Widget HTML #1

Melukis Cinta di Bumi Aceh 3: Kubah Tsunami, Museum Aceh, dan FLP Aceh

Monumen Kubah Tsunami (koleksi pribadi)

Mendengar informasi bahwa lokasi markas 3R (Rumah Relawan Remaja) cukup dekat dari Museum Kubah Tsunami Aceh, kami pun tertarik untuk mendatanginya saat itu juga. Ammy sangat baik dengan meminjami kami motor serta helm untuk bisa mendatangi tempat tersebut. Saat itu ada helm yang tergeletak di atas rak. Suami saya, Mas Ahmad spontan mengambil helm yang ada tulisan Grab. Lalu minta dipotret. Cosplay jadi driver Grab gitu deh, ceritanya.

Monumen Kubah Tsunami
Tsunami Aceh memang menyisakan banyak kisah-kisah yang membuat kita merinding. Di tengah bencana besar yang membuat Aceh kehilangan ratusan ribu penduduknya, ada keajaiban-keajaiban yang membuat kita takjub, salah satunya masjid-masjid yang tetap kokoh meski diguncang tsunami dahsyat. Monumen Kubah Aceh adalah sebuah tempat di mana kubah sebuah masjid tetap utuh, meskipun bangunan masjidnya hanyut dan hancur terkena gempa dan tsunami. Masjid itu menurut beberapa sumber sebenarnya terletak di desa Lam Teungah, namun kubahnya kemudian hanyut sejauh sekitar 2,5 km dan terdampar di desa Gurah, kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.

Untuk menuju Monumen Kubah Tsunami tersebut, kami melewati jalan-jalan pedesaan di Aceh Besar. Desa di sana tertata rapi serta bersih, rumah-rumahnya masih banyak yang model tradisional Aceh. Sebagian jalannya tidak beraspal, tetapi cukup bagus dan terbuat dari batu-batu kerikil kombinasi dengan semen.

Sampai di monumen, kami tertegun melihat kubah tersebut berdiri dengan tegak, dan masih kokoh hampir tanpa cacat cela. Monumen tersebut berada di lokasi yang dipagari bukit-bukit dengan lanscape yang indah. Angin bertiup sepoi-sepoi, membuat udara terasa cukup sejuk. Di dekat monumen, terdapat satu mushala kecil, juga beberapa kios milik warga lokal yang menjual aneka macam souvenir dan hasil bumi desa tersebut. Suasana cukup sepi, hanya ada beberapa turis dari Malaysia yang menggunakan satu mobil Toyota Hiace sedang diberi penjelasan oleh guide lokal.

Di sana kami bertemu pula dengan beberapa anak kecil yang sedang bermain-main di sekitar monumen. Saya cukup tertarik dengan anak-anak itu, salah satunya karena wajah mereka tampak berbeda satu sama lain. Ada yang sepertinya keturunan Hindia, ada yang ke-Arab-Araban, ada juga yang sipit dan berkulit cerah. Saya jadi ingat perkataan Ammy, bahwa ACEH itu memang multietnik. Bahkan ada yang membuat akronim ACEH sebagai Arab, China, Eropa dan Hindia. Tidak berlebihan sih. Sebagai lokasi yang berhubungan langsung dengan lautan internasional, Aceh bukan hanya Serambi Mekah, tetapi juga Serambi Indonesia. Untuk menuju Nusantara, mereka tentu akan memasuki Selat Malaka yang berhulu di Aceh. Interaksi bangsa-bangsa asing sangat dekat dengan Aceh selama berabad-abad. 

Karena keterbatasan waktu, kami tak berlama-lama di sana, dan harus kembali ke Peukan Bada, mengembalikan motor Ammy, dan bersiap ke Banda Aceh untuk agenda selanjutnya, yakni pertemuan dengan para pegiat FLP Aceh.

