Widget HTML #1

Melukis Cinta di Bumi Aceh 4: Kamp Pengungsi Rohingya di Pidie

Assesment kondisi psikologis anak-anak Rohingya

Salah satu tujuan kami mendatangi Aceh adalah untuk menemui para pengungsi Rohingya. Tentu bukan sekadar menemui, tetapi untuk melihat dari dekat, melakukan assesment terhadap kondisi psikologis mereka, dan mengonfirmasi berbagai berita yang berseliweran di media massa dan media sosial. 

Konflik Etnis Rohingya di Myanmar

Sebagaimana kita tahu, telah terjadi konflik antaretnis di Myanmar yang sangat kompleks dan terjadi dalam waktu sangat lama. Cikal bakal konflik sudah muncul saat berdiri kerajaan Arakan di daerah yang ditempati oleh etnis Rohingya di Myanmar (dulu bernama Burma) bagian selatan. Perbedaan etnis, agama, bahasa, kondisi ekonomi, bahkan juga sikap politik, membuat etnis Rohingya mengalami persekusi, bullying, bahkan genosida. Kampung-kampung mereka dibakar, dan mereka diusir sehingga kemudian mengungsi ke berbagai tempat di negara-negara yang berdekatan, seperti Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Pada puncak konflik, yakni tahun 2017, Aceh menerima para pengungsi Rohingya dan memperlakukan dengan baik.

Namun, pada November 2023, ketika kapal-kapal kayu mereka datang kembali ke Aceh, terjadi penolakan oleh sebagian masyarakat Aceh. Ada hipotesis kami yang mencoba menjawab, mengapa mereka ditolak. 

Pertama, ketidaksiapan masyarakat Aceh menerima lebih banyak pengungsi, termasuk problem ekonomi yang terjadi di Aceh, salah satu provinsi yang menurut seorang tokoh akademis setempat: “dulu menjadi modal Indonesia, sekarang kehabisan modal”. Ini sebuah ironi yang sangat dalam sebenarnya. Dalam kondisi ekonomi Aceh yang memburuk, rupanya mereka mengira bahwa pembiayaan pengungsi akan dibebankan kepada masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Padahal, tanggung jawab pembiayaan mereka sebenarnya ada di UNHCR sebagai lembagar resmi PBB yang menangani pengungsi.

Kedua, maraknya framing negatif yang tersebar di media sosial, sehingga muncul demonisasi terhadap etnis Rohingya. Entah siapa yang mencoba membuat framing negatif tersebut dan untuk tujuan apa. Nyatanya, pemberitaan tentang pengungsi Rohingya beberapa bulan yang lalu, memang sangat viral. Lepas dari itu … masyarakat Aceh sebenarnya sangat baik, terbuka, ramah dan open mind. Ketiga, sebagian masyarakat memandang, bahwa mereka sebenarnya sudah mendapatkan tempat di Bangladesh, untuk apa pergi ke Aceh? 

Memang berbeda dengan tahun 2017, gelombang kedatangan pengungsi ke Aceh pada tahun 2023 ini tidak berasal dari Myanmar, namun dari Bangladesh. Karena itu, banyak orang mengira bahwa Rohingya itu berasal dari Bangladesh. Saat konflik dahsyat pecah di Myanmar, sekitar 1 juta warga Myanmar menyeberang sungai ke Bangladesh. Negara tersebut memberikan tanahnya di Cox’s Bazzar untuk ditempati oleh pengungsi Rohingya. Bertahun-tahun mereka menempati kamp pengungsi di Cox’s Bazzar. Akan tetapi, kondisi kamp yang sangat buruk, ketidakpastian hidup mereka, serta tingkat kriminalitas yang sangat tinggi, membuat sebagian dari mereka takut dan akhirnya berusaha melarikan diri untuk mencari suaka di negeri orang. Adanya indikasi sindikat perdagangan orang yang menunggangi kemalangan pengungsi Rohingya demi keuntungan pribadi, membuat simpati terhadap pengungsi Rohingya menjadi berkurang. 

Keempat, perbedaan sosial budaya juga memicu kerisihan sebagian masyarakat Aceh. Misal, ada beberapa pengungsi yang tidak mau makan karena rasanya kurang pedas, dan konon membuang makanan yang diberikan warga ke laut.

