Widget HTML #1

Melukis Cinta di Bumi Aceh 1 - Keberangkatan

Masjid Baiturrahman (koleksi Afifah Afra)

Aceh adalah salah satu destinasi yang sangat ingin saya kunjungi sejak dulu. Karena itu, saat Bu Eny Purwandari, dosen sekaligus pembimbing tesis saya di Magister Psikologi UMS (yang juga “bestie” saya tercinta hehe) mengajak saya untuk jalan-jalan ke sana, perasaan ini seperti dilambung-lambungkan menggunakan balon udara. Pokoknya senang sekali, begitu deh. 

Tentu bukan sekadar jalan-jalan biasa. Jalan-jalan akademik, begitu kata Bu Eny—atau seringkali dalam kesempatan yang tidak formal saya memanggilnya Yunda Eny. Jalan-jalan, namun juga riset dan pengabdian masyarakat. Sebenarnya, spirit Bu Eny itu sama juga dengan prinsip saya. Semua perjalanan—terlebih memakan waktu lama, harus memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya.

Oleh karena itu, sederet kegiatan kami rancang. Mulai dari rencana pengabdian masyarakat berupa seminar kepenulisan dalam perspektif terapi kesehatan mental, riset tentang anak berkebutuhan khusus di sebuah SLB yang dikelola mahasiswa bimbingan Bu Eny saat S1 di UMS dahulu, hingga melakukan riset terhadap pengungsi Rohingya di Aceh. Banyak benar agendanya? Bisakah dilakukan dalam tempo hanya seminggu? Harus, dong! Sesemangat-semangatnya menjelajah Aceh, kami tak mungkin harus berlama-lama di sana, bukan? So, untuk menyiapkan semua itu agar berjalan efektif dan efisien, kami pun berbenah jauh-jauh hari. Kurang lebih butuh waktu sekitar  2 bulan untuk mempersiapkan semuanya, yakni dari pertengahan bulan Maret hingga Mei. 

Singkat kata, semua pun mulai bergerak sesuai rencana alias on the track. Tanggal 19 Mei 2024, berangkatlah kami berempat menuju Aceh. Berempat? Siapa saja? Senang sekali perasaan kami karena para suami bersedia cuti atau meninggalkan pekerjaan sementara untuk me-mahram-i perjalanan kami ... termasuk merelakan keluar biaya dari kantong mereka sendiri, hehe. 

Walhasil, tim kami terdiri dari 4 orang: Bu Eny dan suami, Pak Budhi; saya dan suami, Mas Ahmad. Keberadaan pasangan di sisi, bukan sekadar sebagai sandaran saat ombak tenang, tetapi juga penyemangat saat badai datang … jiaah, so sweet and romantic! Tetapi, memang dalam syariat agama yang kami yakini, keberadaan mahram sangat penting dalam segala hal, terlebih perjalanan ke tempat yang cukup jauh dan agak berisiko.

Penerbangan Ke Banda Aceh
Penerbangan dengan Batik Air (foto: Eny Purwandari)

Memilih transportasi menuju Aceh juga bukan hal mudah. Kami sempat geleng-geleng kepala melihat tarif pesawat Solo-Banda Aceh yang cukup mahal. Untuk menuju Banda Aceh dari kota Solo, tak ada penerbangan langsung, sehingga harus transit di Jakarta. Kami sempat membandingkan perjalanan lewat Bandara Solo, Yogya dan Semarang. Ketiganya sama-sama mengetikkan angka dalam kisaran Rp 3 jutaan sekali perjalanan. Jadi, pulang pergi sekitar Rp 6 juta. 

Cukup menarik, ketika kami mencoba simulasi perjalanan dengan transit di Kuala Lumpur, yakni Yogya-Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur-Banda Aceh, ternyata biaya pesawat hanya sekitar Rp 2 jutaan. Sayangnya, jadwal transitnya sangat pendek, tak sampai 1 jam. Mana mungkin bisa, kecuali harus menginap semalam di Kuala Lumpur? 

Ada juga alternatif lain, yakni penerbangan via Medan, dan lanjut ke Banda Aceh dengan perjalanan darat. Ada penerbangan langsung Yogyakarta - Banda Aceh menggunakan Lion Air, namun tiketnya tetap cukup mahal, sekitar 2,5 juta rupiah. Perjalanan darat Medan - Banda Aceh juga memakan waktu cukup lama, sekitar 12 jam. 

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kami memutuskan berangkat dari Bandara Solo saja, transit di Jakarta.

Selain biaya, alternatif penerbangan ke Aceh dari Solo juga hanya menyisakan sedikit maskapai, yaitu Batik Air dan Garuda saja. Garuda pun harus pindah armada pesawat, dengan jadwal transit yang agak problematik menurut kami. Walhasil, kami memilih maskapai Batik Air baik keberangkatan maupun kepulangan. Meski begitu, kami telah mengantongi beberapa informasi penting tentang trayek penerbangan ke Aceh yang lebih hemat jika suatu saat kami akan ke Aceh kembali dengan durasi waktu yang lebih longgar.

