Widget HTML #1

Kenangan Bersama Dokter Mueen Al-Shurafa, Dokter Syahid di Gaza



Senin malam, ketika saya sedang mulai bersiap untuk tertidur, tiba-tiba suami saya mengucapkan kalimat yang mengagetkan. "Innalillahi, Dokter Mueen meninggal." Saya tersentak. "Dokter Mueen Al-Shurafa?" Suami saya mengangguk. "Beliau dibom Israel. Rumahnya dibom. Tapi tunggu, Mi ... ini masih mencoba mencari info yang confirmed."

Beberapa saat kemudian, beliau mencoba menanyakan kepada jejaring teman-teman di Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), saya juga mencoba mencari informasi dari berbagai sumber yang memiliki akses langsung ke Gaza. Belum ada info yang benar-benar meyakinkan.

Tetapi, malam itu, saya tak mampu memejamkan mata. Rumahnya dibom. Dokter Mueen memiliki putera-puteri yang masih kecil-kecil. Ada Ayazzaina, Zayeed, Manal, dan si bungsu yang pernah dikhitan oleh suami saya tahun 2018. Wajah-wajah mereka terbayang-bayang di benak saya. Saya benar-benar gelisah. Rumah beliau dibom Israel. DIBOM! Bagaimana nasib anak-anak malang itu?

Sebulan terakhir, setelah peristiwa Tufan Al-Aqsa, memang saya sering tak mampu tidur lelap. Saat terlelap pun, berkali-kali saya mimpi berada di Gaza. Suatu malam, saya pernah bermimpi bersama anak-anak Gaza. Mereka bermain, tertawa, namun saya justru menangis membersamai mereka. Sebelum ini, saya pernah mendapat tawaran menjadi relawan di Gaza ... sampai saat ini saya belum menyanggupi. Karena memang banyak keterbatasan yang membuat saya belum bisa hadir di sana.

Paginya, informasi menjadi lebih klir. Benar, pada tanggal 5 November 2023, Dr. Mueen Al-Shurafa wafat karena pengeboman Israel. Beliau syahid. Allahu akbar! Namun, saya merasa sedikit lega. Info dari dr. Prita Kusumaningsih, SpOG, senior dan salah satu pendiri BSMI lewat chat WA yang dikirim ke saya: keluarga Dokter Mueen selamat. Kata Dokter Prita, begitu pecah Perang Palestina melawan penjajah Israel, keluarga Dokter Mueen diungsikan ke Rafah, saat gerbang perbatasan dibuka. Hal yang sangat wajar. Dokter Mueen seorang spesialis anestesi. Dalam kondisi perang, korban terluka sangat banyak, beliau akan sangat sibuk.

Benar, sebulan lebih beliau terus berjibaku di rumah sakit tempat beliau bertugas. Sebulan lebih beliau tidak kontak dengan keluarga. Beberapa hari sebelum wafatnya, beliau sempat berkirim Voice Note. Bercerita dengan suara bergetar tentang kondisi di Gaza. Satu menit beliau menangani 10 pasien. Banyak mayat tanpa kepala. Banyak tubuh tanpa esktremitas (tangan atau kaki). Operasi dilakukan di lorong-lorong, karena pasien membeludak.

Selamat jalan, dr. Mueen al Shurafa ....

Kami memiliki beberapa kenangan manis bersama beliau dan keluarga. Beliau datang ke Indonesia karena mendapatkan beasiswa dari BSMI untuk melanjutkan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), beliau mengambil spesialisasi anestesi di UNS. Karena suami saya merupakan salah satu pegiat BSMI di Solo, maka kami sering bertemu.

