Mengenang Kejayaan Fiksi Islami, Akankah Bangkit Kembali? #Bag1

Sebagian buku Fiksi Islami tahun 2000-an (foto: koko-nata.net)

Suatu hari, di sebuah WAG--grup WA (Whatsapp) para pengurus pusat Forum Lingkar Pena (FLP), terjadi satu percakapan menarik. Awalnya, seorang anggota grup melempar tema percakapan tentang masa lalunya bersama FLP. Dia berkisah tentang perjalanannya dari Kalimantan menuju Jakarta untuk mengikuti Silaturahim Nasional (Silnas) pertama, tahun 2002. 

Berhari-hari menggunakan kapal kecil untuk bisa mendarat di Jakarta, terbayang kan betapa serunya.  Ada juga peserta dari Aceh, harus menggunakan bus berhari-hari, plus melewati pos penjagaan tentara yang superketat saat itu. Kok tidak pakai pesawat? Yah, saat itu kan masih tong pes alias kantong kempes. Maklum, rata-rata masih berstatus mahasiswa dengan duit pas-pasan.

Lalu ada yang nyeletuk, wah, tahun itu saya malah belum kenal FLP. Lantas, percakapan jadi panjang. Banyak kisah, jalin-jemalin terungkap. Ada yang lucu, sedih, haru.... Sebuah kesadaran mendadak merasuk ke dalam benak saya. Usia saya sekarang sudah 41 tahun. Karena saya bergabung dengan FLP pada tahun 1999, berarti sudah 21 tahun saya bersama organisasi ini. Sebuah waktu yang sangat panjang, karena lebih dari separuh usia saya. Dengan demikian, tentu banyak sekali peristiwa demi peristiwa yang telah kami alami.

Saya memutuskan untuk mulai menulisnya. Pertama, saya takut kenangan itu hilang begitu saja karena terlupa, seiring dengan usia yang menua dan mungkin suatu saat akan mengalami penurunan daya ingat. Kedua, meski bukan sejarah mainstream, saya ingin kenangan itu menjadi sejarah kecil (petite histoire) yang mungkin akan bermanfaat bagi sebagian orang.

Nah, saya memulai menuliskan petite histoire tentang FLP ini dari mengenang kejayaan fiksi Islami di awal tahun 2000-an, ya. Secara langsung, FLP jelas berhubungan dengan kelit kelindan perbukuan era itu, khususnya di genre fiksi Islami. Simak, yuk!

* * *

Seorang kenalan, penulis yang baru mulai berkarir di dekade terakhir, suatu hari pernah mengeluh, "Kok susah banget ya, cari pembaca saat ini. Sudah capek-capek nulis, tapi sambutan masyarakat dingin-dingin aja. Enak kamu deh, mulai menulis saat buku lagi jaya-jayanya."

Meski kesannya agak tidak nyaman, saya membenarkan juga, sih. Sebenarnya, tidak tepat dibilang saya mulai menulis pada tahun 2000-an. Cerpen pertama saya terbit tahun 1994, dimuat di majalah Anita Cemerlang. Setelah itu, saya lumayan produktif juga menulis di berbagai media. Tetapi, terjun di dunia fiksi Islami, memang benar, dimulai pada tahun 2000-an.

Saat saya mulai menulis di genre fiksi Islami, iklim perbukuan, khususnya genre fiksi Islami, memang sedang bagus-bagusnya. Saya kurang tahu dengan genre yang lain. Tapi, sepertinya sih tidak buruk-buruk amat. Saat itu, Supernova dari Dee sedang ngetop-ngetopnya. Supernova edisi pertama, Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh menggebrak dunia literasi Indonesia. Buku-buku terjemahan, seperti novel Dan Brown dan J.K. Rowling juga mulai membanjiri pasar.

Tahun 2000, buku pertama saya terbit, judulnya Genderuwo Terpasung. Diterbitkan oleh Asy-Syaamil (sekarang Sygma Media). Asy-Syaamil memang bisa dikatakan pelopor dalam menerbitkan buku-buku fiksi Islami. Awalnya, saya ditelepon oleh Mbak Helvy. Beliau minta kumpulan naskah cerpen saya, karena ada penerbit yang berminat membukukannya. Saya begitu takjub saat itu. Benarkah saya akan punya buku sendiri?

