Film Buya Hamka: Dakwah, Buku, dan Cinta


Pada hari Kamis malam kemarin, 27 April 2023, saya dan keluarga berkesempatan menonton film Buya Hamka di bioskop CGV, Transmart, Pabelan, Kartosura. Studio saat itu terisi sekitar separuhnya saja. Saya agak bertanya-tanya, kok yang menonton tidak terlalu banyak? Jangan-jangan kurang promosi.
Kurang antusiasnya penonton Hamka di awal-awal penayangan bisa jadi karena para penonton potensial masih sibuk berlebaran, masih pulang kampung, sehingga belum sempat untuk menonton film. 

Segmen penonton film-film Islami memang unik. Banyak di antara mereka bukan orang yang selalu aktif 'mantengin' jadwal bioskop, sehingga sering tidak ngeh jika film A atau film B sedang tayang. Tetapi, jika ada rekomendasi untuk menonton film tertentu, biasanya mereka akan dengan senang hati datang ke bioskop, bahkan seringkali nonton beramai-ramai dengan komunitasnya. Saya pun termasuk orang yang rajin memberi informasi ke komunitas saya jika sedang ada film yang menurut saya bagus sedang tayang di bioskop. Biasanya sih, setidaknya ada ratusan orang atau malah lebih, mau ke bioskop jika saya memberi rekomendasi sebuah film, hehe....

Tampaknya, dugaan saya benar. Buktinya setelah kesibukan berlebaran dan mudik usai, setelah makin banyak yang nonton dan mengajak komunitasnya, jumlah penonton film Buya Hamka naik pesat. Kabarnya sudah melewati angka 800 ribu, bahkan di akun Instagram Vino G Bastian, ada informasi bahwa film ini sudah tembus 1 juta penonton. 

Membuat film yang bagus tentu tidak mudah, dan biayanya juga sangat mahal. Film Buya Hamka, yang terdiri dari 3 volume, menurut beberapa sumber, biaya produksinya mencapai 60 milyar, pembuatannya memakan waktu 9 tahun! Memang kabarnya film ini tidak berorientasi pada provit. Tetapi, kalau sedemikian besar "pengorbanan" membuat film ini, biayanya, waktunya, energi para kru, pikiran ... dan sebagainya, lalu film tersebut ternyata jeblok di pasaran, tentu para sineas akan merasa "kapok", dan akhirnya kurang antusias untuk membuat film semacam ini lagi. Padahal, kita butuh lebih banyak lagi film-film edukatif semacam ini, kan?

Oke, kalaupun para kru tetap semangat membuat film, paling tidak jika sambutan masyarakat terhadap film ini positif dan gegap gempita, semangat untuk memproduksi film-film sejenis tentu akan semakin membara. Kita, yang tidak terlibat sebagai pembuat, investor, atau kru film-film bagus tersebut, harus memberikan dukungan dengan cara yang paling mudah: menonton, memberikan kritik dan saran yang membangun, serta mempromosikannya.

* * *

Akhirnya, Buya Hamka vol 1, dengan durasi 1 jam 46 menit, kami nikmati dengan 'khusyuk'. Tadinya saya kurang berekspektasi bahwa anak-anak saya: Anis (18 tahun), Rama (16 tahun), Hanifan (12 tahun) dan Fatihan (7 tahun), bisa seenjoy saya dan suami saat menikmati film tersebut. Saya dan suami memang lebih menyukai film-film yang tenang, detil, dan mengeksplorasi karakter tokoh dengan baik. 

Berbeda dengan anak-anak yang lebih senang film dengan alur cepat, plot ngetwist, dan sebagainya. Buya Hamka bukan film dengan alur semacam itu, juga bukan film humor yang bikin perut "mules" karena tertawa sebagaimana film-film Falcon lainnya (Buya Hamka merupakan kerja sama antara MUI, Falcon dan Starvision), alih-alih film penuh ketegangan sebagaimana film horor atau thriller

Tetapi, tak disangka, bocah-bocah milenial itu ternyata ... SANGAT SUKA! Bahkan Fatihan pun, si bocil yang baru kelas 1 SD, bisa menyimak film tersebut dengan tenang. Sering nyeletuk juga, apalagi saat adegan-adegan yang pernah dia lihat di buku-buku atau video-video dokumentasi sejarah. Ke-4 anak saya semua suka sejarah, tetapi Fatihan yang paling menonjol. Saat adegan Buya Hamka bersama gubernur Nakashima di ruang gubernur di Medan misalnya, Fatihan berbisik sambil menunjuk foto yang tergantung di dinding ruangan, "Ummi, itu foto Tenno Haika, Kaisar Hirohito!"

