Widget HTML #1

Ekspedisi Pendakian Lawu 3265 mdpl, Perjalanan Penuh Kenangan #1

Pemandangan Lawu dari sekitar Pos 1 (koleksi pribadi)

Setiap hari, ketika saya membuka jendela di rumah kami di lantai 2, gunung Lawu terlihat menjulang begitu gagah di sebelah timur. Saat pagi hari, pemandangan gunung tampak begitu jelas, dengan semburat cahaya fajar berwarna jingga, tampak begitu indah. 

Gunung Lawu tentu bukan tempat yang asing bagi saya yang telah menetap sejak tahun 2001 di kota Solo. Bahkan, suami saya lebih lama lagi, karena tahun 1995, beliau telah merantau ke kota Solo untuk menempuh studinya di FK UNS. Paling tidak, 2 atau 3 bulan sekali, kami akan piknik di sana, karena lokasinya memang tak terlalu jauh dari Solo. Tawangmangu tetaplah lokasi favorit bagi keluarga kami, meski saat ini sudah banyak destinasi baru di daerah Kemuning, Ngargoyoso. Dengan menggunakan mobil, perjalanan sekitar 40 km ditempuh sekitar 1 hingga 2 jam, kalau lancar.

Meski Lereng Lawu sangatlah akrab bagi saya, akan tetapi, jujur saja, untuk sampai di Puncak Lawu, sungguh satu hal yang tak pernah saya bayangkan. Dahulu, saat masih kecil hingga remaja, saya memang senang menjelajahi alam. Sejak SD, saya biasa trekking di pegunungan. Maklum saja, saya memang “wong nggunung.” Saya lahir di kaki Gunung Slamet, di derah Purbalingga. Kampung saya “dikepung” bukit-bukit yang sangat menantang untuk dijelajahi.

Pengalaman mendaki gunung baru saya mulai tahun 2000, saat bersama teman-teman mendaki Gunung Ungaran. Saya juga mendaki beberapa bukit-bukit dan gunung-gunung kecil lainnya. Setelah menikah dan punya anak, aktivitas pecinta alam saya tinggalkan.
 
Sampai sekitar 2 tahun silam, pada 1 Juni 2022, suami saya, Mas Ahmad mengajak saya mendaki Gunung Mongkrang (2194 mdpl). Berlanjut 2 bulan kemudian, tanggal 7 Agustus 2022 saya diajak kembali mendaki ke Gunung Andong (1.726 mdpl). Kedua gunung ini saya tempuh dengan tiktok, dengan jarak perjalanan yang tak terlalu lama. Meski tingginya tak mencapai 3000an, cukup ngos-ngosan juga untuk mencapai puncak. Bagaimanapun, saat ini saya sudah berusia 40-an, tentu sangat berbeda dengan zaman ketika muda dahulu. 

Saya memang senang berjalan jauh, kuat jalan berkilo-kilometer, bahkan saat Puncak Ibadah Haji di Mekah dahulu, pernah berjalan kaki lebih dari 20 km dalam sehari. Namun, itu di medan datar. Untuk jalan menanjak, napas saya ngos-ngosan dan detak jantung saya akan berubah sangat kencang. Itu yang saya rasakan saat mencoba mendaki Mongkrang dan Andong.

Lalu, bagaimana dengan Lawu? Yang tingginya 3.265 mdpl?

Mendaki gunung, seringkali bukan hanya soal kemampuan fisik, tapi soal motivasi, soal semangat, soal rasa percaya diri. Jadi faktor-faktor psikologis sangat penting bagi seorang pendaki gunung. Nanti saya akan bicarakan secara khusus di bagian-bagian akhir.

Persiapan Mendaki Lawu

Jalur antara pos 1 dan pos 2 Cemoro Sewu (koleksi pribadi)

Pada tanggal 6 Agustus 2023, saya sempat uji coba jalur pendakian Lawu melalui Cemoro Sewu. Saat itu, saya bersama suami, kakak saya—Budhe Atik, anak pertama saya—Anis, dan si bungsu Fatihan. Ini kali kedua Fatihan berpetualang ke alam semesta dengan berjalan kaki. Pertama, saat saya ajak berjalan kaki sekitar 2 km ke obyek pariwisata yang masih sangat alami di Patrawisa, Purbalingga, sekitar setahun silam. Saat itu, kami memilih trekking jalur pendakian Lawu melalui Cemoro Sewu. Targetnya saat itu tidak macam-macam, sekuatnya saja. Ternyata, lewat deh pos 1. Padahal jaraknya lumayan jauh, dan menanjak pula, namanya juga mendaki gunung. Di pos 1, Fatihan beristirahat ditemani Anis. Saya lanjut naik, bersama kakak saya, Bude Atik yang luar biasa, karena usianya sudah 56 tahun. Meski sudah hampir 60 tahun, Bude Atik kuat sampai naik ke bukit pertama, di jalur antara pos 1 dan pos 2. Namun, karena tidak ada persiapan dan juga timing-nya nggak pas, sampai puncak bukit pertama di jalur antara pos 1 dan 2, kami memutuskan untuk turun.

Bersama Fatihan di Bambangan, jalur pendakian Gunung Slamet (koleksi pribadi)
 
Seminggu setelah kejadian itu, tepatnya pada 14 Agustus, saya dan suami pergi ke Purbalingga, dan sempat survey ke jalur pendakian gunung Slamet. Namun, lagi-lagi hanya survey. Tak terbetik di benak saya sedikitpun bahwa saya akan mendaki gunung yang tingginya di atas 3000 mdpl.