Beberapa bulan kemudian, saya bertemu langsung dengan Bang Halfino Berry dari penerbit Asy-Syaamil di sebuah acara literasi di Semarang. Beliau minta tambahan beberapa naskah lagi, agar ketebalan buku sesuai standard. Nah, akhirnya, saya punya buku pertama! Judulnya, Genderuwo Terpasung. Peluncurannya terbilang cukup keren untuk ukuran saat itu, karena dihadiri oleh Mbak Asma Nadia, Mas Prie GS dan Bang Halfino sendiri.

Saya kaget, karena setahun penjualan, saya ditransfer royalti Rp 4.000.000,- Saat ini, uang Rp 4 juta memang terasa tidak terlalu besar, ya? Tetapi, bagaimana dengan 20 tahun silam?

Buku tersebut, harganya kalau tidak salah Rp 11.000,- kalau royalti saya saat itu 10%, berarti dalam setahun terjual sekitar 3600 eksemplar. Padahal, saat itu saya baru penulis pemula. Siapa yang kenal nama saya? Saat itu juga belum ada media sosial macam Facebook, Twitter, apalagi Instagram. Tapi, memang saat itu ada Majalah Annida yang sedang di puncak kejayaan. Dan, saya termasuk lumayan banyak menulis di sana.

Jika royalti saya untuk satu buku aja segitu, bagaimana dengan para senior saya seperti Mbak Helvy Tiana Rosa, Mbak Asma Nadia, Uni Maimon Herawati yang buku-bukunya best seller dan terjual puluhan bahkan ratusan ribu eksemplar saat itu? 

Serial Pingkan Uni Maimon saat itu memang sangat fenomenal. Ketika saya membantu menjualkan buku tersebut saat mahasiswa, laris bak kacang goreng. Banyak sekali penggemarnya. Saya tebak, setidaknya tembus sampai seratus ribu eksemplar. 

Ketika tahun 2009 saya dan Tim Indiva Media Kreasi membantu republish novel tersebut, serta melanjutkan sekuelnya Serial Pingkan 2, sambutan pembaca juga masih lumayan bagus. Tidak sedahsyat awal-awalnya, tetapi tetap terasa juga gempitanya.


Buku Genderuwo Terpasung

Saat buku saya pertama terbit, saya masih mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Biologi, F.MIPA Undip. Sebagai mahasiswa yang belum bekerja, saya biasa mendapat transferan biaya hidup Rp 150.000/bulan. Terasa kaya banget saat itu, hehe... Maka, setelah itu, saya memberanikan diri untuk meminta orang tua dan kakak yang selama ini mensupport biaya kuliah saya untuk menstop transferan. Alias, saya berusaha mandiri, begitu deh... 'ala kulli haal, Alhamdulillah.

Setelah itu, saya semakin mendalami dunia tulis menulis. Meski akhirnya saya lulus kuliah dengan titel Sarjana Sains, saya lebih tertarik menekuni dunia literasi. Apalagi, saat itu saya juga diminta bergabung untuk menjadi redaktur Majalah Karima, sebuah majalah remaja islami yang diterbitkan oleh Era Intermedia. 

Hasil menekuni dunia kepenulisan saat itu memang sangat lumayan, kalau dihitung dari aspek materi. Setelah Genderuwo Terpasung (GT), buku kedua terbit, judulnya Bulan Mati di Javasche Oranje (BMDJO), diterbitkan oleh PT Era Intermedia. Kalau GT bentuknya kumpulan cerpen, BMDJO bergenre novel. Dibandingkan fiksi-fiksi Islami saat itu, juga buku-buku lainnya, penjualan BMDJO sebenarnya tak terlalu bagus. Tetapi, tetap sangat lumayan. Sampai sekarang, BMDJO masih diproduksi, karena lolos penilaian Puskurbuk dan sewaktu-waktu bisa masuk dalam belanja pemerintah. Kalau dihitung, mungkin sudah tembus sekitar 10 ribu eksemplar. Demikian juga sekuel novel ini, Syahid Samurai dan Peluru di Matamu.