Tanggal 19 Mei 2024, jam 10 lebih kami berempat telah sampai di Bandara Adi Sumarmo, karena jam 11 pesawat akan membawa kami dalam penerbangan pertama ekspedisi ini ke Jakarta. Tak ada problem serius, kecuali bahwa kami semua tak sempat sarapan pagi, sehingga harus makan soto di Bandara Solo. Perjalanan pertama berjalan lancar. Cuaca cukup bersahabat. Meski memasuki langit Jakarta terlihat jelas langit yang berkabut—entah kabut beneran atau kabut polusi, kami bisa mendarat dengan lancar. 

Kami sholat Dhuhur dan Asyar secara jamak qoshor di ruang tunggu terminal 2D. Di sana, kami sempat bertemu dan berkenalan dengan 2 profesor dari Malang, Profesor Mudjia Rahardjo, yang pernah menjabat sebagai rektor UIN Malang periode 2013-2017, dan Profesor Uril Bahruddin, juga dari UIN Malang. Nantinya, sampai beberapa hari di Banda Aceh, kami ternyata masih bertemu lagi beberapa kali dengan kedua profesor tersebut saat shalat subuh di Masjid Baiturrahman. Terlebih, Profesor Uril ternyata juga menginap di hotel yang sama dengan kami.

Kehadiran para cendekiawan ini memberikan nuansa yang akademis yang cukup kental, terlebih karena bertemu pula dengan Bu Eny yang juga seorang akademisi. Saya menyimak diskusi orang-orang hebat tersebut sambil manggut-manggut. Bersyukur sekali saya dipertemukan dengan orang-orang berilmu yang sangat tawadhu alias down to earth seperti beliau-beliau ini.

Pesawat Batik Air yang akan membawa kami ke Banda Aceh sempat mengalami delay sebentar, sehingga pendaratan di Banda Aceh pun otomatis mengalami keterlambatan. Sebelum pesawat take off, beberapa rekan sempat memberitahukan bahwa Aceh saat itu sedang hujan lebat disertai badai. Memang menjelang pendaratan di Bandara Iskandar Muda, cuaca sempat memburuk, namun proses landing berjalan lancar, dan ternyata di Banda Aceh sudah tidak hujan. Hanya tersisa gerimis kecil dan tempias air yang justru menyegarkan pandangan.

Bandara Sultan Iskandar Muda
Berpose bersama Dosen sekaligus Bestie: Bu Eny

Dulu, nama Bandara ini adalah Blang Bintang, karena berlokasi di daerah Blang Bintang. Sejak tahun 1995, nama Bandar diubah menjadi Sultan Iskandar Muda. Di Indonesia, nama-nama Bandara mayoritas diambil dari nama pahlawan nasional. Begitu pun Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 14 September 1993. Beliau lahir pada tahun 1590, ada yang versi yang menyebut 1593, dan wafat pada 1636. Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu raja paling terkenal di Kesultanan Aceh. Beliau memerintah dari tahun 1606 hingga 1636. Selama 30 tahun berkuasa, Kesultanan Aceh Darussalam menjadi kerajaan besar dan mengalami puncak kejayaannya.

Bandara Sultan Iskandar Muda (foto: Afifah Afra)

Saat mendarat di Bandara Iskandar Muda, jam menunjukkan pukul 18 lebih 40-an. Sudah berkumandang adzan di sana … eits, tentu bukan adzan Isya, tetapi adzan Maghrib. Selisih waktu di sini dengan di Solo sekitar 1 jam. Sebenarnya Aceh termasuk dalam GMT +6, sama dengan Yangon, Dhaka atau Bhutan. Akan tetapi, karena Indonesia hanya memiliki 3 waktu saja, yaitu GMT +7 (WIB), GMT +8 (WITTA), dan GMT +9 (WIT), maka Aceh pun masuk dalam GMT +7. 

Saat kami mengklaim baggage kami, beberapa kawan mengirim WA message. “Mbak udah sampai Bandara? Bagaimana penerbangannya? Perlu kami jemput?”

Kami menolak halus, karena memang sudah ada Iqbal, sopir sebuah jasa transportasi yang sudah kami order untuk mengantar kami menuju hotel kami, Parkside Alhambra yang berada tepat di Simpanglima Banda Aceh. Iqbal ternyata masih sangat muda, kelahiran 2003, hampir sebaya anak sulung saya atau Bu Eny. Saat tsunami, Iqbal masih bayi. Meski usianya masih sangat muda, Iqbal sangat ramah dan banyak melayani obrolan kami. Kami pun sempat meminta nomor HP-nya, jika suatu saat memerlukan jasanya kembali.

