Widget HTML #1

Mengapa Memilih Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar?

Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar

Pada Pemilu kali ini, jujur saja, saya terlibat cukup intens dalam mengkampanyekan calon pilihan saya. Biasanya saya memang tidak terlalu terbuka dalam mengambil sikap politik. Salah satunya, saya ingin menjaga perasaan para pembaca saya yang memiliki basis dukungan yang berbeda-beda. Ya tetap mendukung sih, tapi biasa-biasa saja. 

Namun, berbeda dengan Pemilu tahun 2024 ini. Terus terang, saya sangat bersemangat mengajak siapapun untuk memilih AMIN, alias Anies - Imin, Capres dan Cawapres no. 1 di Pilpres 2024. Tidak khawatir kehilangan pembaca? Tidak! Sebab saya yakin, apa yang saya perjuangkan adalah sesuatu yang sesuai, sejakan dengan prinsip-prinsip hidup saya. Untuk apa saya menjadi penulis, jika untuk memihak pada satu gagasan yang sealur dengan tulisan-tulisan saya selama ini saja saya enggan?

Meski tak seterbuka sekarang, saya tidak pernah Golput. Saya mulai mengikuti Pemilu pada tahun 1997, saat masih di masa Orde Baru, saat itu saya kelas 3 SMA (ketahuan dong, umur saya, hehe). Saat itu, sebenarnya saya bersimpati dengan Mega Bintang, yaitu semacam "koalisi" antara Partai Demokrasi Indonesia (PDI, saat itu belum pakai 'P' menjadi PDIP), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan hampir saja memilih PPP. Namun, karena saya lahir di keluarga PNS, bapak dan kakak-kakak saya juga pengurus Golkar, terpaksa saya pun memilih si kuning itu, hehe. Pemilu di era Order Baru memang hanya diikuti oleh 2 partai politik (PPP dan PDI) dan 1 golongan karya (Golkar). Saya kurang tahu mengapa Golongan Karya (Golkar) tidak mau disebut sebagai partai politik.

Kontestan Pemilu di Era Orde Baru

Tahun 1999, saya sudah kuliah di tahun kedua di Fakultas MIPA (sekarang Fakultas Sains dan Matematika) Universitas Diponegoro. Saya banyak berkenalan dengan kakak-kakak kelas yang ternyata pegiat dakwah dan berafiliasi pada gerakan tarbiyah yang merupakan bidan dari terbentuknya Partai Keadilan. Saat itu, dengan sangat percaya diri, saya pun memilih Partai Keadilan (PK), yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ternyata, hingga sekarang, saya masih tetap mempercayakan saluran politik saya kepada PKS.

Saat itu belum ada Pilpres langsung. Baru di tahun 2004, pemilihan presiden secara langsung mulai diselenggarakan. Pada Pemilu 2004, di putaran pertama, saya memilih pasangan calon yang diusung PKS, yaitu Pak Wiranto dan K.H. Salahuddin Wahid, tapi ternyata calon saya tersebut gagal di putaran pertama, sehingga di putaran kedua saya memilih pasangan Pak SBY dan Yusuf Kalla. Di Pilpres 2009, saya memilih Pak SBY dan Pak Boediono. Lantas, pada Pilpres 2014 dan 2019, saya merupakan pemilih Pak Prabowo. Lalu, 2024? Saya insyaAllah mantap memilih AMIN, Pak Anies Baswedan dan Gus Muhaimin Iskandar.

Dalam masalah Pemilu, saya selalu berpandangan bahwa meskipun kondisi tidak seideal yang kita inginkan, kita tetap bisa memilih mana yang paling tepat, kok. Ketika calon-calon yang diajukan semua  dianggap memiliki kekurangan, saya akan mencoba memilih yang kekurangannya paling sedikit, sehingga mafsadat atau mudharat yang akan terjadi bisa diminimalisir. Jika semua calon yang berkontestasi ternyata memiliki banyak prestasi dan kelebihan, tentu saya akan memilih yang paling menonjol kelebihannya, sehingga kemashlahatan yang akan timbul akan semakin besar.

Nah, seperti saya sebutkan di atas, meskipun saya tidak pernah Golput, selalu memilih, dan selalu berusaha mengkampanyekan pasangan saya, tetapi saya cenderung tidak ingin terlalu banyak terlibat dalam kontestasi pemilu sebelum ini. Berbeda dengan kali ini! Pada Pemilu 2024 ini, semangat saya untuk memperjuangkan pilihan saya mungkin berlipat dua atau tiga kali, bahkan lebih. Ya, terus terang, belum pernah saya mendukung Capres-Cawapres setotalitas dukungan terhadap AMIN.