Buku-buku saya lainnya yang cukup banyak diminati pembaca saat itu antara lain Serial Marabunta (ada 4 buku, diterbitkan oleh Gema Insani), Serial Elang (3 buku, diterbitkan Era Intermedia), dan Trilogi Ilalang (diterbitkan Mizan).

Fiksi Islami saat itu memang sedang jaya-jayanya. Produknya membanjiri pasar. Penulis-penulis bergenre Fiksi Islami, kebanyakan bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP), juga sangat produktif. Sebut saja para penulis seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Izzatul Jannah, Maimon Herawati, saya sendiri (Afifah Afra), Sakti Wibowo, Jazimah Al-Muhyi, Fahri Asiza, Gola Gong, Aswi, Novia Syahidah, Koko Nata, Sinta Yudisia, Galang Lufityanto, dan sebagainya.

Penerbit-penerbit Islami pun sangat mendukung dengan terus menerbitkan buku-buku mereka, seperti Asy-Syaamil, Mizan, Era Intermedia, Gema Insani, Fatahillah dan sebagainya. Karena saat itu saya menjadi penjaga gawang di Era Intermedia, akhirnya saya banyak pula berinteraksi dengan para penulis yang saya sebut di atas.

Sebenarnya, saya bukan termasuk generasi FLP awal yang menulis fiksi Islami. Mungkin, saya termasuk generasi kedua, bersama Mas Sakti Wibowo, Jazimah Al-Muhyi, Galang Lufityanto dan sebagainya. Sementara, generasi pertama meliputi para senior seperti Mbak Helvy Tiana Rosa, Uni Maimon, Mbak Asma dan tentu saja, para jajaran redaktur Annida seperti Bang Mabruri, Mbak Ifa Avianty, Dian Yasmina Fajri, Rahmadiyanti Rusdi dan sebagainya. 

Ngomong-ngomong soal Annida, saya berani mengatakan, bahwa keberadaan majalah ini sangat penting, karena bisa dikatakan Annida-lah yang mengawali genre kepenulisan fiksi Islami. Ada Annida, tentu ada Mbak Helvy, karena beliaulah Pimred Annida saat itu. Tetapi, tentu ada sosok-sosok lain yang membidani majalah tersebut. Kenangan saya bersama Annida, nanti saya tulis tersendiri, deh...


Selain menghasilkan majalah, sebenarnya Annida juga menerbitkan beberapa buku yang berisi kumpula cerita, baik karya redakturnya maupun para penulis yang mengirim naskah di sana. Salah satunya, yang sangat berkesan di hati saya, berjudul Sembilan Mata Hati. Buku ini berisi kumpulan cerpen para redaktur Majalah Annida, tentang reformasi 1998, yang ditulis oleh Helvy Tiana Rosa, Dian Yasmina Fajri, Ifa Avianty dan sebagainya. Ada juga kumpulan cerpen Merajut Cahaya, berisi kumpulan cerpen-cerpen terbaik, alhamdulillah, cerpen saya ada juga di sana, judulnya Kematian Romo.


Namun, karena fokus Annida memang di majalah, maka peran sebagai penerbit buku tak terlalu dominan. Apalagi setelah muncul Asy Syaamil yang didirikan oleh Bang Halfino Berry dan kawan-kawan. Dalam waktu singkat, buku-buku bermunculan. Semakin meriah ketika beberapa penerbit seperti Mizan, Era Intermedia dan Gema Insani pun ikut menerbitkan genre yang satu ini.

Forum Lingkar Pena, sebagai organisasi yang memainkan peran penting di dunia perbukuan genre fiksi Islami saat itu pun ikut terkena berkahnya. Menurut Mbak Rahmadiyanti Rusdi, senior FLP yang sejak zaman Mbak Helvy hingga saat ini (luar biasa loyalnya) masih terlibat aktif di kepengurusan FLP, "kalau FLP mau bikin kegiatan, gampang banget cari uang ke sponsor." Meski Mbak Dee, panggilan akrab beliau, mengucapkan sembari tertawa, tetapi itu memang fakta. Apalagi, saya sendiri juga ikut mengalami sendiri hal tersebut.

