Widget HTML #1

Sabar di Track yang Benar!


Pernahkah Sobat sekalian merasa sangat gemas karena melihat ada seseorang yang terus saja bertahan hidup bersama orang yang jahatnya naudzubillah ...! Misal, seorang istri yang memiliki suami sangat jahat, setiap hari  menyiksanya, menyakiti, merampas kebahagiaan, tak pernah menafkahi, dan terus membuatnya hidup dalam linangan air mata? Tak ada yang dipertahankan dari hubungan tersebut selain sekadar status. 

Atau melihat seorang karyawan yang tetap bertahan bekerja, meskipun setiap hari kena semprot bosnya, gajinya terus dipotong tanpa alasan jelas, kesalahan dikorek-korek ... dan sebagainya. Pokoknya, tiap hari dia mendapatkan perlakuan yang wow banget. Namun alih-alih resign, protes saja tidak berani. Tiap hari datang ke tempat kerja dengan perasaan sangat tertekan, karena seperti hendak memasuki neraka dunia.

Juga misal kita punya tetangga, yang tiap hari menzalimi kita: membuang sampah di halaman rumah kita, karaokean sampai larut malam hampir tiap hari dengan sound system menggelegar, memfitnah kita di mana-mana, memaki anak-anak kita ... wadidaw banget pokoknya!

Masih ada sederet panjang contoh kisah nyata, yang barangkali Sobat pernah rasakan sendiri, selain tiga kisah di atas. Kisah tentang kezaliman terus menerus yang dialami, dan terus didiamkan atas nama kesabaran. 

SABAR, SABAR, SABAR!

Eh, sebentar, kita harus membedakan ya, mana konflik yang sifatnya wajar-wajar saja, yang merupakan efek dari perbedaan karakter, perbedaan latar belakang, budaya, keinginan dan sebagainya; dengan berbagai tindakan zalim alias tidak adil, bahkan menjurus kepada kriminalitas yang terus dilakukan seseorang kepada kita, ya. Konflik yang wajar tentu bisa diatasi--insya Alla, jika ada kemauan untuk rekonsiliasi dan mau menekan ego diri. Terlihat konflik karena hal ini justru menunjukkan bahwa hidup kita dinamis. Jangan khawatir, asal kita mau berbenah, bahkan konflik semacam ini meningkatkan soft skill kita dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Namun, jika sudah tidak wajar, sudah over, sudah bukan lagi sekadar permasalahan perbedaan persepsi, tetapi sudah menjurus kepada kriminalitas, tentu harus ditangani. Tidak boleh diam saja.

Sabar itu perlu, penting, dan saya termasuk yang yakin bahwa sabar itu tidak ada batasnya, karena pahalanya pun tak ada batas. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Q.S. Az Zumar: 10). 

Terkait dengan masalah kesabaran, saya sudah menulis di artikel Benarkah Sabar Itu Ada Batasnya? silakan dibaca, ya. Jangan lupa komen dan share, hehe. Semoga ada manfaat yang bisa kita petik bersama.

SABAR ITU PENTING. Dan kita harus berusaha menampung yang sangat besar, yang mampu menampung Tetapi, kesabaran yang tanpa batas itu tidak bisa dimaknai sebagai sebuah pekerjaan sia-sia, pekerjaan yang terus menanti, atau membiarkan diri terlena dalam harapan palsu. Sabar itu bukan menunggu Godot!

Kesabaran perlu menempatkan diri di track yang benar! Anggaplah bahwa hidup adalah lari marathon. Kita akan menempuh jarak sepanjang 42.195 meter. Bukan jarak yang pendek. Kita jelas membutuhkan kesabaran untuk bisa menempuh jarak tersebut, hingga sampai garis finish. Tetapi, kesabaran itu tak akan ada artinya jika kita menempuh track yang salah. Jika kita akhirnya melewati angka 42.195 meter, bahkan mungkin 100.000 meter atau lebih, dan ternyata kita tidak mendapati garis finish, maka mungkin bukan sabar yang kita jalani, tetapi kesia-siaan.

Kesabaran, ternyata juga membutuhkan pengetahuan serta kemampuan meyakinkan diri sendiri, bahwa saya sudah berada di jalur yang benar. Sebab, terus menerus bertekun dalam sebuah kegiatan yang "entah", sebenarnya bukan indikator dari kesabaran. Itu adalah sebuah kekeliruan -- saya tak tega mengatakan sebagai kebodohan.

Kesabaran, dalam perspektif psikologi, mirip dengan resiliensi. Apa sih, resiliensi itu? Menurut Connor dan Davidson (2003), resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi, mengatasi, bangkit, dan berubah (ke arah lebih baik tentunya), saat menghadapi kesulitan. Tidak 100% sama tentunya, tetapi keduanya memiliki banyak persamaan. Kalaupun berbeda, resiliensi sangat diperlukan sebagai modal utama agar kita bisa menjadi sosok yang sabar. Nah, cek lagi makna resiliensi: kemampuan untuk mengatasi kesulitan. Jadi, dalam sabar terkandung sebuah ikhtiar untuk keluar dari kesulitan.

Maka, sekali lagi, sabar harus berada dalam track yang benar. Sabar harus sejalur dengan upaya kita untuk melepaskan diri dari masalah tersebut. Misal, rumah kita bocor, sehingga setiap hujan, ada tempias air hujan memasuki rumah kita. Tentu kita akan sangat kedinginan. Reaksi kita menghadapi penderitaan terhadap kedinginan tersebut adalah: SABAR. Tetapi, kita tetap harus mencoba membetulkan kebocoran di rumah kita. Sebab, jika kita terus menerus membiarkan diri dalam penderitaan, tanpa berusaha untuk mengatasinya, tentu kita bisa masuk dalam kategori orang yang menjatuhkan diri kepada kebinasaan.

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195).

Termasuk dalam "track kesabaran" adalah melakukan sebuah upaya yang benar sesuai dengan ilmunya. Jangan sampai ibarat kita menebar bibit tanaman di bebatuan cadas dan kerontang, lalu kita menunggu terus sampai tumbuh tanaman, maka itu sama dengan "menunggu godot", menunggu sesuatu yang tak akan mungkin terjadi. Menunggu godot bukanlah ekspresi kesabaran. Kesabaran adalah kita menebar benih tanaman di tempat yang gembur, kita menyirami, memberi pupuk, lalu sabar menunggu panen.

Oke, masih ada di antara kita yang hobi "menunggu godot"? Jangan puji diri sendiri sebagai orang sabar ya? Tapi introspeksi, kita mungkin keliru memilih track kesabaran. Segeralah berbalik dan carilah track yang benar!

Posting Komentar untuk "Sabar di Track yang Benar!"