Benarkah Fiksi Penting Untuk Tumbuh Kembang Anak?


Halah, cuma buku cerita fiksi, apa pentingnya buat anak? Menghabiskan waktu saja. Bikin mereka tidak konsentrasi belajar. Bikin anak jadi bodoh. Begitulah beberapa pendapat dari sebagian orang tua saat kami menyodori mereka buku-buku cerita, seperti novel atau cerpen untuk anak. Banyak di antara mereka menolak, dengan berbagai alasan. Di antaranya khawatir bahwa buku-buku cerita itu akan membuat anak jadi malas belajar. Ada juga yang menganggap bahwa keberadaan buku-buku fiksi itu akan membuat anak tenggelam dalam lautan imajinasi, dan akhirnya menjadi anak yang tersebut kurang gaul.

Tentu saya tidak menerima atau membantah mentah-mentah. Bisa jadi alasan-alasan tersebut betul, tetapi tentu saja argumen tersebut tidak bisa kita benarkan begitu saja. Perkenankan saya memaparkan sebuah argumen, mengapa kita justru harus mendekatkan anak-anak kepada buku cerita sebanyak-banyaknya. Membiarkan mereka berenang dalam samudera fiksi dengan sepuas-puasnya. Namun tentu saja, tidak sembarang cerita, namun cerita yang menginspirasi anak untuk menjadikan karakter baik pada cerita tersebut sebagai model dalam berperilaku. Inilah kata kuncinya.

Teori Social Learning

Ada satu teori dari Albert Bandura, yang sering disebut sebagai Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial). Inti dari teori ini menarik untuk kita cermati. Menurut Bandura, sebenarnya seorang anak adalah peniru sejati. Mereka belajar meniru perilaku yang mereka amati, terutama perilaku-perilaku yang mendapatkan penguatan atau penghargaan(reinforcement) setelah melakukan kebaikan, berjuang meraih cita-cita, atau bertahan dalam kebenaran meskipun harus menghadapi banyak tantangan. Orang-orang semacam ini adalah role model yang menjadi patokan atau teladan bagi anak. Dan ternyata, tak hanya tokoh nyata saja yang bisa menjadi role model, tetapi juga tokoh-tokoh dalam dunia fiksi. Inilah yang disebut dengan vicarious reinforcement, yaitu penguatan dengan cara melakukan pengamatan terhadap karakter orang lain, baik karakter itu ada secara nyata, maupun hanya karakter imajinatif.

Sebagai contoh, dalam cerita Cinderella. Dongeng Cinderella mengisahkan si gadis cantik yang harus bekerja keras di bawah ibu tiri dan dua kakak tirinya yang kejam. Saking seringnya berada di dapur, tubuhnya penuh dengan abu, sehingga dipanggillah dia sebagai Putri Abu (cinder artinya abu). Meskipun ada yang mengatakan bahwa Cinderella sebenarnya disadur dari cerita rakyat di China pada tahun 860, namun kisah ini menjadi sangat terkenal setelah ditulis oleh Charles Perrault, seorang penulis Perancis. Di sini saya tidak akan membahas soal asal-usul dongeng tersebut, ya. Intinya, Cinderella yang tetap berusaha menjadi anak baik, rajin, berbudi luhur, meski hidup dalam penderitaan, akhirnya berhasil menjadi istri dari seorang pangeran.

Sebenarnya, yang mendapatkan reinforcement berupa reward sebagai istri pangeran adalah tokoh Cinderella. Tetapi, pembaca dongeng tersebut, yang ikut meresapi bagaimana karakter Cinderella berjalan dalam plot tersebut, ikut merasakan terwakili (vicarious) dalam reinforcement yang didapatkan Cinderella tersebut.

Jadi, mengapa membaca fiksi bisa membentuk karakter baik pada anak? Ya, karena membaca fiksi bisa menghadirkan tokoh-tokoh teladan, seperti hero, tokoh yang sabar, jujur, dan berani. Melalui pendalaman terhadap karakter tersebut, anak-anak bisa dapat diinternalisasi anak. Anak mempelajari konsekuensi dari perilaku baik & buruk melalui cerita. Contoh: Saat membaca cerita tentang anak yang suka menolong dan kemudian mendapat kebahagiaan, anak terdorong meniru.