Kami berpamitan dengan Ammy dan kawan-kawan relawan 3R dengan rasa haru. Meski 3 jam lebih kami di sana, rasanya jauh dari cukup untuk bisa puas berdiskusi. Terlebih, mereka juga sedang merancang sebuah program magang relawan selama 1 bulan di Pulau Breueh, di salah satu Taman Bacaan Masyarakat yang mereka kelola. Selain aktif di 3R, Ammy juga merupakan ketua Forum TBM Aceh. Klien dekat Mas Gola Gong dan Mas Firman Venayaksa, para mantan presiden Forum TBM yang saya kenal cukup baik. Adrenalin saya sempat terbakar saat Ammy menawarkan ke saya untuk suatu saat datang ke sana. Insya Allah … semoga diberikan kesempatan, umur panjang, dan anggaran tentunya, haha. Atau, siapa tahu ada di antara pembaca di sini yang ingin menjadi sponsor saya menebar kebaikan ke seluruh penjuru tanah air? Kontak saya saja yaaa… hehe.

Museum Aceh: Naskah-Naskah Kuno dan Rumah Tradisional Aceh
Rumoh Aceh di Kompleks Museum Aceh

Kami meluncur dari 3R di Peukan Bada menuju lokasi pertemuan dengan para pegiat FLP Aceh, yakni di History Café yang terletak di dalam Museum Aceh. Jarak dari Peukan Bada ke Museum Aceh tak terlalu jauh, hanya sekitar 5 KM. Meski berada di Kabupaten Aceh Besar, lokasi 3R berada di perbatasan dengan Banda Aceh. Terlebih, karena di Aceh nyaris tak ada kemacetan, lancar-lancar saja perjalanan kami menggunakan Gocar ke Museum Aceh.

Ada hal menarik yang kami catat saat kami menaiki Gocar di perjalanan itu. Kami melihat sebuah ID terpampang di depan sopir Gocar kami, foto di ID tersebut menggunakan jas dokter. Suami saya pun mencoba membuka percakapan dengan beliau. Katanya, istrinya yang dokter. Tetapi kami tak percaya begitu saja. Bisa saja sang driver ini juga seorang dokter yang ‘menyambi’ jadi driver Gocar. Asyik juga ya, disopiri pak dokter hehe.

Sampai di Museum Aceh, ternyata baru jam 15.30. Sementara jadwal pertemuan kami adalah jam 16.30. Oke deh, kami mau eksplorasi dulu. Kami pun membeli tiket untuk mengunjungi beberapa titik yang berada di kompleks museum tersebut. Ada 4 titik. Cukup luas, ya? Padahal jam operasional museum hanya sampai jam 16.15. Lumayanlah, kami punya waktu 45 menit untuk eksplorasi.

Naskah kuno karya para ulama Aceh (koleksi pribadi)

Pertama, kami memasuki gedung yang memajang naskah-naskah kuno para ulama dan sastrawan Aceh dan Sumatera secara umum. Saya terpana melihat kitab-kitab asli yang ditulis sejak abad 16, 17 hingga awal abad 20 dipajang di sana. Kitab-kitab itu ditulis dengan huruf Arab Jawi (semacam Arab Pegon, Arab namun dengan bahasa setempat) dengan bahasa Melayu. Ada Kitab Bustan Al-Salatin dan Shirat Al-Mustaqim, karya Syekh Nuruddin Ar-Raniry yang ditulis di Abad 16 dan 17, Mawaid Al-Badi' karya Syekh Abdurrauf Al-Singkili (abad 17), Safinat Al-Hukkam karya Qadhi Malikul Adil (abad 18) dan sebagainya. Ada puluhan naskah asli terpajang di sana. 

