Anak Cerdas Menurut 'Einstein' vs JB Watson: Talenta Atau Pengondisian?

Sesosok manusia eksentrik berambut jabrik itu bernama Albert Einstein. Hampir semua orang pernah mendengar nama beliau, dan mayoritas mengenal kiprahnya. Selain dikenal sebagai pakar Fisika, beliau juga banyak menginspirasi lewat quotesnya. Ada satu kutipan kalimat yang sangat termasyhur: Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.

Saya dan mayoritas orang selama ini mengira bahwa quotes itu benar-benar dari Einstein. Tapi baru-baru ini, ada yang menyampaikan ke saya, bahwa quotes itu bukan dari Einstein. Sayangnya saya belum menemukan referensi yang menyebutkan bahwa quotes itu bukan dari Einstein. Maka, sebagai konfirmasi, saya kasih kata Einstein dengan tanda petik: 'Einstein', karena memang fokus dari artikel ini bukan pada siapa pencetusnya, tetapi apa yang dicetuskannya.

Bagi para ilmuwan Psikologi penganut behavioristik radikal, kalimat 'Einstein' ini mungkin tidak disepakati. Salah satunya, John Broadus Watson, sang pembuat teori pengkondisian klasikal (classical conditioning). Kata JB Watson (Jarvis, 2000): 

“Berikan aku selusin bayi yang sehat dan tegap, dan aku akan membesarkan mereka dalam duniaku sendiri yang telah kutentukan. Akan kupilih satu dari mereka secara acak dan melatihnya menjadi berbagai jenis spesialis yang telah kutentukan: dokter, pengacara, artis, kepala dagang, dan ya, bahkan pengemis dan pencuri, tanpa menghiraukan bakat, kegemaran, kecenderungan, kemampuan, panggilan hati, dan ras keturunan mereka.”

Wow, luar biasa ya, ucapan Watson! Para behavioristik memang mempercayai, bahwa manusia terbentuk benar-benar karena pola-pola stimulus dan respons. Mungkin, kalau Watson bertemu 'Einstein', dia akan membantah, “Lo kasihkan ikan ke gue, akan gue ajari naik pohon!” wkkk... just kidding ini saya mah!

Meski tentu masih dipakai di dunia Psikologi, teori-teori Behaviorisme sudah banyak mendapat kritik dan penyempurnaan. Memang benar, stimulus sangat penting dalam hidup seseorang, apalagi anak usia dini. Akan tetapi, sudah banyak riset yang membuktikan bahwa bakat, kegemaran, kecenderungan, kemampuan, panggilan hati, dan ras keturunan, ternyata berpengaruh juga terhadap kecerdasan anak.

Nah, kembali ke pernyataan 'Einstein' di atas ya... menurut beliau, semua anak terlahir dalam kondisi jenius. Artinya, tak ada anak bodoh. Dalam dua dekade ini, pernyataan 'Einstein' dijelaskan oleh Howard Gardner dengan teori yang sangat terkenal: multiple intelligence. Menurutnya, kecerdasan itu tidak tunggal, tetapi jamak. Semua orang memiliki tipe kecerdasan sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan lainnya. Keunggulan-keunggulan yang unik ini juga sering dikaitkan dengan bakat atau talenta.

Talenta semacam potensi, yang jika menemukan track-nya, mendapat pembimbing, proses berlatih dan lingkungan yang baik, akan terasah menjadi kapasitas dan kapabilitas. Nah, dalam hal ini, saya sepakat dengan Watson. Pengondisian itu sangat penting dalam proses belajar. Tetapi, akan sangat tepat, jika pengondisian dilakukan berdasarkan potensi si anak. Setuju?

Polutan Talenta

Sayang, pada perkembangannya, tak semua talenta itu tereksplorasi dengan baik. Di sekitar kita, banyak sekali polusi-polusi yang meracuni talenta, sehingga tak bertumbuh kembang. Kalaupun berkecambah, hanya muncul jadi sesuatu yang kerdil. Mungkin terlihat indah, tapi tak mampu membawa pemiliknya pada puncak pencapaian prestasinya.

Apa saja polutan-polutan talenta itu? Salah satunya adalah game online. Aktivitas ‘easy’ yang fun ini sangat berkekuatan dalam merusak potensi anak. Sebenarnya, melakukan apa-apa yang menjadi talentanya adalah menyenangkan. Tetapi, game online memiliki daya sedot yang lebih kuat. Karena terjebak pada candu game, anak-anak pun memilih meninggalkan aktivitasnya dan sibuk bertekun dengan gawai, si magnet berbentuk segi empat itu.

