Widget HTML #1

Makalah Lengkap Tips Menulis Cerpen Ala Afifah Afra


Assalamu'alaikum, sahabat sekalian.... Mengingat banyak sekali yang bertanya kepada saya tentang tips dan trik menulis cerpen, maka tergerak untuk mengupload makalah yang sering saya pakai untuk mengisi pelatihan-pelatihan menulis cerpen. Anda boleh mengcopas dan menyebarkan artikel ini, tetapi mohon tetap dicantumkan sumbernya ya. Syukur-syukur, link blog ini disertakan pula. Selamat membaca!

MEMBANGUN DAN MENGHIAS SEBUAH CERITA PENDEK

Oleh Afifah Afra

Karakteristik Cerpen

Dalam buku ‘Menulis Secara Populer’, Ismail Marahaimin menegaskan bahwa cerpen itu bukan penggalan sebuah novel, juga bukan novel yang diperpendek. Cerpen dan novel, adalah 2 buah karya dengan karakter sendiri-sendiri.

Ada yang mengatakan bahwa cerpen adalah tulisan fiksi yang panjangnya sekitar 500-10.000 kata. Sedangkan Edgar Allan Poe, sosok yang dijuluki sebaga Bapak Cerpen, mengatakan bahwa prose tale (cerpen dalam sebutan Poe), adalah narasi yang bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga 2 jam.

Poe menyebutkan, bahwa sebuah cerpen itu harus unik dan berefek tunggal. Untuk membentuk efek tunggal itu, plot dan karakter harus langsung diwujudkan dalam tindakan, bukan dalam deskripsi atau komentar tulisannya. Karena pendek, maka cerpen memiliki ruang yang padat. Dengan sendirinya, seorang cerpenis harus ketat dalam memilih kata-kata.

Cerpen dan Narasi

Ketika kita membuat cerpen, cerbung, novelet atau novel, sesungguhnya kita sedang membangun sebuah narasi. Narasi adalah cerita yang didasarkan pada sebuah urutan kejadian atau peristiwa, di mana peristiwa tersebut dialami oleh tokoh yang mengalami konflik tertentu. Urutan kejadian, tokoh dan konflik itu, menurut Marahaimin, membentuk satu kesatuan yang disebut plot atau alur.

Sedangkan menurut Novakovich, narasi yang seimbang adalah hasil interaksi antara setting dan tokoh yang membentuk plot (alur), atau dirumuskan:

PLOT = TOKOH + SETTING

Namun yang harus dipahami adalah, narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh penulis. Karena itu, untuk membuat sebuah narasi yang baik, kita harus benar-benar menggali unsur-unsur pembangun plot, yakni tokoh dan setting tersebut.

Tokoh

Kita mengenal tokoh antagonis dan protagonis. Pada cerita-cerita klasik, tokoh antagonis sering diidentikkan dengan kejahatan, sedangkan protagonis adalah si pahlawan pembela kejahatan. Akan tetapi, sebenarnya tak harus demikian. Antagonis adalah tokoh yang dimunculkan sebagai tokoh yang berkebalikan secara karakter dengan tokoh protagonis. Kemunculan dua jenis tokoh yang berbeda, memunculkan perbedaan karakter, yang ketika berinteraksi kemudian memunculkan konflik.

Konflik inilah yang akan membentuk plot. Agar plot menjadi semakin baik, maka karakter tokoh harus digali. Seunik mungkin. Sedetail mungkin. Semakin unik karakter tokoh yang dibangun, konflik yang muncul pun akan semakin unik.

Silahkan Anda bandingkan dua jenis karakter ini.

Tommy             

Anak SMA, kaya, tampan, sombong

Delisa

Seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain.

Dari perbedaan kedetailan dua tokoh tersebut, kira-kira mana yang jika dikembangkan, akan mendapatkan konflik yang lebih baik?

Akan tetapi, karena dalam sebuah cerpen kita tidak memiliki ruang yang cukup luas untuk menuliskan karakter tokoh secara detil, maka kita bisa “meminjam” berbagai unsur seperti dialog, setting, tema, dan kalimat-kalimat lain yang tak secara khusus membicarakan karakter, untuk “diselipi” muatan karakter. Kalimat-kalimat dalam cerpen, sebaiknya memang multifungsi.

Beginilah Roy, si Batak romantis yang senang berdendang. Sejak pagi, dia sudah membuat gara-gara dengan menyelipkan cemburu di hati para seniornya yang begitu ingin merundungnya sejak awal di masuk di kampus biru.

