Widget HTML #1

Melukis Cinta di Bumi Aceh 2 - Masjid Baiturrahman, TNCC, dan Rumah Relawan Remaja

Sharing bersama relawan Rumah Relawan Remaja

Banda Aceh, Senin 20 Mei 2024
Keseruan kami berpetualang di Bumi Rencong terus berlanjut. Penasaran, nggak? Kalau masih penasaran, terus simak ya, catatan ringan saya ini. Demi kenyamanan membaca, catatan ini memang saya tulis dengan bahasa yang ringan, biar mudah dinikmati. Mohon maaf jika saya banyak guyon dan cengengesan, ya?

Masjid Baiturrahman
Di depan Masjid Raya Baiturrahman, usai shalat syuruq

Apa yang paling khas dari Aceh? Tentu karakter kepahlawanan. Jika membuka lembaran sejarah, kita bisa menemukan fakta tentang betapa heroiknya mereka. Aceh, bisa jadi merupakan sedikit dari suku di Indonesia yang tidak pernah dijajah oleh Belanda. Memang di akhir perang Aceh, Belanda sempat mencoba menanamkan kuku kekuasaan di sana, namun sejatinya, Aceh sama sekali tak pernah secara mutlak dikuasai Belanda.

Momen 20 Mei menjadi pas, karena ini adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Di hari kebangkitan nasional ini, kami mencoba menyusuri jejak perjuangan para pahlawan Aceh dengan memasuki titik paling sentral: masjid. Tentu saja Masjid Baiturrahman. Sebab di sinilah mentalitas para pejuang Aceh mulai dibentuk. Masjid tua ini mulai dibangun pada tahun 1612 saat Sultan Iskandar Muda memerintah Kesultanan Aceh Darussalam—dan kemudian dibangun kembali pada tahun 1879. 

Pada masa itu, menurut beberapa sumber, Masjid Raya Baiturrahman merupakan sebuah universitas yang disebut sebagai Al-Jamiah Baiturrahman, memiliki belasan jurusan, dengan pengajar dari kalangan cendekiawan baik dari Aceh maupun negara-negara lain seperti Arab, Persia, Turki, maupun India. Pada masa Perang Aceh, Masjid ini juga menjadi pusat pertahanan rakyat Aceh melawan tentara Belanda. Inilah yang menyebabkan masjid ini dibakar oleh Belanda pada tahun 1873, dan dibangun kembali pada tahun 1879. Luar biasa, karena Masjid ini tetap berdiri kokoh saat gempa dan tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004.

Lokasi masjid hanya sekitar 400an meter dari Hotel Parkside Alhambra, sehingga cukup kami tempuh dengan jalan kaki. Jam 4 pagi kami keluar dari hotel, dan berjalan menyusuri trotoar yang sangat sepi, melewati jembatan Sungai Aceh, dan sampailah kami di depan bangunan megah dengan arsitektur khas Dinasti Mughol itu. Sayangnya, saat memasuki pelataran hotel, lantai depan masih basah akibat hujan deras yang turun semalaman. Namun, tak berapa lama kami datang, pintu masjid sisi kiri telah dibuka, dan kami pun masuk untuk Qiyamul Lail. Jam 04.30, muadzin mengumandangkan adzan pertama sebagai penanda Qiyamul Lail. Baru sekitar jam 05.00 WIB, adzan subuh berkumandang. Kami shalat berjamaah bersama imam yang memiliki bacaan sangat merdu. Usai subuh, ada kuliah subuh yang diampu oleh para ulama di sana, disiarkan secara langsung di beberapa radio di Banda Aceh.

Usai kuliah subuh dan shalat syuruq, kami berfoto-foto di pelataran masjid yang sangat indah itu. Saat itulah kami bertemu kembali dengan Profesor Mudjia dan Profesor Uril Bahruddin yang ternyata juga shalat Subuh di sana.

