Widget HTML #1

Pengungsi Rohingya di Indonesia, Haruskah Ditolak?


Kemarin saya mencermati akun page Facebook saya, facebook.com/afifahafrapenulis yang jujur saja, jarang saya buka. Meski jarang dibuka, saya rutin posting, karena akun tersebut saya link-kan dengan Instagram saya. Baik Facebook maupun Instagram, saya sendiri kurang begitu aktif mengelola. Baru-baru ini, karena disenggol teman-teman di Twitter, saya mencoba memposting konten-konten tentang Rohingya, yang otomatis akan terposting juga di laman Facebook saya tersebut.

Saya cukup kaget melihat di halaman Facebook saya ternyata banyak komentar-komentar pedas yang protes dengan keberpihakan saya kepada pengungsi Rohingya. Lelah sebenarnya menjelaskan ... awalnya saya mau cuek saja, biarkan saja mereka dengan pilihannya. Toh, nanti semua orang akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama di dunia.

Saya lelah, setelah sebulan lebih diserbu ribuan akun di Twitter dan Instagram yang menganggap bahwa pengungsi Rohingya tak perlu ditolong. Bahwa kelakuan pengungsi Rohingya yang tidak bermoral, tidak beradab, udik, menyebalkan dan sebagainya, membuat mereka tak layak tinggal di Indonesia. Terlebih, kata mereka, Indonesia masih miskin, masih banyak pengangguran, dan sebagainya.

Tapi, saya akhirnya berpikir, kalau saya tidak menulis, dan mereka terbawa gelombang kebencian terhadap pengungsi Rohingya, lalu mereka terus dikipas-kipasi para penghasut dan pembuat hoax, apa yang harus saya ucapkan di akhirat kelak? Kemarin, teman saya, Nikmah, yang pegiat di Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Aceh Selatan, mengatakan kepada saya, bahwa 200-an pengungsi Rohingya baru-baru ini tenggelam di laut Andaman, karena kapal mereka karam. Rupanya, penolakan dari negara-negara di sekitar Laut Andaman telah membuat mereka akhirnya terkatung-katung di laut, dan tenggelam. Saya harus bicara pula di Facebook. Silakan unfollow saya jika Anda tidak setuju.

Tulisan ini melengkapi beberapa tulisan saya sebelumnya tentang Rohingya. Inilah beberapa poin yang barangkali bisa menjadi alasan, mengapa sebaiknya Indonesia tidak menolak dan mengusir mereka.

Status Mereka Pengungsi, Bukan Imigran Gelap
Sebagian masyarakat Indonesia, termasuk beberapa pejabat, bahkan juga seorang profesor mengatakan bahwa Rohingya adalah imigran gelap, mereka masuk ke Indonesia secara ilegal. Saat saya berdiskusi dengan beberapa pakar hubungan internasional, para pegiat kemanusiaan, para aktivis di lembaga bantuan hukum, mereka sepakat bahwa mereka adalah pengungsi. UNHCR sendiri juga menyebut mereka adalah pengungsi. Mereka juga bukan warga negara Bangladesh. Mereka tak punya kewarganegaraan, alias stateless. Dalam kondisi stateless, jelas mereka tidak memiliki dokumen-dokumen legal seperti KTP, KK atau paspor. Bagaimana mungkin mereka bisa menyiapkan dokumen-dokumen semacam visa untuk masuk ke Indonesia?

Mereka meninggalkan Myanmar karena dipersekusi dan digenosida oleh Junta Militer alias rezim militer yang berkuasa di Myanmar. Setelah Junta Militer mengkudeta kekuaaan U Nu pada awal 1960-an, mereka memang sudah mengambil sikap tidak bersahabat terhadap etnis Myanmar. Puncaknya, pada tahun 1982, sebanyak etnis Rohingya dicoret dari Myanmar karena dianggap bukan etnis asli Myanmar. Di Indonesia beredar info bahwa mereka dicoret karena mereka didatangkan penjajah Inggris ke Myanmar pada abad ke-19. Yang benar, etnis Rohingya sudah ada sejak abad 7 di Myanmar, dan pada abad 15 mereka mendirikan Kerajaan Arakan di Rakhine (provinsi di Myanmar). Kerajaan Arakan sebenarnya merupakan kerajaan Budha, namun mendapat banyak pengaruh dari Islam. Penduduk Arakan saat itu juga banyak yang beragama Islam. Kerajaan ini disebut juga sebagai Mrauk U. Inilah cikal bakal etnis Rohingya di Myanmar.

Pencoretan etnis Rohingya dari pemerintah Myanmar menjadi landasan pemerintah Junta Militer Myanmar untuk melakukan persekusi, bullying, perampokan, penjarahan, perkosaan, kerja paksa, bahkan juga penyiksaan dan pembunuhan. Kampung-kampung Rohingya dirusak dan dibakar, ribuan orang dibantai, dan sebagian pesar pun lari dari negerinya, mengungsi ke berbagai tempat di penjuru dunia. Pengungsi Rohingya tersebar di berbagai negara, ada di Arab Saudi (sekitar 200 rb), Malaysia (150rb-an), dan Bangladesh yang paling banyak, sekarang mencapai hampir 1 juta jiwa pengungsi ada di Bangladesh. Mereka tetap PENGUNGSI yang tidak punya kewarganegaraan, bukan warga Bangladesh. Mereka dikelola oleh PBB melalui UNHCR.

