Perbedaan Dalam Pernikahan, Haruskah Jadi Sumber Konflik?


Memang, kita tidak bisa menghindarkan adanya perbedaan dalam pernikahan. Jangankan pernikahan, bahkan dalam aktivitas yang sepele pun, sangat mungkin kita mengalami perbedaan pendapat. Misalnya, kita bisa adu argumen cukup alot dengan sahabat atau kolega, untuk menentukan, lebih dahulu mana, telur atau ayam. Dalam sebuah kamar di boarding school, bisa saja terjadi perang pendapat gara-gara sebagian siswa ingin mematikan lampu saat tidur, sementara yang lain justru tak bisa memejam mata dalam kegelapan.

Perbedaan tidak mungkin kita hindarkan. Bahkan, kedewasaan dan harmoni, seringkali muncul jika kita mampu mengelola perbedaan. Bagaimana mungkin kita bisa menghindari perbedaan, sedangkan sejak kita lahir sendiri, kita sudah membawa sifat-sifat yang khas, berbeda dengan orang lain. Perbedaan bisa meliputi kondisi fisik, status sosial, intelektual, dan juga karakter. Sama-sama lahir dari rahim yang sama pun, si kembar juga memiliki perbedaan, karena DNA-nya tentu berbeda.

Bagi sebagian orang, perbedaan itu merepotkan. Namun, seringkali, perbedaan itu memperkaya. Bayangkan jika di taman bunga hanya ada satu jenis tanaman, pasti tidak seru kan? Pertunjukan orkestra yang melibatkan banyak alat musik, jika harmoni, terasa begitu indah mempesona. Termasuk dalam pernikahan. 

Namun, perbedaan seperti apa? 

Dalam hidup, ada hal-hal prinsip atau baku, ada hal-hal yang nisbi atau relatif. Hal-hal yang baku, sifatnya tsawabit, alias prinsipal: mutlak, pasti, tak boleh goyah. Bak minyak dan air, tidak mungkin bercampur. Dalam masalah yang prinsip ini, tidak ada ruang negosiasi. Kita perlu tegas.

Halah, bisa kok, hal-hal semacam itu dijembatani, asal ada cinta. Yakin? Apakah betul, cinta bisa menjembatani segala hal, termasuk perbedaan-perbedaan yang sangat prinsip?

Saya tidak yakin. Sebab, kita tinggal di sebuah dunia dengan usia peradaban yang sudah sangat tua. Lebih dari itu, sebagaimana manusia beragama, kita juga memiliki aturan yang harus ditegakkan, termasuk dalam pernikahan. 

Kalau kamu mau menikah dengan orang yang berbeda secara prinsip, bersiaplah untuk menjadi minyak dan air yang akan selalu menghadapi masalah saat hendak menyatu. Berat sekali itu ... konsekuensinya bukan hanya dunia, bagi orang beriman, juga hingga akhirat.

So, kita perlu memetakan beberapa hal prinsip, khususnya dalam pernikahan. Kalau menurut saya, hal-hal prinsip itu di antaranya: 
1. Agama, 
2. Pola pikir, 
3. Beberapa karakter mendasar seperti apakah dia menghargai orang lain? Apakah dia mudah beradaptasi dengan orang lain? dll.

Saya tidak memasukkan masalah sosial dan ekonomi sebagai hal prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam pernikahan. Meski begitu, kadang ada beberapa orang memasukkan, silakan saja. Misal, ada teman yang menolak dipinang seseorang, karena seseorang tersebut berasal dari keluarga yang sangat kaya, sementara dia hanya orang sederhana. Dia khawatir ada perbedaan gaya hidup yang akan menjadi permasalahan besar saat berumah tangga. Well, cukup logis!

Untuk nomor 2 dan 3, silakan berbeda, nomor 1 saya harap kita sama. AGAMA! Bagi para penganutnya, agama adalah soal iman, soal keyakinan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan SANG KHALIQ. Menentang aturanNya adalah sebuah pembangkangan yang tak terampuni. Kita paham konsekuensinya, kan?

Lantas, mengapa saya masukkan menghargai orang lain dan kemampuan beradaptasi sebagai hal prinsip? Karena saya lahir dari keluarga besar dengan sistem sosial yang guyup, dekat, hangat dan rukun. Saya ingin suami bisa dengan smooth masuk ke sistem sosial keluarga besar saya. Menikah bagi saya bukan sekadar saya suka sama si X, lalu hanya menerima si X, tanpa mau memahami keluarganya, demikian pula sebaliknya.