* * *

Pada tahun 70-an hingga 80-an, ada satu kredo yang terkenal di kalangan anak muda, yaitu "pesta, buku, dan cinta." Tiga kata kunci: pesta, buku, dan cinta, merujuk pada standard remaja gaul tahun-tahun tersebut. Berpesta menunjukkan kegiatan bersenang-senang, dansa-dansi, kongkow bareng dan sebagainya; "buku" menyiratkan kehidupan yang ilmiah dan kecerdasan; dan "cinta" ... ya bisa dipahami sendiri kan, maksudnya. Usia-usia masa muda adalah usia penuh gelora cinta, dan biasanya dipenuhi dengan kisah-kisah indah penuh kenangan. 

Di tulisan ini, saya meminjam kredo tersebut, dengan mengubah kata "pesta" menjadi "dakwah", sehingga kalimatnya adalah: "dakwah, buku dan cinta." Tiga kata tersebut sangat cocok untuk membedah film Buya Hamka volume pertama yang sedang tayang di layar lebar bioskop-bioskop Indonesia pasca lebaran 2023. Tentunya dengan berbagai penyesuaian yang membuat berbeda dengan tren dunia remaja tahun 70-an, sebab kisah hidup Buya Hamka yang sangat inspiratif memang memiliki kekhasan tersendiri dan sangat layak menjadi panutan generasi muda sepanjang masa.

Film Buya Hamka, sebagaimana judulnya, merupakan film biopik dari Hamka, atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau adalah pahlawan nasional sekaligus ulama besar, sastrawan dan politisi serta pernah menjadi wartawan. Saat perang kemerdekaan, Buya Hamka ikut terlibat memimpin perang gerilya melawan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia setelah Sekutu berhasil mengalahkan Jepang. Beliau juga seorang tokoh Muhammadiyah. Ketika Majelis Ulama Indonesia didirikan pada tahun 1975, Hamka terpilih sebagai ketua MUI pertama, hingga tahun 1981, beberapa saat sebelum beliau wafat. 

Bagi saya, Hamka bukan sosok asing. Sejak bocah, saya sudah membaca buku-buku beliau. Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wick saya baca saat masih SD, dan sukses membuat saya berlinangan air mata, meski saat itu saya belum paham cerita-cerita romantis. Bahkan, hari ulang tahun Hamka cuma berjarak sehari dengan saya, hehe.... beliau lahir 17 Februari 1908, dan saya 18 Februari ... tapi 71 tahun kemudian, alias tahun 1979, wkkk. Beliau seorang penulis, sempat menjadi pimred beberapa media, saya juga, meski tentu tidak secemerlang beliau. Jadi, ketika membaca biografi dan menonton film Buya Hamka, saya seperti melihat potret diri saya. Bagaimana saat sedang sibuk deadline, bagaimana saat ide tulisan datang, dan sebagainya. Bedanya, mungkin, Hamka saat asyik menulis, tak ada yang mengganggu, kalau saya, selalu saja bocil-bocil berkerumun, namanya juga emak-emak.

* * *

Dakwah

Kembali ke kalimat "dakwah, buku dan cinta." Memang kesan saya saat menonton film tersebut adalah tiga kata itu. Dakwah merupakan jalan hidup yang dipilih oleh Buya Hamka (diperankan Vino G Bastian), dan jalan dakwah itu didukung penuh oleh istrinya, Siti Raham (diperankan dengan sangat manis dan apik oleh si cantik Laudya Cynthia Bella). Ketika dakwah merupakan visi utama dari hidup, bahkan menjadi way of life, semua akan minggir, semua akan menjadi kurang penting, namun ajaibnya, kesulitan-kesulitan hidup pun seperti menyingkir dengan sendirinya.

Support Siti Raham tentu memainkan peranan penting. Perempuan Minang itu bahkan tak sekadar memberikan support, tetapi terlibat aktif, meski di belakang layar. Di balik laki-laki hebat, selalu ada istri yang tak kalah hebat, adagium itu sangat saya yakini, meski kadang terjadi sebaliknya juga: di balik perempuan cemerlang, ada suami yang sangat mendukung peran sang istri. Siapa lebih dikenal dan siapa yang di belakang layar, menurut hemat saya bukan lagi soal laki-laki atau perempuan, tetapi mana yang aktivitasnya lebih banyak berurusan dengan publik, gitu kan?

