Widget HTML #1

Haruskah "Mengusir" Anak-Anak dari Masjid?



Pengalaman "diusir" dari masjid saat saya masih anak-anak, masih membekas hingga kini. Padahal, peristiwa itu telah berlalu lebih dari 35 tahun yang lalu. Saat itu, saya masih bocah, umur sekitar 8 tahun, kalau tidak salah. Saya merasa bukan anak nakal, dan selalu tenang saat shalat. Bacaan shalat saya sudah lumayan lancar. Meski saat itu saya sekolah di SD negeri (bukan Islam Terpadu seperti anak-anak saya saat ini), saya merasa cukup tekun belajar agama dari jam pelajaran Agama Islam yang sangat minimalis saya terima saat itu di sekolah. 

Pendampingan dari keluarga juga cukup baik saat itu. Ibu selalu membiasakan saya shalat, meski saat itu banyak kaum Muslimin di desa saya belum shalat, atau shalat tetapi bolong-bolong. Banyak juga yang shalatnya setahun hanya dua kali, saat Idul Fitri dan Idul Adha. Nggak beda jauh dengan zaman sekarang? Saya rasa berbeda. 20 tahun terakhir ini, sama seperti di tempat lain, ghiroh umat Islam untuk rajin beribadah, tampak naik. Termasuk di kampung kelahiran saya.

So, alhamdulillah, saya terbiasa shalat berjamaah, khususnya Maghrib dan Isya di masjid, yang letaknya tak seberapa jauh dari rumah. Sepertinya, saya juga bukan tipe pembuat keributan. Tetapi, malam itu, saya diusir oleh seorang jamaah perempuan yang usianya sudah setengah baya. "Bocah cilik aja neng kene, mengko rame, metu neng kana!" Begitu hardiknya. Artinya: anak kecil jangan di sini, nanti ramai (bikin keributan), keluar ke sana!

Wajah saya memanas, rasanya ingin menangis. Saya mau shalat di barisan orang-orang dewasa, karena saya juga ingin sholat dengan tenang. Kalau bergabung dengan anak-anak, tak sekadar mereka ribut, tetapi juga sering menganggu sholat saya. Misal, saya sudah takbiratul ihram, tiba-tiba mereka tidur di atas sajadahku, lalu tertawa-tawa ke arahku sambil menggoda saya dengan guyonan-guyonan yang sering membuat saya akhirnya batal sholat. 

Lagipula, masjid masih cukup longgar. Ketika saya masuk di barisan orang dewasa, tidak lantas membuat jatah orang dewasa berkurang. Seperti yang saya sebutkan di atas, yang mau sholat--terlebih sholat berjamaah di masjid, saat itu sangat minim.

Untung pada saat itu, kakak nomor dua saya, beliau sudah remaja, membela saya. "Adikku nggak rame kok!" 

"Ini anaknya Pak Cipto, rajin kok," bela ibu-ibu yang lain.

Nah, mungkin karena pembelaan kakak saya, atau karena si ibu yang menghardik saya itu tiba-tiba tahu saya anak Pak Cipto, si ibu tidak jadi mengusir. Hmmm... kurang enak ya, membahas ini. Tetapi, di kampung saya dulu, ayah saya termasuk seorang tokoh masyarakat yang disegani. Orang-orang bilang, kami keluarga 'priyayi'. Bukan priyayi dalam artian ningrat, just priyayi ndeso gitu deh. Ayah saya guru, kepala sekolah, seorang PNS. Jelang pensiun, naik pangkat sebagai penilik sekolah. Sebenarnya hanya profesi biasa-biasa saja. Hanya pejabat eselon 5. Tetapi, di desa saya yang kebanyakan petani dan pembuat gula kelapa, sedikit pegawai negeri yang menetap di desa biasanya disebut sebagai priyayi. Selain itu, ayah juga aktif sekali di urusan sosial kemasyarakatan. Pernah menjadi ketua LKMD (sekarang semacam BMD--badan musyarawarah desa), pengurus PGRI, dan banyak juga menginisiasi organisasi kemasyarakatan lainnya. 

Haha... kurang seru juga sih, ya, kalau orang menghormati saya hanya gara-gara saya anak 'priyayi'. Tetapi, karena itu, akhirnya saya bisa tetap sholat di barisan depan dengan tenang, dan tak pernah diusir lagi. Saya sih berharap tidak diusirnya saya karena ketenangan itu, bukan karena saya anak bapak. 

