulillah, dalam kondisi “tiarap” karena Covid-19, semoga kita masih terpilih sebagai hamba Allah yang memilih untuk tetap produktif. Sebenarnya, itulah sifat seorang Mukmin. Dalam sebuah hadist disebutkan, “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari & Ahmad).

Jadi, kalau kata sebagian milenials, “tidak keluar rumah dan memilih rebahan itu membantu negara,” maka “tidak keluar rumah dan memilih berkarya itu menghidupkan negara.” Jadi, meski saat ini lebih dari sejuta manusia di dunia terpapar virus corona dan positif Covid-19, dan 65 ribu lebih meninggal, kita tak harus berdiam diri dalam ketakutan.

Ketakutan yang berlebihan, akan memancing respon tubuh untuk mengeluarkan kortisol. Dan jika kortisol yang disemburkan overdosis, maka akan rusaklah organ-organ penting dalam tubuh, seperti jantung, ginjal, liver dan sebagainya. Energi yang muncul harus disalurkan, caranya dengan meningkatkan produktivitas.

* * *

Salah satu kunci dari produktivitas adalah MOTIVASI. Intensitas, totalitas, kerja keras, dan kontinuitas dari sebuah usaha, sangat dipengaruhi oleh seberapa kuat motivasinya. Ya, sebab menurut Veithzal (2011), motivasi adalah: energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri, suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah tujuan tertentu.

Kalian ingin pergi ke suatu tempat. Kalian butuh sebuah tenaga yang bisa mendorong kalian, mulai dari mempersiapkan bekal, kendaraan, hingga semangat untuk terus bergerak menuju ke tempat tujuan.

Orang-orang sukses, biasanya memiliki motivasi yang sangat kuat. Dorongan untuk menuju tempat tujuan sangat kuat. Meski banyak aral menghadang, dia akan tetap bergerak. Susah-payah, jerih-payah, letih-lelah, dijalani tanpa keluh kesah.

Sementara, sehebat apapun talenta/bakat seseorang, sebagus apapun networking yang dimiliki, selengkap apapun fasilitas yang dikoleksi, tanpa motivasi yang kuat, semua privilege itu rasanya akan sia-sia belaka.

Banyak penulis berprestasi, tetapi dia hanya menulis saat ada lomba. Dia akan sangat bersemangat, mencurahkan waktu, tenaga dan ide untuk menulis karya terbaiknya. Tetapi, jika tak ada lomba, dia malas berkarya. Sebabnya, dia sudah merasa berkecukupan secara ekonomi. Dia menulis karena ingin menang lomba, dan mendapatkan status sosial yang penuh gaya.

Banyak anak-anak dari keluarga kaya, hobi menulis luar biasa, tetapi tetap tak bisa produktif, sebab, tak ada lagi yang bisa membuatnya termotivasi. Duit cukup, mainan banyak, jalan-jalan ke luar negeri, biasa.

Produktivitas, sangat didukung oleh sikap mental. Bukan privilege. Menjadi produktif itu bukan seperti anak raja yang tiba-tiba jadi putera mahkota hanya karena semata-mata dia anak seorang raja.
Sinungan (2009) menyebutkan: “Pada dasarnya produktivitas mencakup sikap mental yang patriotik yang memandang dari depan secara optimis dengan berakar pada keyakinan diri bahwa kehidupan hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini."

*  *  *

Baik, jadi semua sudah bersepakat ya, apa hubungan antara motivasi dan produktivitas? Ya, motivasi adalah semacam bahan bakar yang membuat sebuah kendaraan bisa bergerak menuju tujuan. 

Sekarang, apa sih sebenarnya unsur dari motivasi?

Kita mengenal berbagai teori motivasi, misal dari Maslow, yang menyebutkan bahwa perilaku seseorang sangat tergantung dengan kebutuhannya. Kalau sudah tercukupi kebutuhan fisiologi dasarnya (physiological needs), dia akan mencari kebutuhan rasa aman (safety needs). Kalau sudah merasa safety, dia akan mencoba menjalin hubungan erat dengan sesama (social needs), lalu seterusnya kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) dan yang tertinggi dalam hirarki Maslow: kebutuhan aktualisasi diri (self actualization).

Kalau kita memakai model Maslow, alasan menjadi produktif ternyata bertingkat-tingkat, tergantung kebutuhan. Banyak penulis yang menjadi sangat produktif karena benar-benar didesak kebutuhan dapur untuk terus ngebul. Sayangnya, setelah hidupnya mapan, dia tidak meng-upgrade dirinya dengan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, misal aktualisasi diri. Sebab, pengejawantahan aktualisasi diri ini, menurut para ahli adalah: jika di seorang pemusik, maka dia akan terus berusaha membuat musik sebagus mungkin tanpa berpikir apa imbalannya. Jika dia seorang penulis, dia akan berusaha menulis sebanyak mungkin tanpa berharap apapun kecuali dia bisa bermanfaat untuk sesama.