Kondisi Di Bangladesh

Saat mereka berada di Bangladesh, kondisi mereka tetap stateless. Bangladesh hanya menyediakan tanah untuk menetap, tetapi tidak mengurusi mereka. Di Bangladesh, mereka ditampung di sebuah tempat yang luas, namun rawan longsor, yaitu Cox's Bazar. Kawasan Cox's Bazar ini sangat kumuh, sanitasi buruk, dan kondisi keamanan sangat buruk pula. Banyak kejahatan, pembunuhan dan sebagainya. Karena inilah, maka PBB bekerjasama dengan pemerintah Bangladesh membangun camp di Pulau Bhasan Char. Di Pulau ini, ada 1000 rumah yang kondisi lumayan, tapi ... akan digunakan untuk menampung sekitar 100 ribu pengungsi. Terbayang ya, 1 rumah akan dijejali 100 pengungsi. Mirip kamp konsentrasi.

Akhir-akhir ini, pecah kerusuhan di kamp pengungsi Bangladesh. Di tahun 2023 saja, ada sekitar 60an pengungsi terbunuh, rata-rata perempuan dan anak-anak. Kondisi ini membuat mereka akhirnya ingin pergi dari kamp. Dalam kondisi sepayah ini, ada beberapa oknum memanfaatkan kondisi dengan menawarkan untuk pergi keluar negeri dengan membayar sejumlah uang. Ratusan pengungsi yang masih mempunyai tabungan, membayar sejumlah uang untuk pergi keluar negeri. Tujuannya ada yang mau ke Australia, Selandia Baru dll. Ternyata, sebagian dari mereka diturunkan di Indonesia. Si oknum penyelundup pun kabur setelah mengedrop para pengungsi dalam keadaan bingung ini.

Dilematika Indonesia

Indonesia tentu sangat dilematik menghadapi hal ini. Indonesia belum meratifikasi konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967 dikarenakan alasan politik domestik, jadi tidak ada kewajiban menampung pengungsi. Namun, Indonesia punya Perpres no 125 tahun 2016 yang isinya regulasi saat menerima pengungsi. Prosesnya, ketika ada pengungsi datang, harus menampung sementara, memberikan bantuan kemanusiaan, lalu bekerjasama dengan PBB (UNHCR). Karena tidak merafitikasi konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967, seluruh dana penanganan pengungsi di Indonesia, harus disediakan oleh UNCHR. Dan inilah yang terjadi di Indonesia selama ini. Dana tidak diambil dari APBN, tapi dari UNHCR. Tentu saja pemerintah pusat maupun daerah tetap membantu, tapi bukan penyandang dana utama.

Dalam regulasinya, semua pengungsi seharusnya tidak bercampur dengan warga lokal. Mereka berada di kamp yang terawasi, dan pengungsi tidak boleh berkeliaran di luar. Mereka juga tidak boleh bekerja. Karena itu, mereka mendapatkan jatah hidup sekadar untuk makan dan kebutuhan primer.

Repatriasi Harus Diupayakan
Hal yang terbaik untuk pengungsi adalah repatriasi. Repatriasi adalah kembalinya suatu warga negara dari negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah asal kewarganegaraannya. Tetapi, saat ini, Myanmar tengah bergolak dan dilanda perang. Maka, sampai kondisi aman, pemerintah Indonesia punya tanggung jawab moral untuk membantu pengungsi dengan bekerjasama dengan PBB.

Mengapa Ada Demonisasi Rohingya?
Mengapa terjadi arus kebencian terhadap Rohingya yang sangat kuat? Menurut penyelusuran Tempo, BBC, Narasi, Drone Emprit dan berbagai lembaga independen: secara massif dan terstruktur, banyak sekali konten hoax yang disebar secara serempak di masyarakat bersumber dari media sosial. Sekitar 80an akun UNHCR palsu juga muncul di berbagai media sosial dengan menyebarkan konten yang provokatif.

Beberapa hoax itu di antaranya:
1. Hoax Rohingya minta tanah Malaysia
2. Indonesia akan memberi pulau kepada Rohingya
3. Pengungsi Rohingya di Sidoarjo memecahkan kaca dan merusak rusun Sidoarjo
4. Pengungsi Rohingya memperkosa warga
5. Pengungsi Rohingya akan diberikan KTP dan kewarganegaraan Indonesia...
Semua hoax itu telah diklarifikasi, silakan Anda Googling deh.


Posting Komentar untuk "Pengungsi Rohingya di Indonesia, Haruskah Ditolak?"