Coba lihat, dari kalimat-kalimat tersebut. Dari paparan singkat itu saja, kita bisa mendapat banyak informasi, yakni karakter Roy, setting kampus biru, hingga gambaran konflik yang mungkin akan berkembang.

Setting

Setting juga merupakan “bahan baku” dari plot cerita. Selain tokoh, setting menempati posisi yang sangat penting dalam sebuah narasi. Kekuatan setting, apalagi pada sebuah cerita yang lebih panjang, akan menjadi nilai plus sebuah karya. Adapun dalam cerpen, meski ruangan terbatas, dengan kaidah kalimat multifungsi, kita juga perlu mengeksplor setting dengan ciamik.

Si tokoh, baik protagonis maupun antagonis, tentu mendiami sebuah tempat, waktu, kondisi sosial budaya dan berbagai varian lattar lainnya. Interaksi antar tokoh dengan setting, akan menghidupkan konflik. Bahkan, dalam beberapa cerita, ada para penulis yang dengan ‘berani’ membuat konflik, benar-benar tokoh vs setting belaka. Tak ada tokoh vs tokoh.

Yang paling terkenal adalah Cast Away, film yang dibintangi oleh Tom Hanks. Film ini menceritakan seorang karyawan yang terdampar di pulau yang sepi setelah melakukan penerbangan di Pasifik bagian selatan. Berbagai konflik ‘melawan’ setting, dihadapi seorang diri. Sebagaimana tokoh, kedetailan setting juga akan ‘memperindah’ dan dalam kasus tertentu, menjadi punggung dari alur. Contoh:

Kepulan solfatara membetot ingatanku pada cerita Bang Rudi tentang hiruk pikuk malam itu, saat wedus gembel Merapi menghempas rumah-rumah sepanjang sungai Gendol, membawa gumpalan awan 600 derajat celcius. Baunya yang sangit juga mengingatkankanku tentang kami semua yang belum mandi hampir tiga hari, sebuah peristiwa yang hampir tak pernah terjadi di seumur hidupku yang selalu tertata rapi.

Selain menggambarkan setting, karakter tokoh juga dimunculkan dalam paparan tersebut.    

Dialog

Karena narasi merupakan interaksi tokoh, maka akan muncul dialog. Untuk menguatkan setting, gunakanlah warna lokal yang kuat dalam dialog, yang juga berfungsi membantu menggambarkan setting. Misalnya, anda membuat cerita bersetting Jawa, gunakanlah beberapa patah bahasa Jawa dalam dialog anda. Orang akan menjadi yakin, bahwa cerita yang anda tulis, memang benar-benar terjadi di Pulau Jawa.

Kebanyakan orang memahami bahwa narasi identik dengan fiksi, sebenarnya tidak juga, karena biografi, otobiografi ataupun kisah-kisah sejati pun seringkali dibentuk sebagai sebuah narasi. Hanya saja, kebanyakan narasi memang berbentuk cerita, baik cerpen, novel, maupun roman.

Pola Narasi

Pola narasi yang paling klasik diungkapkan oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, narasi terdiri dari 3 bagian, yaitu awal, tengah dan akhir. Pada bagian awal, silahkan menuliskan latar belakang cerita (tidak harus panjang lebar, yang penting cukup mengena), serta memperkenalkan tokoh-tokohnya. Menurut Maraha-imin, awalan yang baik harus bisa menyiratkan akhir, hanya saja, pembaca tidak tahu bahwa siratan itu adalah pertanda akhiran karangan. Baru ketika ia membaca akhiran, ia akan manggut-manggut, “Oh, ini maksudnya...”

Bagian tengah adalah ketika tokoh-tokoh itu memasuki konflik. Konflik itu bisa jadi antara tokoh dengan tokoh, atau tokoh dengan setting (misalnya tokoh yang berjuang untuk tetap hidup saat diterjang badai salju), tokoh dengan adat istiadat, bahkan dengan Tuhan (misalnya seseorang yang mencoba menentang takdir). Konflik biasanya diakhiri dengan sebuah ledakan yang disebut klimaks. Semakin hebat tekanan konflik yang kita buat, maka klimaksnya semakin dahsyat.