Kembali ke soal usir-mengusir tadi ya. Jadi, di masjid saya pun, sejak saya bocah (berarti 30-an tahun silam, karena sekarang saya sudah 43 tahun), ada tradisi "mengeliminasi" anak-anak untuk keluar dari masjid, karena dianggap mengganggu ketenangan. Ternyata, tidak hanya masjid saya. Fenomena ini terjadi di banyak masjid. Seorang kenalan pernah merasa sangat sakit hati, karena anaknya yang sedang dia ajari untuk suka dengan masjid, dibentak seorang bapak-bapak karena saat itu agak ramai. 

Meski banyak yang tidak setuju dengan teori Psikodinamika dari Sigmund Freud dan kawan-kawan, di mana menurut mereka perilaku seseorang sangat dipengaruhi dengan apa yang didapatkan saat masih anak-anak, tetapi kita perlu hati-hati lho. Nyatanya, memang bekas-bekas luka yang didapatkan selama anak-anak, sering menimbulkan trauma tersendiri. Ada yang sulit untuk sembuh, lho. Seorang kenalan saya sempat mengeluhkan anaknya yang takut ke masjid gara-gara dihardik saat dia mencoba adzan. Hingga SMA, dia tidak mau ke masjid. Secara psikologis, mengusir anak dari masjid ini tidak baik untuk psikologi anak.

Di sebuah masjid dekat rumah saya, juga ada seorang bapak yang dikenal sangat galak terhadap anak-anak. Baginya, anak-anak seperti monster jahat yang perlu dihalau sejauh-jauhnya dari masjid. Semakin "steril" masjid dari anak-anak, maka akan semakin baik, mungkin begitu pendapat beliau.

Dalam satu sisi, saya memahami mengapa orang dewasa cenderung tidak mau ada anak-anak di masjid. Salah satu motivasi orang dewasa, apalagi yang menjelang usia senja, untuk datang ke masjid, biasanya karena ingin mendapatkan ketenangan, beribadah sekusyuk mungkin. Apalah jadinya jika ternyata jeritan anak-anak, suara berisik mereka saat berlari-lari sambil bermain-main di masjid, ternyata justru menghancurkan keinginan tersebut?

Tetapi, mengusir anak dari masjid juga bukan langkah bijak. Shalat di masjid membutuhkan pembiasaan. Jangan sampai anak trauma ke masjid, yang kemudian terbawa hingga besar. Lihatlah, saat ini banyak masjid megah, namun yang shalat paling banter hanya dua tiga shaf. Bahkan, sering terjadi, saat shalat tarawih di Bulan Ramadan, saat orang dewasa berjamaah di masjid, anak-anak dan remaja justru berada di luar: menyalakan petasan. Mereka memang pergi ke masjid, pakai sarung dan kopiah, tetapi nongkrongnya di luar, sibuk main mercon.

Masjid menghormati para kasepuhan, tetapi masjid bukan dikhususkan untuk orang tua. Justru masjid harus menjadi pusat pengkaderan anak-anak muda, menjadi tempat kajian-kajian, belajar Al-Quran sejak dini, dan sebagainya. Tetapi, bagaimana solusi agar anak-anak tidak rame berlarian?

Biidznillah, suami saya ada ketua takmir masjid di dekat rumah. Ada beberapa langkah yang beliau tempuh bersama takmir yang lain. Boleh deh, coba diusulkan untuk diterapkan di masjid-masjid dekat rumah Pembaca sekalian.

1. Luruskan Persepsi Tentang Anak-Anak Sebagai "Biang Onar"

Benarkah bahwa anak-anak identik 'biang onar'? Sebaiknya, luruskan dahulu persepsi tentang hal tersebut. Meluruskan persepsi ini sangat penting, karena bisa mengubah pola pikir dan bahkan pengambilan keputusan pada seseorang. Dalam KBBI, persepsi dimaknasi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan: proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.

Profesor Sarlito Wiraman Sarwono, dalam buku Pengantar Psikologi Umum menjelaskan persepsi sebagai kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan dan sebagainya. Proses persepsi sendiri diawali dari intepretasi tentang apa yang dilihat, juga bagaimana kondisi objek yang dipersepsi dan subyek yang mempersepsikan. 

