Widget HTML #1

Yuk, Berenang Dalam Lautan Ilmu!


Jika ada hal yang membuat para ulama kita sangat berminat mendapatkannya, hal tersebut barangkali adalah ilmu. Kisah para ulama besar dalam mencari ilmu selalu membuat kita tak habis pikir, betapa bersegeranya mereka, bersusah payah mencari ilmu, bahkan harus menempuh jarak ribuan kilometer. Imam Bukhari misalnya. Beliau yang memiliki nama asli Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, lahir pada tahun 256 H atau 810 M di Bukhara , sekarang merupakan bagian dari Uzbekistan. Beliau berjalan kaki atau mengendarai kendaraan masa itu (kuda atau unta) menuju Mekah, yang jaraknya lebih dari 4 ribu kilometer. Lalu bepergian pula ke kota-kota lain seperti Madinah, Damaskus, Baghdad, Kairo dan sebagainya, dalam rangka belajar pada para periwayat hadist. Semasa hidupnya,  puluhan ribu jarak yang beliau tempuh dengan keterbatasan alat transportasi di masa itu.

Imam Syafi'i, atau yang memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, lahir pada tahun 150 H, atau 767 Masehi di kota Gaza, Palestina. Kota yang saat ini sedang mengalami musibah kemanusiaan yang kejam tiada tara, yakni karena genosida yang dilakukan penjajah Israel kepada warga Gaza. Sejak kecil, Imam Syafi'i sudah merantau untuk menuntut ilmu. Ibunya, Fatimah, membawanya ke Mekah untuk berguru kepada para ulama di sana. Lalu pada usia remaja, sekitar 13 tahun, beliau melanjutkan menuntut ilmu kepada Imam Malik dan para ulama besar di Madinah. Beliau juga sempat berguru ke para ulama di Baghdad, dan akhirnya menetap di Mesir hingga wafatnya.  

Salah satu kata-kata Imam Syafi'i tentang ilmu yang sangat terkenal adalah: "Jika kamu tidak tahan terhadap lelahnya belajar, maka kamu akan mendapatkan bahayanya kebodohan."

Jika kita melihat fadilah mencari ilmu, maka kita pasti pun akan memiliki hasrat membara yang sama. Apa yang membuat kita tak 'rakus' dalam perkara  ilmu? Betapa banyak kebaikan yang Allah SWT janjikan pada insan yang selalu berenang dalam lautan ilmu. Orang yang senantiasa mengalokasikan sebanyak mungkin waktu untuk belajar, membaca, menulis, dan mengajar.

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Ada amal baik seorang muslim yang akan tetap mengalir meskipun dia telah meninggal. Yaitu, ilmu yang dia ajarkan, anak yang saleh, karya yang dia wariskan, atau masjid yang dia bangun, rumah yang dibangun untuk musafir, saluran irigasi yang dia buat, dan sedekah yang dia keluarkan ketika dia masih hidup dan sehat." (H.R. Ibnu Majah, derajat hasan).

Bayangkan, ketika seseorang sudah wafat, tentu dia tak lagi bisa berbuat kebaikan. Tetapi jika beliau meninggalkan banyak ilmu yang bermanfaat, maka selama ilmu itu masih memberikan kemanfaatan bagi banyak orang, pahala akan terus mengalir bak 'passive income' ke alam kubur. Tahu-tahu, dia akan terkejut ketika mendapatkan neraca pahalanya sangat berat saat Yaumil Akhir kelak.

Agar Ilmu Bisa Menjadi "Passive Income"

Tentu tidak serta merta sebuah ilmu bisa menjadi passive income di akhirat nanti. Sehebat apapun ilmu seseorang, tentu tidak akan menjadi sebab pahala terus mengalir di alam kubur jika ilmu tersebut tidak diajarkan sehingga bermanfaat buat orang lain.

Sahl bin Mu'adz meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang mengajarkan ilmu, mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun." (HR. Ibnu Majah, derajat hasan).

Sahl bin Sa'd meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seseorang yang memperoleh hidayah/petunjuk melalui dirimu, itu lebih baik bagimua dari kekayaan yang berlimpah." (H.R. Abu Dawud, derajat shahih).

Saya ingat, salah seorang guru saya dahulu pernah berpesan kepada saya, "Yen, dalam kondisi apapun, sempatkan shalat dhuha, meski sesibuk apapun." Hingga saat ini, saya berusaha untuk terus mengamalkan pesan guru saya tersebut. Tentu tidak setiap hari saya bisa shalat dhuha. Tetapi saya akan berusaha sebisa mungkin menjalankan amalan tersebut. Sekarang saya jadi berpikir, betapa banyak pahala mengalir pada guru saya tersebut selama saya terus melakukan shalat dhuha sesibuk apapun saya.

Maka, para ulama, ustadz, penceramah, atau pendakwah, mereka akan memiliki peluang untuk mendapatkan "passive income" tersebut saat apa yang mereka sampaikan ternyata memberi manfaat bagi para muridnya. Namun, sekadar berbicara di depan forum tentu sangat terbatas. 

Abdullah bin Ahmad Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya, "Ayah, apakah saya lebih baik salat tahajud atau menulis?" Jawab ayahnya, "Menulislah." Imam Ahmad bin Hanbal menjawab demikian karena dengan menulis, ilmu akan lebih bermanfaat buat orang lain dan penulis akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang membaca dan mengamalkannya. Sementara shalat tahajud, pahalanya hanya untuk dirinya sendiri.

Menulis sebuah buku akan membuat kita memiliki semacam "prasasti" yang ditinggalkan. Memang benar, berbicara di depan forum dan disimak melalui online, seperti Youtube, atau kanal-kanal media sosial lain juga akan menimbulkan efek massal, yang membuat konten kita disimak oleh lebih banyak orang. Tetapi menurut hemat saya, membaca sebuah buku yang sistematis, akan jauh lebih memberikan efek terserapnya sebuah ilmu secara lebih sistematis dibandingkan dengan menonton video. Silakan baca tulisan saya tentang hal itu: Malas Baca, Lebih Suka Nonton Video, Ini Ruginya, Sis, Bro!

Nah, dengan banyaknya fadilah tentang menuntut ilmu, mengapa kita tidak segera saja mencebur dan berenang di lautan ilmu?

*maroji': Al Matjar Ar-Rabih, Imam Ad-Dimyathi

Posting Komentar untuk "Yuk, Berenang Dalam Lautan Ilmu!"