Kita bisa ibaratkan dengan balon. Semakin banyak udara yang mengisinya, maka ketika meletus, akan semakin keras bunyinya. Maka, narasi yang baik adalah yang bisa memenej konflik dengan baik pula, sehingga bisa menimbulkan sebuah efek yang mengena bagi pembaca. Tetapi, konflik juga jangan terlalu dipaksakan. Karena ingin membuat sebuah ledakan yang keras, kita memaksa agar si tokoh terus-menerus mengalami konflik, persis yang terjadi pada sebuah sinetron di stasiun TV swasta yang berlanjut, berlanjut dan terus berlanjut. Jika konflik tidak proporsional, pembaca akan merasa bosan. “Gimana sih, tokoh ini, nggak happy-happy, sedih melulu...”

Selanjutnya akhir atau ending. Ending yang baik adalah yang mengesankan, baik kesan sedih, menggemaskan—bikin geregetan, atau bahkan sama sekali tak diduga sebelumnya. Ending yang baik akan membuat para pembaca merasa puas dan terkenang-kenang dengan tulisan tersebut.

Lebih lanjut, kaidah narasi Aristoteles ini dikembangkan menjadi “The Three-Act Structure.”


Pada Act I, yaitu introduction, kita mulai memperkenalkan para tokoh, baik protagonis maupun antagonis. Masalah utama mulai dimunculkan, dan mulai ada point of attack, yang akan menggiring pembaca untuk terus membaca hingga habis.

Pada Act II, confrontation, kita mulai melakukan dramatisasi atas masalah yang dihadapi tokoh protagonis dan benturannya dengan tokoh antagonis. Di sinilah kita mulai bermain-main dengan suspense dan surprise. Biasanya, saya membagi babak konfrontasi ini dalam 3 scene yang memiliki suspense bertingkat, mulai dari yang rendah hingga tertinggi. Menurut saya, 3 scene cukup. Jika kurang, cerpen akan “garing”, jika kelebihan, pembaca akan bosan.

Pada Act III, falling action atau ending, kita bisa menuliskan bagaimana hasil perjuangan si tokoh dalam menghadapi masalah. Twist artinya putaran, pelintiran, memutarbalik atau memilin. Maksudnya, kita membuat sebuah ending yang sama sekali tidak disangka, mengejutkan dan benar-benar di luar perkiraan, namun masih dalam satu kesatuan cerita, alias tidak mengada-ada.

Lihatlah contoh berikut ini:

ACT I

Wied adalah seorang tukang becak yang menikahi Supeni dengan perjuangan susah payah. Supeni mau dinikahi asal Wied mau menghentikan kebiasaan merokok. Supeni mengatakan bahwa rokok adalah “selingkuhan”, dan Supeni tak mau Wied selingkuh dengan rokok dan tak bersetia terhadap Supeni. Wied menyanggupi. à inilah point of attack dari babak ini.

ACT II

Banyak sekali godaan yang didapatkan Wied agar tetap setia kepada Supeni untuk tidak merokok. Pada suatu malam, Wied berangkat membecak di hari yang basah karena hujan.

Scene 1: Wied menyaksikan para penarik becak lainnya merokok di tengah udara malam yang gelap. Wied membawa uang sedikit yang cukup untuk membeli beberapa batang rokok. Hampir saja Wied datang ke warung untuk membeli rokok, tetapi dia ingat janjinya.

Scene 2: Malam semakin larut, udara semakin dingin. Wied menggigil kedingingan. Pada saat itu, seorang teman datang, dan menawari Wied rokok: GRATIS. Batin Wied bergolak. Tapi dia tetap ingat janjinya dan menolak halus.

Scene 3: Saat hujan semakin deras, Wied mendapat penumpang yang minta diantar ke rumah sakit dengan jarak yang cukup jauh. Wied berjibaku dengan hujan badai. Ternyata, si penumpang memberi Wied bayaran besar termasuk: UANG ROKOK.

ACT III

Wied pun pulang dengan bahagia. Bahagia karena berhasil memegang janjinya untuk tetap setia. Ending saya buat nge-twist dengan sebuah kejutan... silakan baca cerpen saya “SEORANG LELAKI DAN SELINGKUH” di link ini https://www.afifahafra.com/2013/04/seorang-lelaki-dan-selingkuh.html

 

Memahami kaidah The Three-Act Structure ini merupakan hal paling mendasar yang harus dikuasai oleh seorang penulis karya berbasis narasi seperti cerpen, novel, drama atau bahkan skenario film. Memahami kaidah ini serta pengaturan porsi babak yang proporsional, akan membuat cerita menjadi nikmat dibaca. Banyak cerpen atau novel kita kurang rapi dalam mengemas plot, sehingga justru tampak kedodoran. Misal babak pendahuluan yang terlalu panjang, konflik/konfrontasi yang terburu-buru, atau ending yang tidak menyatu dengan cerita sebelumnya.