Teori Maslow, dalam beberapa hal cukup relevan. Tetapi, belum cukup mampu mem-push motivasi seseorang. Terlebih, aktualisasi diri adalah sebuah konsep yang sangat “abstrak”. Hirarki 1 hingga 4 (physiological needs, safety needs, social needs dan esteem needs) ini mudah dipahami. Tetapi, seperti apa sebenarnya proses aktualisasi diri, hanya orang-orang dengan “maqam” tertentu yang paham. Tak heran, pernah ada sebuah lowongan posisi rektor di sebuah PTN ternama, persyaratannya cuma satu: sudah sampai pada level aktualisasi diri.

* * *

Ada satu teori motivasi yang lebih banyak “disukai” oleh para pakar manajemen SDM, karena lebih mudah dipahami, yaitu teori harapan (expectancy theory of motivation) yang dikembangkan oleh Victor Vroom. Menurut Vroom, motivasi itu mensyaratkan tiga hal, yaitu EXPECTANCY (harapan), INSTRUMENTALITY (instrumental) dan VALENCE (valensi).

Jadi, MOTIVASI yang kuat akan berasal dari EXPECTANCY, INSTRUMENTALITY dan VALENCE yang kuat. Mari kita bahas satu persatu. Mohon maaf jika agak serius ya… siapkan kopi hitam masing-masing, Sis, Gan! :-D

EXPECTANCY artinya harapan. Ketika kita mengerjakan sesuatu, pasti ada harapan-harapan yang kita inginkan, bukan? Mengapa kita pergi ke Jakarta? Kita berharap perubahan nasib. Kita mendengar cerita sukses orang-orang di kampung, bahwa dia bisa punya rumah mewah, mobil bagus, istri cantik atau suami ganteng, duit yang tak habis sampai tujuh keturunan, dan sebagainya.
Orang yang memiliki harapan tinggi, cenderung akan lebih terdorong untuk bergerak. Dia akan mengerahkan seluruh kemampuan (effort) yang dimilikinya untuk memperkuat kinerja. Karena itu, jangan takut bermimpi, selagi mimpi masih gratis. Tulislah harapan-harapan tentang menulis. Saya menulis karena berharap: A, B, C, D dan seterusnya.

INSTRUMENTALITY
Harapan tinggal harapan jika sekadar harapan. Waduh, bahasanya kok ruwet, ya? Maksudnya, harapan butuh instrumen sebagai tolok ukur kinerja. Maka, kita butuh membuat instrumen-instrumen ini. Caranya: tentukan target, lalu buatlah program dan jadwal untuk mencapainya. Instrumen pencapaian bisa beragam, tetapi intinya adalah, kita memiliki tolok ukur sendiri untuk meraih sesuatu.

Misal: dalam sehari saya mewajibkan diri untuk menulis apa saja, sebanyak minimal 5 halaman. Saya akan terus menerus menekankan pada diri sendiri, bahwa ini adalah idealita yang harus saya penuhi. Saat ini, saya sudah sampai taraf depresi atau merasa tak punya arti jika sehari tak bisa menulis 5 halaman, sebaliknya merasa berbahagia dan fresh jika hal ini terlampaui. Ini artinya, saya sudah memasukkan instrumen 5 halaman dalam alam bawah sadar saya.

Instrumen lain yang tak kalah penting adalah dorongan dari orang-orang sekitar, lingkungan yang kondusif, fasilitas yang diperlukan, dan sebagainya.

Ranah dari instrumen yang lain adalah kedisiplinan, etos kerja, ketelitian dan juga kemampuan mengeksekusi ide dalam bentuk karya nyata.

VALENCE atau valensi kalau dalam sains artinya ikatan dalam “tingkat kebersenyawaan suatu unsur dengan unsur lain”. Kalau dalam manajemen SDM, berarti “derajat ketertarikan hati pada sesuatu.” Valensi sangat dipengaruhi dari passion atau minat seseorang. Semakin kuat passion, semakin kuat pula valensinya terhadap bidang tertentu. Kata seorang pakar, “activity without passion is poison”.
Jadi, kalau mau ditarik dalam rumus:

M = E + I + V

Di beberapa referensi, rumusnya bukan penambahan, tapi pengalian. Sehingga rumusnya menjadi:

M = EIV

Kalau saya cenderung ke penambahan. Sebab kalau pengalian, jika ada satu unsur nilainya 0 (nol), maka M akan jadi bernilai 0 pula. Nyatanya, kan tidak begitu.

Jadi, jika kita butuh M = 100, setidaknya 3 unsur tersebut harus seimbang. Katakanlah 40 + 30 + 30.

* * *

Jadi jika produktivitas itu berbanding lurus dengan motivasi, maka untuk menguatkan motivasi, kita harus:
1.       Memiliki harapan-harapan, maka galilah harapan itu terus menerus. Jangan putus harapan.
2.       Buatlah instrumen-instrumen untuk “membumikan harapan”, agar harapan tidak melangit
3.       Bangunlah valensi yang kuat dengan dunia yang hendak kita tekuni, yakni kepenulisan.

Mari kita lanjutkan dalam diskusi! Silakan tulis di kolom komen, ya, jika berkenan.

1 komentar untuk "Tetap Produktif Menulis Meski Di Tengah Wabah Corona, Bagaimana Caranya?"

Comment Author Avatar
keren nih, menginspirasi banget he he

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!