Apakah hipotesis itu benar? Untuk itulah kami datang, untuk mengetahui, ada apa sebenarnya di balik penolakan masyarakat Aceh ini. Apakah benar karena perilaku pengungsi yang ngelunjak, tidak bersyukur, tidak tahu diri dan ingin mendapatkan tanah di negeri in? Atau semata karena kesalahpahaman yang dipicu oleh berita yang kurang bisa dikonfirmasi kebenarannya? Kami ingin melakukan riset tentang sebab-sebab, pola, dan kemungkinan efek jangka pendek maupun jangka panjang akibat prasangka atau prejudice masyarakat Aceh dan Indonesia secara umum terhadap pengungsi Rohingya tersebut. 

Secara umum, kita kan tahu, bahwa prejudice adalah asal muasal dari sikap diskriminasi, yang jika tidak dinetralkan, maka akan memunculkan persekusi, dan ujungnya adalah genosida. Inilah yang telah terjadi di Myanmar, di mana selama beberapa dekade terakhir ini, persekusi terhadap etnis ini terus terjadi. Etnis Rohingya, menurut PBB, adalah salah satu etnis di dunia paling teraniaya, paling dizalimi dan paling potensial untuk musnah karena genosida. Dunia harus tegas untuk bisa menekan rezim Junta Militer di Myanmar untuk menerima kembali etnis Rohingya dan mengembalikan hak-hak yang mereka rampas. 

Perjalanan ke Pidie
Awalnya rencana kami adalah mendatangi pengungsi di Balai Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh. Di sana ada sekitar 200an pengungsi Rohingya yang ditampung di basement sejak November 2023 kemarin. Para pegiat Rumah Relawah Remaja (3R), sudah berbulan-bulan menjadi LSM lokal yang membantu UNHCR/IOM dengan melakukan kegiatan psikososial di sana.

Namun, sehari sebelum kami mendatangi mereka di BMA, tiba-tiba dik Rahminia Rahim, a.k.a.  Ammy Cheery-Ozon, founder Rumah Relawan Remaja (R3) mengabari bahwa mereka secara mendadak dipindah ke kamp pengungsi di Lhokseumawe. Kami agak panik, karena Lhokseumawe cukup jauh dari Banda Aceh. Perjalanan darat memakan waktu sekitar 7 hingga 8 jam. Padahal, waktu kami sangat terbatas, hanya seminggu di Banda Aceh. Dan sudah ada sederet agenda yang tak mungkin kami geser.
"Bagaimana kalau kamp Pidie, dik Ammy?" Saya mencoba melempar saran. Alasannya, untuk kamp di luar Banda Aceh, yang terdekat adalah Pidie, sekitar 3 jam perjalanan darat. Para pengungsi Rohingya di Aceh memang tersebar di berbagai tempat di Aceh, seperti Pidie, Lhokseumawe, Meulaboh (yang baru-baru ini dikabarkan menghilang dari tenda pengungsian), juga Sabang. Yang paling memungkinkan tentu adalah kamp di Pidie.

Suasana kamp pengungsi Mina Raya di Pidie

Alhamdulillah Ammy setuju dan segera gerak cepat. Lobi sana sini mengurus perizinan. Kami juga harus mencari mobil yang bisa disewa untuk perjalanan ke Padang Tiji, Pidie. Mencari rental mobil yang mau lepas kunci untuk waktu yang sangat mendadak juga tidak mudah. Beruntung kami dibantu oleh Rahmat Aulia, Bendahara FLP Wilayah Aceh yang juga seorang ustadz di sebuah Dayah (pondok pesantren) di Banda Aceh--thanks a lot to Tengku Rahmat Aulia for your help

Dibantu Ammy, kami menghubungi UNHCR, IOM dan LSM lokal yang mengelola kamp Pidie. Bu Eny Purwandari pun sibuk mengontak kampus, untuk mengurusi surat-surat yang dibutuhkan. Berbeda dengan kamp BMA, Kamp Pidie sudah dikelola lebih teratur oleh IOM-UNHCR, sehingga tentu perlu perizinan yang lebih ketat.