TNCC – The Nanny Children Center
Bersama pendiri, para guru dan siswa TNCC

Usai mandi dan sarapan pagi, tujuan pertama kami adalah SLB TNCC, atau The Nanny Children Center. TNCC didirikan oleh DM Ria Hidayati, S.Psi, M.Ed pada tahun 2015. Menurut Bu Eny, pendiri SLB TNCC adalah mahasiswanya saat kuliah di Psikologi UMS. Mbak DM Ria Hidayati adalah mahasiswa berprestasi tingkat nasional saat itu, dan sangat dekat dengan beliau sebagai salah seorang dosennya. SLB ini memadukan edukasi sekaligus terapi untuk anak-anak berkebutuhan khusus, fokusnya pada permasalah perkembangan saraf atau neurodevelopmental disorder. Jadi, di SLB TNCC ini, kami akan bertemu dengan anak-anak yang mengalami permasalahan seperti autisme, tuna grahita, masalah komunikasi, ADHD, disleksia, diskalkulia, disgrafia, bahkan juga tuna rungu.

Jam 8.45 kami sampai di gedung TNCC dan bertemu dengan puluhan anak yang luar biasa itu. Saya sempat terharu, begitu masuk dan menyapa mereka, seorang anak dengan cepat meraih tangan saya. Lalu mencopot jam tangan saya dan memperbaiki posisinya. “Jam tangannya harus begini,” katanya. Saya pasrah saja membiarkan Chiko, nama anak itu, memasangkan jam tangan saya dengan lembut.
Kami merasa surprais, karena Mbak Ria ternyata menyiapakan sebuah penyamputan spesial untuk kami, terutama tentunya untuk Bu Eny, sebagai sosok akademisi yang memang mendalami riset di bidang ini. Para siswa SLB, dengan segala potensi dan keterbatasannya, menyambut kami dengan tarian, nyanyian, dan baca puisi. Menurut saya, tampilan mereka cukup bagus. Bahkan pembacaan puisinya pun sangat memukau.

Sayangnya, saya tidak bisa full di TNCC, karena harus segera menuju markas Rumah Relawan Remaja. Hari ini kegiatan memang kami split menjadi 2. Bu Eny dan Pak Budhi tetap berada di TNCC. Sedangkan saya ditemani Mas Ahmad mengunjungi Rumah Relawan Remaja dan dilanjutkan sore harinya melakukan pertemuan internal dengan para pengurus Forum Lingkar Pena Aceh. Jam 10.30 saya dan Mas Ahmad pun meluncur dengan taksi online menuju Peukan Bada, lokasi markas Rumah Relawan Remaja.

Rumah Relawan Remaja
Bersama Rahmiana (kerudung biru) dan para relawan 3R

Rumah Relawan Remaja (3R) juga salah satu hal yang membuat saya takjub. Awal kisahnya begini. Ketika kami memutuskan untuk membuat riset tentang pengungsi Rohingya, saya diminta Bu Eny mencari narasumber di Aceh. Saya pun mengontak Syarifah Aini, mantan ketua FLP Wilayah Aceh yang juga pegiat Aisyiah Aceh. Aini memperkenalkan saya kepada Rahminia Rahman atau Ammy, istri dari Perdana Romi Saputra, pendiri komunitas R3. Mereka berdua, Romi dan Ammy, adalah sepasang suami istri yang mentahbiskan diri sebagai pekerja sosial dan mendedikasikan diri untuk mencetak sebanyak mungkin relawan dunia yang bisa belajar ke arah kehidupan yang adil dan damai.

Kegiatan 3R cukup banyak, mulai dari Tanggap Darurat Bencana dan Konflik, Pustaka Kampung Impian, Peace Camp, Peace School, Peace Library, 3R Extra Class, Community Sharing, Beasiswa, Wood Carving dan 3R Social Enterprise. Saat pengungsi Rohingya datang ke Aceh, khususnya di Banda Aceh, para relawan 3R ini sigap ikut membantu proses psikososial mereka. Mereka fokus di kamp pengungsi Aceh di Basement Balai Meuseuraya Aceh (BMA). Tak salah Aini merekomendasikan komunitas ini kepada kami. Sebenarnya, selain 3R, ada beberapa alternatif LSM lokal yang bisa kami datangi. Tetapi posisi mereka cukup jauh dari Banda Aceh. Kamp pengungsi Rohingya ada di beberapa titik, yaitu di Pidie, Lhokseumawe, bahkan juga di Sabang. 