Lalu, apa alasan saya mendukung AMIN dengan sangat totalitas? Ada beberapa alasan yang mungkin juga bisa menjadi pertimbangan Anda untuk memilih mereka, hehe. Eh, santai saja ya, dalam blog ini saya hanya ingin mengajukan gagasan dan ide-ide saya. Jika tidak bersepakat, boleh kok berbeda pendapat.

Kapasitas Pribadi: Bibit-Bobot-Bebet

Sebagai orang Jawa, saya juga menganut filosofi Bibit-Bobot-Bebet dalam memilih sesuatu. Bibit berarti garis keturunan atau nasab, bebet adalah kondisi atau status sosial ekonomi, dan bobot adalah karakter pribadi juga pendidikan seseorang. Ketiganya merupakan tolok ukur kelayakan seseorang untuk dipilih atau diunggulkan dalam perkara-perkara tertentu, termasuk tentunya dalam memilih calon pemimpin.

Bibit (Nasab)

Kedua pasangan ini, memiliki latar belakang keluarga yang sangat jelas dan bukan 'kaleng-kaleng'. Anies Rasyid Baswedan, lahir di Kuningan, Jawa Barat pada 7 Mei 1969 dari keluarga yang memiliki tradisi pendidikan sangat baik. Beliau menjalani masa kecil hingga besar di Yogyakarta. Ayahnya, Rasyid Baswedan, adalah seorang dosen di Universitas Islam Indonesia (UII), dan ibunya, Profesor Aliyah Rasyid, adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kakek beliau, Abdurrahman Baswedan, atau A.R. Baswedan, adalah seorang jurnalis, diplomat, pejuang, dan juga seorang pahlawan nasional Indonesia.

Cak Imin, atau Ahmad Muhaimin Iskandar, lahir di Jombang, 24 September 1966. Beliau lahir dari keluarga ulama NU, dan merupakan cicit dari K.H. Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, seorang pakar fikih, yang juga merupakan besan dari K.H. Hasyim Asy'ari. 

Bobot (Karakter dan Kepribadian)

Saya melihat kedua pasangan ini sangat ideal. Anies Baswedan, saat ini baru berusia 54 tahun, usia yang masih relatif muda, namun cukup matang untuk menjadi seorang kepala negara. Riwayat pendidikannya termasuk sangat bagus dan bikin cemburu siapa saja yang senang mencari ilmu. Beliau lulus S1 dari Universitas Gajah Mada, lalu mendapatkan beasiswa untuk meraih gelar master di Universitas Maryland, dan melanjutkan program doktoral di Northern Illinois University. 

Saat masih remaja, beliau pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri, lalu menjadi Ketua OSIS seluruh Indonesia pada tahun 1985, bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM pada 1992. Seabrek pengalaman organisasinya, baik saat SMA, kuliah, hingga dewasa, membuat beliau tumbuh sebagai sosok yang matang dan organisatoris andal. Salah satu gerakan sosial yang sempat banyak dibahas di berbagai kalangan, adalah gerakan Indonesia Mengajar, yang membuat Pak Anies menjadi terkenal di masyarakat Indonesia.

Cak Imin juga tak kalah hebat dari Pak Anies dalam masalah pendidikan. Beliau menyelesaikan S1 di Fisipol UGM, dan S2 di Ilmu  Komunikasi UI, lalu mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Unair pada 2017. Sama dengan Pak Anies, saat mahasiswa, Cak Imin juga aktif di organisasi ekstra kampus, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), juga di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). 

Jika Pak Anies sempat berkiprah sebagai dosen dan rektor di Universitas Paramadina, Cak Imin ternyata juga memiliki kiprah di dunia yang mirip, namun di dunia literasi. Sejumlah karya Cak Imin kebanyakan diterbitkan oleh LKiS. Foto di bawah ini merupakan karya-karya Cak Imin.