Bandara Iskandar Muda cukup unik, karena memiliki desain bangunan mirip masjid, dengan kubah-kubahnya. Sangat khas Aceh. Meski tak terlalu luas, ternyata Bandara ini juga ada penerbangan internasional, meski baru terbatas trayek Banda Aceh-Penang (maskapai Firefly) dan Banda Aceh-Kualalumpur (Air Asia). Trayek ini, menurut teman-teman di Aceh, sangat membantu, karena bisa mengurangi biaya bepergian dari Banda Aceh ke seluruh nusantara. Cek deh, simulasi biaya penerbangan dengan menjadikan Kualalumpur sebagai transit di atas. Sahabat kami, Rahmiana Rahim, founder Rumah Relawan Remaja (R3), yang asalnya dari Makassar, juga terbiasa pulang ke Makassar dengan transit di Kualalumpur. “Bisa menghemat jutaan rupiah,” kata Rahmiana.
Aduh, kok bisa begitu ya?

Parkside Alhambra dan Mie Razali

Tugu Simpang Lima di Depan Parkside Alhambra (Foto: Eny Purwandari)

Meski jarak Parkside Alhambra dengan Bandara Sultan Iskandar Muda cukup jauh, sekitar 17 km, perjalanan ditempuh dalam waktu tak sampai 30 menit. Salah satu yang membuat kami merasa nyaman, di Banda Aceh nyaris tidak ada kemacetan. Jalan pun mulus, nyaris tanpa hambatan. 

Hotel Parkside Alhambra ternyata masih sangat baru. Hotel ini unik, karena lobinya langsung menyatu dengan trotoar, bahkan tak terlihat tempat security atau pos satpam. Mobil-mobil diparkir begitu saja di tepi jalan. Aman-aman saja tampaknya. Setelah beberapa hari di Banda Aceh, kami bisa menyaksikan, bahwa mayoritas hotel-hotel atau pun tempat keramaian seperti restoran atau mall, polanya memang begitu. Nyaris tak ada pagar, apalagi gerbang. Tak ada jarak yang signifikan dengan jalan besar.

Full team di Mie Razali 

Meski mungil, hanya 48 kamar, desain hotel ini menarik. Dindingnya banyak lukisan ala Andalusia, Spanyol. Lobinya menyatu dengan restoran yang diberi nama Sevilla. Rate harga menginap di sini mulai dari kisaran Rp 400rb-an. Tetapi kamar dengan rate ini agak sempit, memanjang ukuran 2 x 5 meter. Bagi Solo Traveller, cukup juga mungkin, tapi kalau berdua, terlalu sempit sih, kalau menurut saya. Kamar deluxe dengan harga Rp 500rb-an menurut saya paling rekomendid, karena sangat nyaman. Ada juga rate di atas itu, tapi yang deluxe, over all, sudah sangat baguslah untuk budget saya haha.

Salah satu pertimbangan penting saat memilih hotel ini adalah mencari yang terdekat dengan Masjid Baiturrahman. Jarak hotel ini menuju Masjid, ternyata hanya sekitar beberapa ratus meter, bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.

Suasana kamar di Hotel Alhambra

Setelah check in dan memasukkan barang-barang ke kamar, kami sepakat untuk tidak langsung mandi … namun langsung berkelana: mencari mie aceh. Iqbal telah merekomendasikan sebuah resto yang menjual mie aceh di sekitar hotel Alhambra, yaitu Mie Razali.

Oke, petualangan dimulai. Kami berjalan menyusuri jalanan yang basah dan sisa gerimis yang masih mencurahkan titik-titik air. Awalnya saya agak mengkhawatirkan Bu Eny, barangkali saja tak terbiasa terkena gerimis. Eh, ternyata beliau fine-fine saja, bahkan tampak sangat excited dengan hari pertama kami menjejak kaki di Kota Banda Aceh ini. Meski berkelana bersama seorang akademisi yang sangat sibuk di kampus, saya serasa benar-benar tengah journey bersama teman sebaya yang saling mengisi dengan jokes, semangat, saling support satu sama lain, dan spirit persahabatan. Para suami kami pun ternyata dengan cepat saling beradaptasi satu sama lain. Ini modal terpenting dari sebuah perjalanan yang memakan durasi waktu berhari-hari, bukan?

Mie Aceh di Mie Razali (foto: Afifah Afra)

Jarak Mie Razali dengan Parkside Alhambra tak begitu jauh, hanya sekitar 500-an meter. Begitu datang, kami langsung memesan empat porsi mie Aceh rasa cumi-cumi, udang, dan kepiting. Saat menyentuh lidah, kami merasakan sensasi rasa rempah yang menari-nari di lidah. Enak juga! Gelas-gelas berisi tehtarik juga dengan cepat tersedot habis. Harga mie Razali terbilang cukup murah … hanya sayangnya … kurang pedas. Semula kami mengira bahwa lidah Aceh memang tidak menyukai pedas. Esoknya, saat bertemu kawan di Rumah Relawan Remaja, kami baru tahu bahwa untuk mendapatkan mie Aceh yang pedas, kami mesti rekues. Hehe… ada-ada aja.

Hari pertama kami tutup dengan tidur lelap di kamar kami yang nyaman dan beraroma wangi. Gambar gedung-gedung khas Andalusia yang terpampang di tembok, seakan-akan hendak membawa kami benar-benar berkelana di Alhambra.

BERSAMBUNG KE BAGIAN DUA

Posting Komentar untuk "Melukis Cinta di Bumi Aceh 1 - Keberangkatan"