Suatu hari, saya sempat bicara kepada anak laki-laki saya, Rama. "Mas Rama, sebagai lelaki, kamu tidak hanya milik istri dan anakmu. Kamu juga bertanggungjawab terhadap ibumu, saudara-saudaramu, keluargamu. Besok kalau kamu menemukan tambatan hati, sampaikan padanya, 'maukah kau menerimaku dan keluarga yang menjadi tanggung jawabku?' Sebab sebagai anak laki-laki, kamu adalah asisten ayahmu dalam melindungi keluargamu."

Rama manggut-manggut. Ya, begitu deh, saat ini kita melihat betapa banyak kaum lelaki yang menelantarkan keluarganya, hanya karena alasan takut sama istrinya. 

Hal-hal prinsip, perlu kita pegang kuat-kuat. Namun, bukan berarti kemudian kita mencemooh dan bersikap tidak toleran kepada yang di luar itu. Misal, kita bisa mengatakan, "Maaf, kalau untuk menikah, aku tak bisa. Kita beda agama. Aku tidak mau menikah denganmu, bukan berarti hubungan kita buruk. Kita bisa bekerjasama di urusan lain, dan saling menghormati keyakinan kita masing-masing."

Setelah mematok hal-hal prinsip, bersikaplah lebih legawa terhadap hal-hal yang sifatnya relatif. Kalau semua perbedaan menjadi hal prinsip, waduuuuh, kita tidak akan bisa hidup bersama dengan siapapun dengan nyaman. Silakan ke hutan saja. Haha.

Saya suka pantai, dia suka gunung. Saya suka jalan kaki, dia suka lari. Saya suka warna kalem, dia suka ngejreng, saya suka musik lembut dia suka dangdut, saya suka bakso dia suka pizza ... itu bagi saya bersifat relatif. Bisa dijembatani.

Bersikaplah pemaaf, saling maklum, menghormati, dll utk hal-hal yang relatif alias tidak prinsip. Jangan sampai istri menutup pintu mobil terlalu kencang atau terlalu lemah aja jadi bahan bertengkar. Jangan sampai suami lupa nutup kran saja bikin perang 7 hari 7 malam. Istri salah mengiris wortel jadi kotak-kotak, suami tak mau makan, lalu pilih jajan di restoran.

Dalam berumah tangga, stok maaf harus berlimpah. Kalau perlu berlimpah ruah. Kita akan banyak sekali menghadapi pernak-pernik yang seringkali mengganggu keharmonisan kita. Bagi Miss or Mr Perfect, sekadar ada benang yang terurai di jilbab saja, bisa menjadi pikiran dan merusak suasana. Ini yang perlu bikin kita waspada.

Saya sering senyum-senyum, saat mengetahui beberapa papa muda menyimpan nama istri mereka di ponsel dengan nama unik: Penyelidik Polresta (karena dikit-dikit tanya, Papa lagi dimana, sama siapa, lagi ngapa), hingga Hantu Pocong (karena selalu "menghantui" suami). 

Lucu? Boleh jadi. Tapi, awas, ini bukti bahwa ada hal-hal yang tidak terjembatani dengan baik. Itu adalah sebuah sinyal bahaya yang perlu diantisipasi.

Terimalah dia apa adanya! Boleh saja kita bernegosiasi, tetapi namanya negosiasi, ketika kamu di titik nol dan dia di titik sepuluh, lalu kesepakatannya di titik 5, itu sudah sangat lumayan. Tanggalkan egoisme, turunkan tensi, belajarlah untuk memahami.

Sekali lagi, saat kita sudah berkomitmen untuk berpartner dengan orang lain, mau di organisasi, pekerjaan, apalagi rumah tangga, ruang maaf dan permakluman untuk hal-hal yang nisbi alias relatif, harus diperluas, kalau perlu malah seluas-luasnya.

Apalagi, nggak mungkin kan, kesalahan selalu dari dia. Jika dia tak sempurna, pun begitu diri kita. Dengan orang terdekat, jangan berposisi seperti batu dengan batu, bergesekan sedikit saja menimbulkan luka. Jadilah seperti karet dengan karet, bisa saling fleksibel satu sama lain.

Semoga artikel pendek ini menginspirasi, ya... 

Salam,
Afifah Afra

1 komentar untuk "Perbedaan Dalam Pernikahan, Haruskah Jadi Sumber Konflik?"

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!