Baik secara umur, secara sosiologis maupun secara psikologis, kedua sosok ini telah matang dan siap untuk berkiprah di kancah kepemimpinan nasional, dan bahkan menembus dunia internasional. Lihatlah di acara-acara debat baik resmi maupun yang dari unsur masyarakat, mereka berdua tampak tenang, tertata, dan tidak mudah terpancing emosi. Mereka, terutama Pak Anies, mampu menyampaikan gagasan-gasasan briliannya dengan jelas, terstruktur, sistematis, mudah dipahami, namun tetap dengan diksi yang indah. Bahkan di acara roasting yang "sadis", mereka tampak tidak reaktif, dan bisa mengimbangi dengan tenang serta riang gembira.

Entah memang tidak ada atau saya yang tidak tahu, saya sangat jarang melihat pose atau video kedua orang ini dalam keadaan cemberut, marah atau bete. Selalu saja mereka tampak ramah, manis, dan full smile. Kok bisa sih, mereka setenang itu, ya? 

Bebet (Status Sosial dan Ekonomi)

Kedua sosos Capres-Cawapres ini tentu juga memiliki bebet yang baik. Pak Anies pernah menjadi rektor Universitas Paramadina, lalu Mendikbud, dan terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017-2022. Sedangkan Cak Imin merupakan seorang politisi yang ikut membesarkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan menjadi Ketua Umum PKB sejak 2005 hingga sekarang. Beliau juga pernah beberapa kali menjadi anggota DPR, MPR dan juga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2009-2014).

Kesamaan Visi 

Satu hal yang membuat saya makin "jatuh cinta" pada pasangan ini, tentu saja adalah kesamaan visi. Setiap mencerna kalimat-kalimat Pak Anies, saya selalu menyetujui, dan sebagian besar sama dengan visi hidup saya. Salah satunya adalah soal idealisme, kesetaraan, keadilan, dan masalah keseimbangan lingkungan. Jika Sobat telah membaca tulisan-tulisan saya, misal novel Tetralogi De Winst, Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman, Nun Pada Sebuah Cermin, Akik dan Penghimpun Senja, Kesturi dan Kepodang Kuning, atau novelet Oikos yang menjadi bonus di Novel Cinta Suci Adinda, tentu Anda bisa memahami betapa ide-ide yang ada pada novel-novel tersebut, ternyata tampak jelas di visi dan misi AMIN.

Tentu saya tetap memberikan sisa "ruang tak percaya" pada seorang politisi. Tetapi, hingga saat ini, saya belum bersimpang jalan dengan AMIN. 

Iklim Politik Yang Sehat

Selain kedua aspek tersebut di atas, saya juga sangat tertarik dengan berbagai model atau pola kampanye dan dinamika yang terjadi saat ini. Pasangan ini dan timsesnya benar-benar membuat saya terpana. Di tengah karut-marut dunia politik yang bising dan membosankan, kehadiran Paslon AMIN ini menawarkan kebaruan, kesegaran, dan terobosan-terobosan yang membuat politik menjadi asyik, menyenangkan dan menggairahkan.

Menurut saya, kemenangan Paslon ini akan memprediksi lahirnya sebuah iklim politik yang sehat, yang akan menaikkan grade bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang lebih matang, karismatik, dan dewasa. Beberapa kondisi ini menjadi alasannya:

✅ Kemenangan mereka akan membuat anak-anak muda menjadi yakin dan percaya diri untuk terus mengasah ide, gagasan, dan kemampuan  untuk menjadi leader yang tangguh--tanpa harus khawatir karena bukan anak pejabat. Baik Pak Anies maupun Cak Imin tidak besar karena privilege, tapi karena panjangnya investasi sosial dan politik yang mereka lakukan. Mereka adalah "buah yang matang di pohon". Meskipun mereka adalah keturunan orang-orang hebat, mereka tetap tumbuh dan berkembang karena usahanya sendiri. Saat ini, baik Pak Anies maupun Cak Imin rajin berkeliling seluruh Indonesia untuk memaparkan ide-ide dan gagasan mereka. Seringkali gagasan itu dikemas dalam acara yang cukup ekstrim, seperti Desak Anies dan Slepet Imin, yang memberikan ruang siapapun untuk berbicara, memberikan masukan, bahkan mengkritik pedas dengan leluasa.