Namun, seminggu kemudian, Mas Ahmad mendadak berkata, “Ayo Mi, kita mendaki Lawu!”
Awalnya, saya hanya menanggapi dengan guyonan. Ketika saya mengucap, “Ayo!” juga terus terang saya belum terlalu serius. Tetapi, suami ternyata menganggap jawaban saya itu sangat serius. Diam-diam, beliau mempersiapkan perlengkapan mendaki jauh-jauh hari, sementara saya masih santai-santai saja. Suami saya memang orangnya sangat rapi dalam segala urusan, detail, dan cermat, tak seperti saya yang sering spontan dan agak berantakan, hehe (pengakuan).

Tak saya sangka, semua perlengkapan telah lengkap. Sepatu trekking, sleeping bag, tenda flysheet, tongkat trekking pole, jas hujan, jaket, sarung tangan, tas carrier, senter dan headlamp, matras, hingga alat masak: nesting, kompor kecil dan gas. Sebagian memang sudah kami miliki, karena sebelum itu, kami sekeluarga sangat menyukai aktivitas outdoor, meski bukan mendaki gunung.

Lantas, beberapa hari kemudian di pertengahan Agustus, Mas Ahmad memberi saya tanggal fix pendakian. “Umi, tanggal 9-10 September, kita jadi naik Lawu ya?”

Ops! Saya terus terang kaget. Oh, serius juga ternyata. “Jadi beneran nih mau ke Lawu? Siapa aja, Bi?”
“Ada teman-teman dari BSMI yang insyaAllah mau gabung.” Mas Ahmad menyebut beberapa nama. Mereka adalah anak buah Mas Ahmad saat masih memimpin klinik BSMI Prambanan. Ada Mas Rudin, Mas Prie, dan Mas Ujang. Awalnya Mbak Rina juga ingin ikut. Saya sudah senang, karena ada teman sesama perempuan. Ternyata Mbak Rina berhalangan ikut karena ada acara di Jakarta.

Awalnya saya mencoba ngeles. Tetapi akhirnya saya menyanggupi untuk ikutan ekspedisi mendaki Lawu.

Setelah ditentukan tanggal, diam-diam saya merasa ketar-ketir juga, khawatir tidak kuat saat mendaki. Maka, saya pun mulai merancang jadwal latihan fisik. Saya pun bersama suami berlatih fisik dengan jogging memutari stadion Manahan sekitar 1 jam, dua hari sekali. Saya juga senam erobik, latihan angkat beban, treadmill, sit up, dan sebagainya. Pokoknya fisik kudu bugar!

Awalnya, saya cukup tertib olahraga. Sehari paling tidak satu jam berlatih kebugaran. Tapi, jelang tanggal pendakian, aktivitas saya justru makin tinggi, dan malah keluar kota, dan sempat kurang enak badan, hehe.

Jelang tanggal 9 September, saya malah merasa mules dan tegang. “Halah, itu kamu cemas aja, relaks dong!” kata suami.

Ya terus terang saya memang agak nervous. Bayangkan, menaiki Mongkrang dan Andong saja saya ngos-ngosan. Ini … ini Lawu!

Pendaki Cilik

Bersama Najmuddin menjelang Summit Lawu (koleksi pribadi)

Akhirnya, tanggal 9 September 2023 pun tiba. Pagi hari, kami telah berkemas dan bersiap-siap menuju Lawu. Saya pamitan kepada Bude Atik, Mbak Anis dan si kecil Fatihan. Dua anak cowok saya sedang mondok di PPTQ Ibnu Abbas, jadi memang tak ada di rumah. 

“Hati-hati, ya Ummi!” ujar Fatihan.
Take care, Mom!” kata Anis. Sebenarnya si sulung ini juga minat ikut, apa daya dia baru saja masuk kuliah dan banyak sekali kegiatan di kampus.

Dari rumah, saya dan suami meluncur menggunakan Captiva merah menuju Stasiun Balapan, menjemput Mas Rudin yang berangkat dari Yogya menggunakan KRL. Tak dinyana, Mas Rudin membawa putranya yang masih kecil, Najmuddin. Usianya sebentar lagi 8 tahun, hampir sebaya Fatihan. Tetapi fisiknya memang tinggi dan tampak kuat. Najmu ternyata sudah berkali-kali mendaki gunung, dan terakhir baru mendaki Gunung Sumbing yang tingginya 3.371 mdpl, melebihi ketinggian Gunung Lawu 3265 mdpl!

Melihat Najmu, semangat saya naik sampai ubun-ubun. Masak saya yang emak-emak harus kalah dengan pendaki cilik? Aduh, jangan dong!

Dari Stasiun Balapan, kami meluncur ke arah Gunung Lawu di Tawangmangu, dan sebelumnya menjemput Mas Prie dan Mas Ujang di karanganyar. Tim kami, 6 orang: 4 lelaki dewasa, 1 emak-emak, dan 1 bocah 8 tahun, siap berangkat mendaki Lawu 3265 mdpl.

BERSAMBUNG KE BAGIAN DUA.

Posting Komentar untuk "Ekspedisi Pendakian Lawu 3265 mdpl, Perjalanan Penuh Kenangan #1"