Pengubahan jadwal yang terjadi secara mendadak ini bikin lumayan sakit kepala, hahaha... Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bantuan teman-teman di Aceh sangat bermanfaat untuk kami. Teman-teman di Aceh! Catat ya. Ternyata mereka dengan tangan terbuka siap membantu kami memasuki kamp Rohingya.

Singkat kata, Bang Faizal Rahman, staf UNHCR di Pidie akhirnya memberikan acc tim kami untuk masuk ke kamp. Sekitar 3 jam kami menempuh perjalanan dari Banda Aceh ke Pidie. Tujuannya melakukan assesment kondisi psikologis para pengungsi. Kami sempat pula bertemu dengan Kak Muna, salah seorang relawan di Unicef yang awalnya hendak mengantar kami, namun beliau sedang banyak tugas dengan anak-anak dampingannya.

Akhirnya, setelah melewati jalan tol, lalu jalan yang berlika-liku, naik turun, menembus hutan (tapi jalannya mulus kok), sampailah kami di kamp pengungsi di Mina Raya. 

Kamp Pengungsi Mina Raya
Suasana Kamp Mina Raya

Kamp pengungsi ini sebenarnya merupakan bangunan milik Yayasan Mina Raya di Padang Tiji, Kabupaten PIdie, Aceh. Ada sekitar 275 pengungsi Rohingya tinggal di sana, sebagian sudah di sana sejak beberapa tahun yang lalu, namun ada pula yang baru datang saat gelombang kedatangan pengungsi akhir tahun 2023 kemarin. Penampungan sementara untuk pengungsi Rohingya itu langsung dikelola oleh UNHCR dan IOM, dibantu oleh lembaga lokal seperti Yayasan Geutanyoe dan juga Yayasan Kemanusiaan Madani Indonesia (YKMI).

Begitu mobil sewaan kami masuk ke halaman, kami bertemu dengan beberapa remaja yang sedang duduk-duduk di gasebo halaman. Saya kira mereka warga setempat, karena penampilannya cukup bersih dan rapi. Namun, ternyata mereka adalah pengungsi. Ada beberapa di antara mereka yang bisa bahasa Indonesia dan Inggris, meski sepatah dua patah. Mereka kemudian mengantar kami ke dalam, bertemu dengan sekuriti, yang langsung menyambut kami dengan ramah, karena tahu bahwa kami telah mendapatkan izin dari UNHCR.

Kami sempat terpana melihat tanah seluas beberapa ribu meter persegi yang dengan beberapa bangunan memanjang seperti barak-barak militer itu. Tempat itu relatif bersih. Tak ada sampah berserakan. Dengan mudah kami bisa bertemua dengan para pengungsi. Mereka terlihat sopan, tenang dan murah senyum. Tak ada yang agresif. Cukup banyak anak-anak dan remaja. Juga ibu-ibu dan lansia. Ada beberapa pria dewasa, rata-rata berjenggot agak panjang. Meski sopan dan murah senyum, terlihat pancaran mata mereka lelah, sedih dan tertekan.



Anak-anaklah yang paling antusias mengerumuni kami. Mereka sangat antusias menyambut kami. Kami pun segera melakukan assesment di sebuah ruang di barak paling depan. Menurut info dari pengelola, di kamp itu terdapat 2 bayi, 20 anak-anak usia 1-10 tahun, 27 remaja usia 11-17 tahun, juga 26 orang remaja hingga dewasa muda berusia di atas 17 hingga 35. Selain itu adalah orang-orang dewasa madya dan lansia. Bu Eny segera mengumpulkan anak-anak kecil usia sekitar 5 hingga 10 tahun, yang langsung gembira ketika disodori kertas dan krayon untuk menggambar. Saya sempat melirik gambar-gambar yang mereka goreskan. Rata-rata mereka menggambar rumah. Ada yang pula yang menggambar bendera di depan rumah, yaitu bendera Indonesia berdampingan dengan bendera Myanmar.