Kami sampai di Markas 3R sekitar jam 11. Ammy yang sangat ramah dan energik menyambut kami dengan kopi Aceh dan mie aceh yang pedas. Rasanya sungguh wooow! Kopi dan mienya, sama-sama mantap. Di sini juga kami telah disambut oleh belasan relawan. Selain hendak sharing tentang pengalaman mereka menangani pada pengungsi Rohingya di BMA, mereka juga meminta saya sharing tentang tips kepenulisan. Di sini saya bertemu dengan Yelly, Nory, Nadhira, dan kawan-kawan—juga kedua buah hati Ammy dan Romi, Salam dan Lubna. Kedua bocil ini sungguh keren, karena sejak kecil sudah diperkenalkan dengan kehidupan para relawan serta aktivitas solidaritas kemanusiaan tanpa mengenal sekat-sekat perbedaan. 

Oya, saya juga cukup surprais, karena bertemu dengan Althaf, anak dari Zamira Bibie, adik kandung sahabat saya, Robiah Al Adawiyah alias Vida, pegiat perempuan di kota Solo yang juga cucu almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra, ulama besar di Kota Surakarta. Althaf yang masih SMP memang tinggal bersama ayah dan ibunya di Banda Aceh. Saat itu, Althaf sedang magang menjadi relawan di 3R. Sayangnya, kami tidak bisa bertemu dengan suami Ammy, Bang Romi, karena saat itu beliau sedang berada di Pulau Breueh dalam rangka menjalankan tugas-tugas sosialnya sebagai komandan di 3R.

Sayangnya pula, mendapatkan kabar yang agak mengejutkan. Ternyata, pengungsi Rohingya yang berada di BMA secara mendadak telah dipindahkan ke Lhokseumawe. Berita itu sebenarnya sudah saya terima semalam saat berteleponan dengan Ammy, namun kejelasan dan kedetilan peristiwa itu baru bisa saya dapatkan saat berada di markas 3R.

“Berapa jam Lhokseumawe dari sini?” tanya saya.
“Sekitar 6 sampai 7 jam, Kak,” kata Ammy. Perempuan energik yang pernah ikut program fellowship kepemimpinan di Chichago itu menyarankan untuk ke Pidie saja, karena jaraknya lebih dekat. Dia mengaku kenal dengan beberapa pengelola pengungsi di Pidie, termasuk dari IOM dan UNHCR>
Saya termenung. Sempat ngechat Bu Eny tentang info ini. Namun karena Bu Eny sepertinya sedang sangat sibuk dengan agendanya, belum ada keputusan saat itu.

“Saya diskusikan dulu, ya Ammy…,” ujarku. Tapi dalam benak saya, kunjungan ke pengungsi Rohingya harus tetap berjalan. Sebab kami sudah mempersiapkan banyak hal, termasuk tools untuk assesment kondisi depresi para pengungsi. Sebelum berangkat ke Aceh, Bu Eny telah membentuk tim yang terdiri dari mahasiswa S3, S2 dan S1 di Fakultas Psikologi UMS. Mereka memang tidak bisa mengikuti perjalanan ini, tetapi mereka telah mempersiapkan banyak hal dengan cukup menguras energi.
Sharing dengan relawan 3R berjalan cukup lama, dari sekitar jam 11 hingga jam 14.00, pending shalat dhuhur dan makan siang. Usai sharing, beberapa relawan memberitahu tentang lokasi Monumen Kubah Tsunami yang ternyata hanya berjarak beberapa KM saja dari Peukan Bada.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 3

Posting Komentar untuk "Melukis Cinta di Bumi Aceh 2 - Masjid Baiturrahman, TNCC, dan Rumah Relawan Remaja"