✅ Kemenangan Paslon ini juga bisa menjadi bukti, bahwa Capres dan Cawapres yang "miskin" ternyata bisa terpilih meski anggaran kampanye sangat minim. Banyak orang takut masuk ke ranah politik, apalagi di level kepemimpinan nasional, karena biayanya akan sangat besar. Hal ini juga dirasakan oleh Paslon 01. Biaya kampanye yang minim membuat mereka tak mampu memasang baliho besar-besaran, beriklan dan membayar influencer, apalagi membayar survey. Uniknya, bantuan untuk Paslon 01 ini justru secara tulus mengalir deras dari para pendukungnya. Paslon 01 memang didukung oleh mayoritas kelas menengah, yang rela untuk menyumbang demi mendukung calonnya. 

✅ Kemenangan Paslon ini juga membuat siapapun merasa mendapatkan role mode yang tepat, bahwa telah terbuka luas kesempatan untuk tampil di panggung politik meski tak menggunakan atau tak memiliki akses kekuatan logistik dan jaringan kekuasaan. Ini merupakan sebuah harapan dan angin segar, bahwa kemenangan Daud (David) melawan raksasa Jalut (Goliat) ternyata bisa terjadi di masa kini.

✅ Yang sangat penting juga, kemenangan Paslon ini merupakan sebuah bukti, bahwa tak semua rakyat Indonesia pragmatis dan mau terjebak pada politik transaksional. Bahwa ternyata masih banyak rakyat Indonesia yang idealis dan mau digerakkan untuk memperbaiki kondisi bangsanya.

Kondisi Pengusung

Alasan lain yang juga cukup signifikan adalah, siapa parpol atau gerakan yang menjadi pengusung Paslon ini. Karena saya adalah simpatisan PKS sejak masih bernama PK, maka ini merupakan alasan yang paling kuat. Saya cenderung akan percaya dengan calon yang PKS usung, meskipun tidak selalu begitu. Pengalaman PKS konsisten menjadi oposisi sejak 2014 merupakan hal yang menarik menurut saya. PKS menimbang bahwa check and balance itu penting, sehingga oposisi itu diperlukan.

Lu itu nggak diajak koalisi? Mungkin ada yang berkilah demikian. Mau diajak atau mau tidak, yang jelas sejak 2014 hingga 2024, PKS konsisten menjalankan fungsi oposisi yang sebenarnya sangat baik untuk Indonesia. Bayangkan jika sebuah kendaraan hanya memiliki gas tetapi tak memiliki rem? Apa yang akan terjadi? 

Nyatanya, saat menjadi oposisi, PKS terus konsistens membela rakyat dengan melakukan sejumlah penolakan terhadap sederet RUU yang berpotensi besar merugikan masyarakat. Beberapa UU yang penetapannya ditolak oleh PKS di antaranya adalah UU tentang IKN, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan UU Cipta Kerja.

Selain PKS, beberapa pengusung lain, seperti Nasdem dan PKB, menurut saya membentuk sebuah komposisi yang ideal saat berkoaliasi. PKS menyasar kalangan Muslim moderat, PKB Muslim tradisional dan pesantren, dan Nasdem kalangan nasionalis, ditambah Partai Ummat yang mengambil sebagian massa Muhammadiyah. Koalisi ini relatif tak "berebut" lahan, sehingga justru saling melengkapi satu sama lain. 

Pada perkembangannya, ternyata Paslon AMIN tak hanya didukung Parpol pengusung, tetapi juga para relawan yang memiliki berbagai latar belakang, seperti aktivis, profesional, akademisi, bahkan juga kalangan Gen-Z penggemar K-Pop yang baru-baru ini tampak sangat aktif dengan gerakan Anies Bubble-nya.

Itulah beberapa alasan yang bukan asal-asalan. Semoga Anda pun "tergoda" untuk bergabung menjadi sejalan. Yuk, sama-sama menjadi bagian dari perubahan!

4 komentar untuk "Mengapa Memilih Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar?"

Comment Author Avatar
Saya juga mendukung Amin mbak... Bapak dan adik saya yg meski pendukung P3 tapi memilih untuk mendukung Amin.
Comment Author Avatar
Alhamdulillah, semoga semakin banyak yang dukung AMIN, dukung perubahan
Comment Author Avatar
Keren kak! Gapapa juga buat milih partai oposisinya biar ada kontrol juga jadi gak berkuasa penuh partai pendukungya
Comment Author Avatar
Yang paling berkesan untuk saya tuh terciptanya iklim politik yang sangat berbeda dari tahun sebelumnya. Kampanye AMIN seperti angin segar yang mudah-mudahan apa pun hasilnya tetap membawa perubahan bagi perpolitikan di Indonesia.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!