Diagram Plot Cerpen


Setelah memahami The Three-Act Structure di atas, kita bisa mengembangkan sebuah plot cerpen menjadi lebih detil. Menurut Oxford Practical Teaching, beginilah urutan sebuah plot dari cerpen.

Dalam diagram tersebut, plot cerpen terbagi menjadi 6 babak.

1.       Exposition, pada bab ini, cerita dimulai dan karakter-karakter tokoh mulai diperkenalkan.

2.       Complication, mulainya terjadi kejadian atau perkenalan konflik, dan pembaca mulai bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan cerita, apa yang akan terjadi, dan bagaimana penyelesainnya.

3.       Rising Action, ketegangan meningkat dan kejadian atau konflik semakin memburuk.

4.       Climax, inilah momen ketegangan terbesar, peristiwa terpenting dari kisah ini terjadi.

5.       Denouement/falling action, mulai ada penurunan ketengangan dan masalah mulai terselesaikan.

6.       Resolution, pembaca mulai memahami inti dari konflik dan penyelesainnya. Seringkali dalam sebuah ending, ada suatu hal baru yang bisa diperoleh.

Perhatikan juga beberapa jenis plot diagram dari cerita pendek di bawah ini!

7 Point Struktur Cerpen (7 Point Short Story Structure)[1]

Ada 7 poin penting yang harus diperhatikan dalam menulis cerpen.

1. A character, tentukan tokoh/karakter dalam sebuah cerpen

2. Is in a situation, masukkan tokoh/karakter itu dalam sebuah situasi tertentu

3. With a problem, berikan dia sebuah problem

4. The try to solve the problem, ceritakan bagaimana usaha dia dalam menghadapi problem tersebut

5. But fail, making it worse, dia gagal dan kondisi semakin buruk

6. The make a final attempt which may succed or fail, ceritakan upaya terakhir yang memungkinkan dia sukses atau gagal

7. The consequence is not as expected, buatkan sebuah kesimpulan, ending, akhir yang sama sekali tak diduga atau tak disangka-sangka, namun tetap dalam satu kerangka.

Perhatikan beberapa contoh di bawah ini.

A character

Ryan seorang fresh graduate dari jurusan keuangan universitas ternama yang sangat idealis.

Is in a situation

Menjadi pegawai baru di sebuah PT Mitra Sejahtera, perusahaan finansial yang memiliki citra sangat baik. Ryan sangat bangga bisa masuk ke perusahaan tersebut.

With a problem

Suatu hari, Ryan diminta membuat nota kosong dari supervisornya untuk seorang klien. Ryan kaget, kok bisa PT MS yang punya reputasi baik ternyata memiliki praktik semacam itu? Dia mulai galau.

The try to solve the problem

Ryan memutuskan untuk menolak permintaan sang supervisor. Dia bilang bahwa nota kosong sama halnya dengan praktik korupsi. Sang supervisor marah besar.

But fail, making it worse

Konflik semakin memburuk, Ryan dipanggil direktur atas aduan supervisornya. Menurut direktur, nota kosong adalah cara menjaga klien agar tetap mau bekerjasama. Ryan tetap menolak, dan direktur pun memutuskan memecat Ryan.

The make a final attempt which may succed or fail

Ryan pulang ke indekostnya, sudah bersiap-siap hendak pulang kampung. Tiba-tiba dia ditelpon supervisornya. Mereka bilang akan memaafkan Ryan asal Ryan tidak mengulangi perbuatannya. Ryan tetap menolak.

The consequence is not as expected

Ketika sudah hendak naik ke bus yang membawanya pulang kampung, kembali ada telepon. Direktur meneleponnya, “Selamat, kamu sudah lulus dari ujian mental menjadi karyawan di perusahaan kami dengan nilai sangat gemilang. Kamu layak menjadi bagian dari kami!”



[1] www.novel-software.com

 

1 komentar untuk "Makalah Lengkap Tips Menulis Cerpen Ala Afifah Afra"

Comment Author Avatar
MasyaAllah ... sangat gamblang. Seolah bisa berhadapan dengan Mbak Afra dan dinelaskan bagaimana sih, bikin cerpen yang keren itu? Matur nuwun, Mbak ulasannya sangat manfaat.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!