Saat beliau masih kuliah PPDS di Solo, beberapa kali kami melewatkan waktu bersama. Saling mengunjungi, saling silaturahmi. Beliau dan keluarga mengunjungi rumah kami, kami pun mengunjungi rumah beliau, rumah yang dipinjamkan oleh dr. Purwoko, Sp.An (seorang dokter speasialis anestesi senior di Solo, sekaligus dosen beliau di UNS) kepada beliau. Dokter Purwoko memang sangat totalitas dalam membantu beliau sekeluarga. Tak hanya bantuan saat kuliah, tetapi juga bantuan-bantuan lainnya, termasuk tempat tinggal. Subhanallah! Semoga Allah SWT melimpahkan pahala berlimpah kepada Dokter Purwoko sekeluarga, juga kepada para pengurus BSMI, dan juga UNS dan seluruh pihak yang telah mengupayakan banyak kebaikan untuk beliau, dan tentu untuk Palestina. Sebab, ilmu yang beliau dapatkan, ternyata sangat bermanfaat untuk warga Palestina, khususnya Gaza.

Awal bertemu, beliau belum terlalu lancar berbahasa Indonesia. Saat kami ajak makan siang di sebuah restoran di Solo, beliau salah memilih menu: es kelapa muda, menjadi es kepala muda. Anak-anak saya tertawa saat itu.

Saya bersama Manal, puteri beliau

Anak-anak kami saling mengenal. Anak bungsu saya, Fatihan, pernah bermain akrab dengan Manal, puteri beliau. Saat bertemu, Fatihan masih berusia sekitar 3 tahun. Manal yang lebih tua beberapa tahun memeluk Fatihan. Dan itu ternyata masih membekas di ingatan Fatihan. Zeyaad, putra beliau, hampir sebaya umurnya dengan Hanifan, anak ketiga saya. Mereka juga sempat bermain akrab.

Suatu hari, menjelang kepulangan beliau ke Gaza setelah menyelesaikan PPDS-nya, tahun 2018, kami sekeluarga berkunjung ke rumah beliau. Dokter Mueen dan istrinya sempat menyatakan kekhawatirannya. Anak-anak mereka sudah terbiasa di Indonesia yang nyaman, damai, listrik bisa 24 jam, air bersih lancar, fasilitas serba lengkap, bagaimana jika kembali ke Gaza yang sangat terbatas segala fasilitas? Gaza, penjara terbuka yang diblokade selama bertahun-tahun.

Saya sempat menawarkan, bagaimana jika sebagian anak-anak ditinggal di Indonesia saja? Kami siap mengasuhnya, insya Allah. Tetapi beliau dan istri tegas menolak. Mereka tak akan meninggalkan tanah airnya. Apapun yang terjadi. Sebab, mereka memiliki tugas berat: menjaga Al-Aqsha.

Saya terharu.

"Kami tunggu kalian di Gaza," kata beliau.

Sampai sekarang, kami belum bisa memenuhi permintaan beliau. Tapi, kalaupun suatu saat kami berkunjung ke Gaza, tentu sudah tak bisa bertemu. Beliau syahid kemarin, karena bom Israel membunuhnya. 

Sebulan penuh, sebagai dokter anestesi, beliau sibuk di rumah sakit, menangani pasien yang membeludak. Masih ingat bagaimana suara beliau bergetar saat mengirim pesan suara beberapa hari yang lalu ke kami, "it's very bad, banyak mayat tanpa kepala, tubuh tanpa ekstremitas ...." 

Saya bisa membayangkan, betapa lelah beliau. Lelah fisik, lelah psikis. Allah SWT telah mengistirahatkannya beliau, selamanya.

Mendadak hati ini menjadi gerimis. Namun, kemudian saya mencoba menyeka air mata ini.

"Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya, mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya. Mereka bergembira dengan karunia yang Allah anugerahkan kepadanya dan bergirang hati atas (keadaan) orang-orang yang berada di belakang yang belum menyusul mereka, yaitu bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah dan bahwa sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang mukmin." (Q.S. Ali Imran: 169-171)

Dokter Mueen, kau telah kembali ke haribaanNya, dengan kematian yang indah. Mati syahid. 

Posting Komentar untuk "Kenangan Bersama Dokter Mueen Al-Shurafa, Dokter Syahid di Gaza"