Persepsi siapa yang diluruskan? Persepsi orang dewasa, dong! Masak anak-anak. Meski ada beberapa anak memiliki "pemahaman ala orang dewasa", tetapi mayoritas anak-anak, secara kognitif belum sampai pada tahap mempersepsi. Memodifikasi perilaku anak-anak lebih ditekankan pada aspek pembiasaan, bukan persepsi.

Sejauh ini, para kasepuhan mempersepsi anak-anak sebagai biang onar. Karena indera beliau-beliau ini melihat dan merasakan langsung betapa ributnya anak-anak, akhirnya tercetuslah kesimpulan tersebut. Memang tidak salah! Tetapi, para kasepuhan juga perlu disodorkan data, fakta dan mungkin opini, betapa sikap mengeliminasi anak-anak dari masjid merupakan sebuah langkah keliru.

Takmir bisa membuat semacam kajian tentang hal tersebut, mengundang pakar psikologi anak, atau Ustadz yang disegani, agar para kasepuhan bisa lebih terbuka terhadap kondisi anak-anak yang memang di mana-mana suka bikin keributan

2. Kondisikan Anak-Anak Untuk Tenang

Kebanyakan, masjid menerapkan aturan agar anak-anak sholat terpisah dengan orang dewasa, dengan alasan bakal mengganggu kekusyukan. Kalau di masjid kami, justru sebaliknya, anak-anak tidak dibiarkan membentuk kelompok sendiri. Karena ini pasti akan sangat berpotensi membuat kegaduhan. Shaf dibuat berselang-seling antara orang dewasa dan anak-anak. Orang dewasa dengan kasih sayang menepuk bahu si anak sebelum sholat, menasihati agar tidak ramai, dan sebagainya. Memang sih, si anak seringkali tetap "berulah", misal sholat sambil goyang-goyang. Tetapi, dengan posisi dia terpisah dengan  anak lain, potensi untuk ramai menjadi berkurang.

3. Buatlah Strategi Mengelola Jamaah Anak-Anak

Punnisment dan reward (reinforcement) merupakan hal-hal yang bisa membentuk kebiasaan pada anak. Di salah satu masjid, saya pernah melihat pembagian hadiah setelah sholat jamaah usai, tetapi hanya kepada anak-anak yang sholatnya tenang. Ternyata, hal tersebut cukup efektif. Memang jamaah tidak lantas sangat tenang, tetapi lumayan terkondisikan.

Anak-anak sangat menyukai hadiah, meski hanya hadiah ringan. Sebaiknya jangan dipakai model punnishment, karena tidak cocok untuk anak-anak, kecuali jika polah tingkahnya sangat keterlaluan. Tidak mendapatkan reward, bagi anak sudah setaraf punnishment.

Strategi mengelola jamaah anak-anak tentu bisa beraneka ragam. Bisa juga dengan dongeng di TPA. Guru TPA menekankan terus menerus bagaimana adab ketika sholat, dan sebagainya.

Intinya, jangan usir anak-anak dari masjid! Mereka adalah generasi penerus perjuangan kita.

4 komentar untuk "Haruskah "Mengusir" Anak-Anak dari Masjid?"

Comment Author Avatar
Di masjid-masjid perumahan kaum urban cenderung lebih toleran dgn anak-anak yg rame. Tantangan nya di masjid yg DKM-nya Generasi Baby Boomer, lebih suka anak yg manis, diam, manut...
Comment Author Avatar
Biasanya begitu, komplek2 perumahan dengan komposisi penduduk relatif terdidik, biasanya lebih bisa memahami kondisi.
Comment Author Avatar
Anakku pas SD juga diusir bapak-bapak dari saf depan, padahal bukan saf pertama. Akibatnya dia males ke masjid, keterusan sampe sekarang. Harus dibujuk-bujuk deh biar ke masjid.

Paling ideal sih anak ke masjid sama ortu atau orang dewasa lain yg mau dg sigap ngatur anak-anak mereka biar ga rame. Termasuk ngatur saf.

Pengalaman dulu, salat bisa rapi, tenang kalau anak-anak diselipkan dalam saf malah. Jadi diapit orang dewasa gitu. Kalau dikasih saf sendiri malah rame.
Comment Author Avatar
Iya benar, sebaiknya anak-anak didampingi orang tua dan diselang-seling safnya

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!