Titik kedua adalah gedung Rumah Aceh yang memperlihatkan arsitektur Rumah Aceh beserta perabotan rumah-rumah bangsawan Aceh tempo doeloe. Dalam bahasa Aceh, Rumah Aceh disebut sebagai Rumoh Acèh. Konsep Rumah ini sangat menarik, karena berbentuk rumah panggung dengan bagian-bagian seperti serambi depan, serambi tengah, dan serambi belakang. Bahan utama rumah ini adalah kayu, kalau lazimnya, rumah-rumah Aceh memiliki atap dari daun rumbia.Sebagaimana daerah-daerah lainnya di Sumatera atau Melayu, warna-warna rumah, perabot dan pakaian di Rumah Aceh didominasi warna-warna ngejreng seperti merah, hijau dan kuning. Ketiga warna ini tampak dominan. Katanya sih, warna kuning merupakan simbol dari kekuatan, kehangatan dan kecerahan. Merah merupakan simbol gairah, semangat, keberanian, dan kesenangan. Sedangkan hijau menyimbolkan kesejukan serta kesuburan.

Foto saya di samping gambar Malahayati

Lalu ada titik di gedung lain yang memperlihatkan infografis tentang sejarah Aceh dari era prasejarah hingga era terkini. Gambar dan keterangan para pahlawan terpampang di dinding, membuat muncul perasaan bergetar di dada ini, mengingat keberanian dan kegagahan para pahlawan Aceh memang tak bisa ditandingi siapapun. Saya sempat berfoto di samping gambar Laksamana Malahayati, seorang panglima angkatan laut perempuan Aceh di era Kesultanan Aceh yang sangat tangkas, cerdas dan pemberani. Perempuan perkasa ini sempat memimpin pasukan Inong Balee, atau janda para syuhada sebanyak 2000 orang, melawan tentara Belanda pada 11 September 1599. Pada saat itu, Cornelis De Houtman, panglima tentara Belanda tewas dibunuh pasukan Inong Balee.

FLP Aceh
Bersama para pegiat FLP Aceh

Dukungan komunitas adalah salah satu "nyawa" dalam setiap eksistensi kita bukan? Hampir setiap kegiatan kita selalu ditopang oleh komunitas yang menjadi semesta kita. Begitu juga kami, khususnya tentu saya. Alhamdulillah, FLP telah menjadi bagian dari keluarga saya sejak lama. Pun keramahan, keindahan dan keunikan Aceh, tak terpisahkan dari komunitas ini. Di antara padatnya agenda kami selama di Aceh, sahabat di FLP Aceh adalah urat nadi kami. Tak terpisahkan dari semua aktivitas. 

Usai mencermati pesona Aceh di Museum Aceh, yang sangat kilat sebenarnya, saya dan suami pun beranjak ke History Café. Di sana kami bertemu dengan para pejuang literasi FLP Aceh, mulai dari ketua FLP Wilayah Aceh yang pertama, Kak Cut Januarita dan seorang senior FLP Aceh yang juga akademisi di FK USK, dr. Rosaria Indah, PhD. Juga hadir pentolan-pentolan FLP Aceh yang lain seperti Syarifah Aini, Fardelyn Hacky Irawani, Ferhat Muchat, Elfira Syuhada, Linda Sagita, Mula Keumalawati, Tengku Rahmat Aulia, Tengku Syaiful Hadi, dan masih banyak yang lain. Sambil menikmati kopi Aceh (entah gelas keberapa hari itu) kami ngobrol banyak hal, mulai dari sejarah Aceh, sejarah dakwah di nusantara, dan peran literasi Aceh dalam persebaran dakwah di nusantara.

Saya tekankan kepada mereka, bahwa Aceh adalah senior bagi para pegiat dakwah di nusantara, termasuk Jawa. Sebelum ada Walisongo, Aceh telah lebih dari berseri oleh dakwah Islam. Para mubaligh dari Acehlah yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Di FLP, Aceh juga merupakan senior, karena merupakan salah satu FLP wilayah tertua yang berdiri sekitar tahun 1999, dan pernah mendapat penghargaan sebagai FLP wilayah terbaik. FLP Aceh harus mewarisi spirit tersebut, terlebih Aceh juga sangat lekat dengan tradisi literasi yang telah bergema berabad-abad silam. 

FLP Aceh, We love you all...

BERSAMBUNG KE BAGIAN 4

1 komentar untuk "Melukis Cinta di Bumi Aceh 3: Kubah Tsunami, Museum Aceh, dan FLP Aceh"

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!