Keterlibatan Siti Raham dalam dakwah pastilah berawal juga dari visi dakwah yang dia miliki. Raham memang tidak berpendidikan tinggi. Beliau belajar agama dari madrasah diniyah, dan tentunya dari keluarnya, sebab Raham juga berasal dari keluarga yang taat beragama. Ketika dalam film Buya Hamka Raham banyak memberikan pertimbangan-pertimbangan penting yang ternyata diambil Hamka sebagai keputusan, pada kenyataannya memang begitu. Raham yang berkepribadian halus, lembut, shalihah, ternyata juga memiliki kecerdasan otak dan kebijaksanaan yang kuat.

Salah satu adegan dalam film Buya Hamka adalah ketika Raham tanpa sengaja menemukan sepucuk surat di laci meja Hamka, berisi surat permintaan agar Hamka mau menjadi Pemimpin Redaksi koran Pedoman Masyarakat yang pusatnya berada di Medan. Dengan heran Raham mempertanyakan, mengapa Hamka tidak menanggapi surat tersebut. Jawab Hamka, Pedoman Masyarakat baru seumur jagung. Hamka cemas jika tidak bisa memenuhi kebutuhan nafkah untuk keluarganya. Saat itu, Hamka sekeluarga tinggal di Makassar, Hamka (saat di Makassar nama Hamka belum dipakai, masih dipanggil dengan panggilan "Malik") mendirikan dan mengelola Tabligh School. Sepertinya, kondisi ekonomi Hamka atau Malik saat itu cukup baik.

Namun bukannya khawatir, Raham justru mendukung penuh suaminya untuk mengambil tawaran menjadi pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat. Agar tidak terlalu berat menopang keluarga, Raham mengusulkan agar Raham dan anak-anaknya kembali ke Padang Panjang, menempati rumah warisan keluarga besar Raham.

Malik pun terlecut semangatnya. Dia mantap meninggalkan Makassar dan berkapal sekeluarga menuju Sumatera. Raham dan anak-anak tinggal di Padang Panjang, sementara Malik menetap di Medan, di kantor Pedoman Masyarakat. Keputusan untuk LDR (long distance relationship) demi dakwah, diuji dengan begitu dramatis. Saat Hamka masih di Medan, di Padangpanjang, Raham mendampingi putra mereka, Hisyam yang sakit parah dan mengempuskan napas terakhir. Hamka mendapat kabar melalui telegram. Kru Pedoman Masyarakat sudah mencarikan delman untuk membawa Hamka pergi malam itu juga ke Padangpanjang. Akan tetapi, Hamka menolak, dengan alasan bahwa dia harus mengecek layout koran Pedoman Masyarakat dan memonitor percetakan. 

Egois? Tentu tidak. Pedoman Masyarakat adalah koran yang sangat dinanti-nantikan pembaca. Posisi Hamka sangat sentral dan dominan dalam penerbitkan koran tersebut. Sementara, jarak Medan ke Padangpanjang adalah 688 kilometer. Menggunakan delman, kira-kira butuh waktu berapa lama? Paling tidak mungkin sekitar 3-4 hari. Jika Hamka pergi malam itu juga, dia juga tidak akan mendapati jenazah Hisyam. Maka, dengan hati remuk redam, Hamka menunda kepulangan ke Padangpanjang hingga urusan di Pedoman Masyarakat selesai dan bisa didelegasikan ke kru yang lain.

Ternyata, Raham pun menerima kondisi tersebut. Terbayang kan, jika Siti Raham tidak memahami kondisi tersebut, pasti dia akan sangat marah, memaki-maki, minimal menangis sedih dan menganggap suaminya sangat egois. Poin ini membuat saya seperti dipecut. Kadang, untuk urusan sepele saja, saya merasa baper jika suami saya tampak sibuk dengan profesinya.

Mereka berdua benar-benar memiliki visi dakwah yang sangat kuat, dan totalitas menjalankan misi tersebut. Profesi bagi mereka adalah jalan dakwah itu sendiri. Semangat membesarkan Pedoman Masyarakat adalah semangat dakwah bil qolam. Materi bukan tujuan utama.