Saat itu, jika hendak mengadakan acara, FLP membuat antologi kasih, yaitu kumpulan tulisan yang royaltinya akan disumbangkan full untuk acara tersebut. Saya termasuk penulis yang menyumbang beberapa tulisan di antologi-antologi tersebut. Penerbit dengan senang hati akan menerima dan menerbitkan antologi tersebut, terkadang juga dengan nilai royalti yang lebih dari biasaya, sebagai wujud dukungan penerbit tersebut kepada FLP.

Dalam Silaturahim Nasional 2002 yang diselenggarakan di Gelanggang Remaja Kuningan, Jakarta, salah seorang pembicara, penyair besar Taufik Ismail, menyebutkan bahwa FLP adalah anugerah Allah SWT untuk Indonesia. Hal itu mungkin terbaca dari gegap gempita dunia kepenulisan bertema sastra dakwah saat itu. Bahkan, Pak Ahmadun Y. Herfanda, menyebutkan bahwa FLP menjadi kuat karena membuat semesta perbukuan sendiri yang melibatkan segitiga penulis, pembaca dan penerbit. FLP sangat mandiri, karena mampu menciptakan pasar dan mengoptimalkan pasar tersebut.

Ya, tahun itu memang kondisi perbukuan masih sangat bagus. Baru setelah tahun 2010-an hingga sekarang, mulai ada penurunan yang signifikan. Saya cukup paham sih, kalau soal angka-angka penjualan buku. Karena, selain menulis, saya juga terlibat dalam dunia penerbitan. Awal tahun 2000-an saya bergabung dengan Era Intermedia, diamanahi sebagai manajer divisi pernaskahan umum. Lalu, bergabung ke MVM (sekarang Ziyad Visi Media). Sempat sendirian mengelola Afra Publishing, dan tahun 2007 resmi mendirikan PT Indiva Media Kreasi. Alhamdulillah, awet sampai sekarang.

Bagaimana dunia perbukuan setelah tahun 2010-an? Nanti ya, saya bahas sendiri di bagian kedua tulisan ini. 

Bersambung ke bagian kedua. 

5 komentar untuk "Mengenang Kejayaan Fiksi Islami, Akankah Bangkit Kembali? #Bag1"

Comment Author Avatar
Genderuwo Terpasung, Aini punya buku itu, Mbak. Waktu itu Aini malah masih duduk di bangku MTs, bisa dibilang karena majalah Annida Aini jadi suka menulis, qadarullah, bacaan2 berkualitas seperti yang disajikan Annida berhasil mentarbiyah diri kami setiap hari. Benar adanya seperti yang dikatakan Pak Taufik Ismail, FLP adalah hadiah Allah SWT untuk Indonesia. Bahagia menjadi bagian dari keluarga besar FLP.
Comment Author Avatar
Terimakasih, Aini... itu buku pertama saya, sangat berkesan di hati saya, meski mungkin kualitasnya masih begitu begitu aja hehe...
Comment Author Avatar
Wah, nama saya masuk dalam tulisan ini. Sebuah ingatan yang tajam. Alhamdulillah pengalaman tak terlupakan bersama FLP, dari dulu hingga sekarang ^_^
Comment Author Avatar
saya masih ingat saat menyeleksi, mengedit dan membantu proses penerbitan kumcer Bang Aswi di Era dulu
Comment Author Avatar
Wah, zaman tahun 2000 + saya masih sd. saya pertama kali kenal novel islami dari penulis flp, waktu itu dipinjami kakak, dan kalo tidak salah ingat malah dulu penerbitnya selalu ada logo flp yaa, yang ketasnya putih, ukuran novelnya juga lumayan kecil. Yg paling saya ingat ilalang2 itu, ada teman suka bawa novelnya pas pengajian, tuh masih zaman sudah masuk mts sih

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!