Polutan talenta lainnya adalah sistem pendidikan yang memfokuskan pada bidang-bidang tertentu dan abai pada bidang lain. Bagi anak yang talentanya cocok, dia pasti akan melejit menjadi bintang. Tetapi, bagaimana dengan yang tidak pas? Sebagaimana saya sebutkan di atas, 'Einstein' menganalogikan kesalahan dalam mengelola potensi anak sebagai: ikan yang disuruh memanjat pohon.

"Semua orang itu jenius, tetapi jika kau menilai kemampuan seekor ikan dalam memanjat pohon, maka ikan itu akan hidup dengan mempercayai kalau dirinya bodoh seumur hidupnya,” begitu terjemahan salah satu ilmuwan paling penting yang pernah hidup di muka bumi ini.

Adakah polutan lainnya? Masih banyak. Salah satunya adalah “silaunya” orang tua ataupun anak itu sendiri terhadap profesi-profesi tertentu yang dipandang bergengsi, masa depan cerah, dan sebagainya. Karena merasa profesi itu layak dikejar hingga titik darah terakhir, maka dia akan berjuang keras, meski dia harus menjadi “ikan yang memanjat pohon.” Memang, akhirnya, dengan rumus Watson di atas, ada orang-orang tertentu yang karena terus dikonsisikan, maka akan tumbuh sebagai sosok yang diidam-idamkan sang orang tua.

Tetapi, betapa banyak yang akhirnya menjalani aktivitasnya tersebut dengan kurang bergairah? Saat ini, kita sering mendengar kalimat: “I don’t like Monday!” Ya, hari senin menjadi hari yang menyebalkan, baik untuk pelajar maupun karyawan? Menurut saya, sebabnya karena mereka menjalani aktivitas yang bukan passionnya. Ya seperti ikan disurut manjat pohon tadi!

Tapi dengan classical conditioning, semua akan tertangani? Tahukah Anda, bagaimana eksperimen Watson? Jarvis (2000) menyebutkan, si kecil Albert, seorang bayi lelaki usia 9 bulan, dihadapkan dengan seekor tikus putih.  Awalnya, Albert tidak takut pada tikus putih tersebut, inilah stimulus netral. 

Dua bulan kemudian, saat Albert dihadapkan kepada tikus tersebut, Albert hendak menyentuh si tikus. Tetapi, peneliti memukulkan batang besi sepanjang 4 kaki  tepat di belakang telinga Albert, sehingga menimbulkan suara keras dan menakutkan.  Hal tersebut diulang-ulang dalam tempo waktu tertentu. Hasilnya, Albert tak hanya takut terhadap tikus, tetapi juga sesuatu yang lembut dan berbulu putih. Sadis, ya?

Eksperimen dengan Albert sebagai ujicoba terus dilanjutkan, sampai akhirnya Albert diadopsi, dan ibu angkatnya menolak kelanjutan eksperimen tersebut. Eksperimen-eksperimen kaum Behavioristik selanjutnya, seperti Bandura, Skinner dan sebagainya, tentunya tidak “sesadis” Watson. Bahkan, sebagian teori psikologi behavior, telah menjadi semacam “gold standard” dalam sistem pendidikan saat ini. 

Namun, bisa jadi pengondisian klasik ala Watson mungkin menginspirasi sebagian pelaku pendidikan atau senior yang suka melakukan kekerasan terhadap anak didik atau juniornya. Kemarin, di Solo, ada mahasiswa Menwa UNS wafat karena kekerasan yang dilakukan oleh senior-seniornya. Tentu, kita tidak ingin memaksa “ikan memanjat pohon” dengan cara semacam itu, bukan?

Kesimpulannya, saya sepakat dengan 'Einstein'. Semua orang terlahir dalam kondisi jenius. Mereka punya bakat, kecenderungan, passion dan minat tertentu. Secara genetik, mereka juga membawa separuh gen ayah dan separuh gen ibu. Yang perlu kita lakukan, ayo sucikan mereka dari polusi-polusi talenta. Lalu, kondisikan mereka sebagaimana talenta yang mereka miliki.

Sepakat?

Foto ilustrasi: betskiddy.com

Referensi:
Afra, Afifah. 2008. And The Star is Me. Indiva Media Kreasi. Solo.
Jarvis, Matt. 2000. Theoretical Approaches in Psychology. Routledge. London.

1 komentar untuk "Anak Cerdas Menurut 'Einstein' vs JB Watson: Talenta Atau Pengondisian?"

Comment Author Avatar
potensi memang perlu digali dan diberi kesempatan :D

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!