* * *

Buku

Tangan dingin Buya Hamka membuat Pedoman Masyarakat melejit. Oplahnya naik hampir 10x lipat, mencapai 5000 eksemplar. Angka yang menurut saya cukup besar untuk tahun tersebut. Pada masa itu, Pedoman Masyarakat merupakan media yang dikelola pribumi yang cukup terkenal dan memberikan pengaruh besar terhadap dakwah keislaman, literasi dan kesadaran pentingnya kemerdekaan. Roman "Tenggelamnya Kapal van Der Wijck" merupakan roman yang dimuat bersambung di media tersebut. Dari Pedoman Masyarakat ini pula, nama pena Hamka mulai dipakai. Kelahiran Pedoman Masyarakat juga mendapat respon positif dari pada tokoh pergerakan nasional di Jawa.

Tenggelamnya Kapal van Der Wijck (TKvDW) merupakan roman yang mendapatkan sambutan luas dari masyarakat. Dalam Film Buya Hamka, dikisahkan Siti Raham sedang berjalan-jalan dan melihat kaum perempuan membaca roman tersebut sambil menangis terisak-isak. Setelah sukses terbit di Pedoman Masyarakat, TKvDW dicetak menjadi buku, dan terus dicetak hingga sekarang. 

Kepenulisan Hamka sangat terlihat di film Buya Hamka vol 1. Pada film tersebut, entah berapa kali adegan Hamka menulis di malam hari, dengan mesin ketiknya, dan kejadian yang sama terulang. Raham datang, membawa secangkir kopi. Kadang kehadiran Raham memicu diskusi ringan, namun penuh makna. Kadang, saat Hamka sangat sibuk dengan tulisannya, kehadiran Raham bahkan tidak disadarinya. Pernah juga ketika Hamka tidak juga pergi ke kantor, Raham menegurnya dengan halus, mengapa masih di depan mesin ketik? Hamka dengan malu menjawab, khawatir ide-ide di kepalanya hilang.

Saat mendengar jawaban Hamka, saya mencolek lengan suami saya, "Nah kan, Mas ... rata-rata penulis memang begitu, kalau ide sedang muncul, lupa segalanya." Suami saya tertawa. Beliau memang sering meledek saya, karena beberapa tidak merespon saat diajak bicara, karena saat itu di kepala saya sedang muncul banyak ide. Hehehe ....

Buya Hamka memang seorang penulis produktif. Sepulang dari ibadah haji ke Mekah, Hamka tidak kembali ke Padangpanjang, namun menetap di Medan. Di sana dia mulai mengirim karya-karyanya di berbagai media, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Suara Muhammadiyah, Bintang Islam dan sebagainya. Ketika melihat kehidupan para kuli yang sangat menyedihkan, Hamka menulis roman "Merantau Ke Deli." Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah roman "Si Sabariah", "Laila Majnun" (menulis ulang dengan ditambah imajinasinya, diterbitkan Balai Pustaka), Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan sebagainya. Banyak juga karya-karya non fiksi tentang keislaman dan tafsir, termasuk Tafsir Al-Azhar yang beliau tulis di dalam penjara.

* * *

Cinta

Saat menikahi Siti Raham, usia Buya Hamka 21 tahun, sementara Raham 16 tahun. Masih sangat muda ya? Jarak usia yang jauh, mungkin yang membuat Raham terlihat begitu hormat kepada suami yang dipanggilnya "Engku" itu. Engku adalah sebuah sapaan terhadap orang yang dianggap mulia, dihormati, dan disegani, seperti guru, keluarga raja, ulama, atau para sesepuh. Meski 5 tahun lebih tua, Hamka tidak terlihat superior, malah Hamka sering mengambil pertimbangan-pertimbangan dari Raham sebagai bahan pengambilan keputusan dalam hidupnya. 

Cinta Hamka dan Raham sungguh cinta yang idealis. Mereka benar-benar memahami bahwa pernikahan dan cinta mereka atas dasar visi dakwah yang sangat kuat. Mereka saling mencintai karena Allah SWT. Mereka saling menyadari peran masing-masing. Hamka adalah seorang pejuang yang terus pergi untuk urusan masyarakat luas, urusan umat, sedangkan Raham adalah "penjaga markas" yang tak sekadar mempersiapkan amunisi, tetapi juga mengkader anak-anak mereka. 