Teori Perkembangan Moral Kohlberg

Selain dari teori Social Learning Bandura, ada teori lain yang mestinya membuat kita mantap untuk memperkenalkan buku fiksi kepada anak, yaitu teori perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg. Sebagaimana kita tahu, Kohlberg menjelaskan bahwa tahap-tahap perkembangan moral terdiri dari 3, yaitu pra konvensional, konvensional dan pascakonvensional. Pada prinsipnya, orang memahami moral dari awalnya takut hukuman, kesepakatan, hingga karena memegang prinsip etika yang bersifat universal.

Lalu, apa hubungannya dengan cerita fiksi? Dalam cerita fiksi, khususnya fiksi anak, terkandung konflik antara tokoh antagonis dan protagonis. Dari sinilah secara moral anak bisa belajar membedakan benar-salah, adil-tidak adil, dan melatih bagaimana dia memahami pentingnya moral dalam kehidupan seseorang.

Berdasarkan konsep inilah saya akhirnya berpendapat, bahwa konflik yang "hitam putih" dalam cerita fiksi anak ini sebenarnya cukup penting. Pada cerita-cerita fiksi untuk dewasa, memang kita sering melihat para penulis mencoba memperlihatkan bahwa orang baik dan orang jahat itu seringnya bercampur baur. Karena pada kenyataannya, memang ada orang yang tampaknya jahat namun sebenarnya baik, atau sebaliknya, tampaknya baik, namun sejatinya jahat. Itulah realita di masyarakat. Namun, pada anak, saya tetap berkeyakinan, bahwa tokoh antagonis dan protagonis harus jelas posisinya, karena anak masih dalam tahap prakonvensional dalam memahami moral. 

Teori of Mind (ToM)

Masih ada sejumlah teori psikologi yang bisa menguatkan alasan mengapa kita harus memperkenalkan fiksi pada anak. Di antaranya adalah Theory of Mind (ToM). Teori pikiran pada prinsipnya meyakini bahwa pemahaman atas keyakinan, keinginan, niat, emosi, dan pikiran orang lain mungkin berbeda dari diri sendiri, dan memahami kondisi mental tersebut pada individu lain sangat penting dalam membangun interaksi sosial. Apakah membaca cerita fiksi bisa melatih kemampuan kita untuk memahami perasaan, pikiran, motivasi orang lain? Tentu. Dengan membaca fiksi, anak belajar melihat dunia dari perspektif tokoh, sehingga meningkatkan empati dan kepedulian sosial.

Teori Psikososial (Erikson)

Kita sudah pernah membahas teori Psikososial secara cukup mendalam di blog ini. Jika belum, silakan baca di sini: Memahami 8 Tahap Perkembangan Anak Menurut Teori Psikososial Erikson.

Menurut teori ini, anak-anak yang sudah mengenal buku, sedang dalam tahap initiative vs guilt (usia 3-6), dan juga industri vs inferioritas (usia 6-12). Buku fiksi merupakan stimulus sangat penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri, identitas positif, serta nilai-nilai sosial. Agak beririsan dengan teori Social Learning Bandura, cerita fiksi memberi kesempatan anak meniru inisiatif tokoh, menghadapi tantangan, dan menghayati hasil positif. 

Intinya, membaca cerita fiksi ternyata sangat penting untuk anak, agar tumbuh kembangnya, khususnya dalam aspek psikis, bisa optimal. Tetapi tentunya tidak sembarang fiksi. Melainkan fiksi anak yang memenuhi syarat seperti memiliki pesan moral, tidak bias antara kebaikan dan keburukan, dan tentunya memiliki plot yang kuat, sehingga anak bisa menikmati dan masuk ke dalam karakter tokoh protagonis yang akan menjadi role modelnya.

Posting Komentar untuk "Benarkah Fiksi Penting Untuk Tumbuh Kembang Anak?"

banner