“Mereka ingin pulang,” bisik Bu Eny. Saya ingat cerita Ammy saat memberikan pilihan kepada beberapa anak pengungsi Rohingya, lebih pilih mana: Bangladesh, Myanmar atau Indonesia. Mereka ternyata memilih Myanmar. Namun, orang-orang dewasa yang saya tanya di kamp tersebut, menjawab bahwa mereka takut kembali ke Myanmar, karena ancaman pembunuhan.

Saya kebagian melakukan assesment ke remaja dan orang dewasa yang ada di sana, khususnya ibu-ibu. Alat ukur yang saya pakai adalah Depression, Anxiety and Stress Scales (DASS). Kebayang kan, bagaimana rumitnya berwawancara dengan mereka, karena mayoritas mereka berbicara bahasa Rohingya. Namun ada beberapa refugees yang lancar bahasa Inggris dan sedikit bahasa Indonesia. Mereka yang berjasa membantu intepretasi kuisoner kami. Tapi ya tetap suliiit, karena banyak istilah psikologis yang mereka tidak paham. Akhirnya, bahasa Tarzan pun mendominasi hehehe.

Saya sangat bersyukur, karena dipertemukan dengan Arman, perempuan usia 25 tahun yang sangat lancar berbahasa Inggris dan dikontrak oleh UNHCR sebagai interpreter atau penafsir bahasa yang menghubungkan antara pengungsi dengan UNHCR.

Arman (kerudung hitam, di belakang laptop)


"I'm from Myanmar, go to Bangladesh, then to Indonesia. The sea journey to Indonesia is very heavy and difficult.  I have a phobia of seeing the sea," ujar Arman (25 tahun), perempuan cantik yang karena menonjol kecerdasannya, sempat mendapat keistimewaan kuliah hingga semester 6 saat menjadi pengungsi di Bangladesh. Saya, Arman dan Ammy sempat ngobrol cukup lama, menggali informasi tentang para pengungsi. Saya merasakan betul kegundahan Arman yang memiliki cita-cita tinggi, namun terbentur kenyataan bahwa dia adalah seorang pengungsi, menggunakan identitas sebagai refugees, tidak punya ID, tidak memiliki kewarganegaraan, dan entah akan tinggal di mana di masa depannya.
Nur Alam dan sepupunya, sendirian di Indonesia terpisah dari keluarganya

Saya juga bertemu dengan beberapa remaja laki-laki yang sedang asyik menulis. "I'm alone here, my parents still in Bangladesh," kata Nur Alam, remaja usia 15 tahun, sendu. Dia tunjukkan buku tulisnya yang sudah hampir habis. Dia minta suatu saat saya mengirimkan buku tulis kosong.

Ada juga Anis, pria berusia 30an tahun, yang mengaku ingin pergi ke Amerika Serikat, karena mendengar informasi bahwa di sana warga asing bisa mendapatkan suaka dan kewarganegaraan. Sebagai informasi, Indonesia memang belum meratifikasi kewajiban menerima pengungsi dan memberi suaka. Karena itu, sudah jelas bahwa Indonesia bukan merupakan tujuan bagi pengungsi Rohingya.
Sebelum pulang, kami bertemu dengan keluarga Anis, yang tinggal di barak yang disekat dengan terpal membentuk ruangan dengan ukuran sekitar 3 kali 5 meter persegi. Saya semakin takjub, karena ruangan ternyata cukup bersih. Lantai semennya tampak mengkilat karena sering dipel. Meski banyak baju-baju digantung, tak tercium aroma busuk di sana.

Rohingya sering dicitrakan kumuh, tak beradab, udik dan kampungan. Di depan mata kami, mereka justru terlihat berbeda dengan yang dicitrakan.

Sebagai bangsa mereka berhak hidup merdeka dan dihargai hak-haknya sebagai manusia, bukan? Jika kita tak mampu menampungnya, minimal kita tidak menyematkan prasangka buruk yang membuat mereka semakin terdiskriminasi dan dipersekusi.

Jelang maghrib, kami pulang ke Banda Aceh, menempuh jalan berlika-liku. Namun saya tahu, kehidupan para pengungsi Rohingya tersebut jauh lebih banyak lika-likunya. 

BERSAMBUNG KE BAGIAN 5

Posting Komentar untuk "Melukis Cinta di Bumi Aceh 4: Kamp Pengungsi Rohingya di Pidie"