Saya meyakini, bahwa kehidupan mereka yang sejati, tidak seromantis yang digambarkan di film, karena namanya film pasti ada dramatisasi, kan? Tetapi saya yakin, bahwa Buya Hamka memang seorang pria yang lembut, kebapakan, sangat sayang dengan keluarga, bertanggung jawab dan telaten serta cekatan, kalau istilah sekarang 'sat-set das-des' begitulah. Sementara, Siti Raham adalah sosok yang penyabar, halus, peka, tetapi sekaligus kokoh, mandiri, dan tidak cengeng. Keduanya jelas cerdas, rajin beribadah, dan tampaknya memiliki tingkat pengendalian diri dan kecerdasan emosi yang unggul pula. Mereka sudah matang secara psikologis, memiliki kesejahteraan psikologis, tingkat psycological well-being mereka jelas sangat tinggi. Pola interaksi mereka sangat penting diketahui publik, untuk menginspirasi pasangan-pasangan suami istri yang sedang menempuh bahtera rumah tangga.

* * *

Plus dan Minus

"Berapa rating film ini, Mbak?" tanya seorang teman kepada saya. Saya menjawab, "8,5 dari 10." Angka 8,5 ini termasuk tinggi, karena saya bukan orang yang senang obral rating, kecuali kalau memang bagus.

Keunggulan film ini, kalau menurut saya ada pada beberapa hal. Hal yang paling menonjol tentu adalah akting pemain. Saya lebih menjagokan pemeran Siti Raham, Laudya Cynthia Bella, dibandingkan Vino G. Bastian yang mememerankan sosok Buya Hamka. Bukan berarti akting Vino tidak bagus, tapi Bella menurut saya unggul. Bella selalu totalitas dalam memerankan karakter di film-filmnya, dan ini tentu membuat para penonton terpikat. Berkali-kali Bella meraih nominasi sebagai pemeran utama atau pembantu wanita terbaik, dan dari sekian nominasi, dia memenangkan sekitar selusin penghargaan. Akting Bella yang paling top, selain di Buya Hamka, menurut saya di film Surga yang tak Dirindukan. 

Pada Buya Hamka, chemistry antara Bella dengan Vino di film ini tampak sangat kuat. Sehingga penonton benar-benar bisa membayangkan bagaimana sosok Buya Hamka dan Siti Raham sejatinya. Tak hanya Vino dan Bella, hampir semua pemeran film Buya Hamka tampak totalitas menjalannya perannya. 

Sinematografi, kualitas gambar, make up, musik, kostum, juga semua di atas rata-rata, cukup detil dan mampu menggambarkan kondisi tahun 1930-an hingga 1940-an. Make up Vino dan Bella saat memerankan Buya Hamka dan Raham di tahun 1960an juga sangat bagus dan halus. Toplah! Kualitas audio juga menurut saya bagus, cuma disayangkan, tidak ada lagu yang menjadi soundtrack film ini. Padahal, sekelas Purwacaraka pasti bisa mengaransemen lagu yang bisa membantu film ini menjadi viral.

Hal yang menurut saya agak membingungkan adalah jalan cerita film ini. Bagi yang pernah membaca biografi Buya Hamka, mungkin bisa mengikuti, tetapi yang sama sekali baru mengenal sosok beliau, loncatan-loncatan plotnya benar-benar tak terlalu mulus. Sebenarnya jika dibikin runtut, dimulai dari masa kecil Hamka, saat merantau ke Jawa, lalu berangkat haji dan seterusnya, sepertinya tidak mengurangi kualitas film ini, bahkan membantu penonton untuk lebih memahami alur cerita.

Kehati-hatian produser juga tampak terlihat, khususnya saat adegan-adegan yang memicu kontroversial. Sangat bisa dimaklumi, Buya Hamka, sebagai sosok besar, memang juga memiliki banyak kontroversi yang bisa menjadi perdebatan panjang jika diungkap terlalu mendalam dalam film ini.

Ah, menulis review film ini, sungguh tak akan bisa berhenti, saking banyaknya yang harus ditulis. Lepas dari itu semua, saya sangat respek terhadap film ini, dan berharap film ini ditonton oleh lebih banyak masyarakat Indonesia. 

3 komentar untuk "Film Buya Hamka: Dakwah, Buku, dan Cinta"

Comment Author Avatar
Wah, apa sajakah hal-hal kontroversial itu? Hmm....
Comment Author Avatar
Hehe... nanti saya tuliskan aja tersendiri insyaAllah

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!