Buku, Antara Sepiring Makanan dan Meditasi



Andai Buku adalah Sepiring Makanan

Apa yang terbetik di benak anda ketika bermaksud banting setir menjadi penjual makanan? Pertama, mungkin, adalah jenis makanan apa yang akan anda jual. Suatu saat, anda barangkali pernah mendatangi sebuah restoran yang sangat mengesankan. Sayangnya, hidangan yang tersaji di sana, nyaris semua produk koki supersenior yang pengelolaannya begitu rumit, di mana anda tentu membutuhkan banyak hal—yang sebagian belum anda kuasai—untuk bisa mensejajari restoran tersebut. Anda tentu akan berpikir realistis, yakni memilih makanan yang anda kuasai penggarapannya.

Lantas, anda akan menurunkan standar, kepada jenis makanan yang lain. Bakso, makanan padang, makanan tegal, mie ayam, steak... atau yang lain. Namun, pada saat itu, anda akan terbentur pada sebuah fakta: betapa banyak warung yang telah dibuka khusus untuk menjual makanan tersebut. Jika anda hanya sekedar me too, akan ada sebuah persaingan yang lumayan berat. Sehingga, satu-satunya pilihan yang diambil adalah, anda harus bisa menemukan sebuah menu yang unik, yang menarik, yang tidak terpikirkan oleh orang sebelumnya.

Namun di dalam ini, anda perlu hati-hati. Keunikan itu tidak lantas membuat anda terlena dan yakin, bahwa makanan anda pasti laku. Harus ada cita rasa khusus yang membuat orang merasakan istimewanya sebuah makanan, yaitu rasa lezat yang memanjakan lidah. Seunik apapun sebuah masakan, sebagus apapun penyajiannya, rasanya tak akan ada orang yang mau melahapnya jika rasanya hanya sekedar asin, bukan? Bukankah tujuan utama seorang pembeli makanan adalah, rasa lezatnya itu?

Dan sebagai seorang pedagang yang baik, tentunya anda tidak akan menjual makanan yang tidak sehat dan bergizi, bukan? Akhir-akhir ini, banyak para produsen yang tidak peduli pada kesehatan dan gizi yang terkandung di dalam hasil produksinya. Asal lezat—meskipun isinya hanya sekadar sampah—bahkan mungkin bahan kimia berbahaya, dengan tenang mereka melepasnya ke pasaran. Yang penting duit terkumpul, tak peduli di tubuh konsumen, makanan yang kita jual berubah menjadi sekumpulan benda asing yang merugikan.

Ada kalanya segala sesuatu itu bisa dibandingkan, termasuk antara buku dan sepiring makanan. Agar memuaskan konsumen, baik penyaji makanan maupun seorang penulis buku, harus bisa memenuhi seperangkat persyaratan yang saya sebutkan (sebagian) di atas.

Andai Menulis Buku adalah Sebuah Meditasi


Namun menulis sebuah buku, ternyata lebih kompleks daripada sekadar memasak menu makanan. Pada saat menulis buku, keseimbangan antara otak, ruh dan jasad lebih diutamakan. Terutama jika kita ingin menjadi penulis buku yang ‘tidak sembarang penulis buku’, yakni penulis yang visioner dan memiliki keyakinan besar, bahwa dengan menulis, sebenarnya ia tengah menyebarkan visinya tersebut kepada pada pembaca. Meyakini bahwa menulis adalah salah satu misi hidupnya. Kita bisa melihat, bahwa visi hidup seorang penulis, akan terlihat jelas pada corak karya yang dihasilkannya.

Karena menulis adalah sebuah ‘tugas berat’, maka dibutuhkan selongsong energi yang juga tidak remeh. Menyiapkan sebuah karya tulis, adakalanya mirip sebuah proses meditasi. Proses yang akan mengantarkan pada puncak konsentrasi, yakni kondisi di mana terjadi efisiensi energi yang optimal pada otak kita. Kondisi di mana kita akan bisa menorehkan berbagai kejutan spesifik yang terkadang tidak kita sadari tahapan-tahapan yang terlampaui. Inilah yang oleh Goleman disebut sebagai keadaan ‘flow’. Keadaan yang sering dialami para juara saat menoreh puncak prestasinya.

Bagaimana cara agar kita bisa mendapatkan kondisi semacam itu? Jawabnya adalah pada ketrampilan kelas tinggi, yang harus kita usahakan setiap hari. Jadi, menulis buku—yang tidak sekadar buku, ternyata sebuah akumulasi dari kebiasaan menulis—yang membutuhkan waktu cukup lama. Bagaimana dengan anda?

2 komentar untuk "Buku, Antara Sepiring Makanan dan Meditasi"

Comment Author Avatar
Saya setuju mbak! untuk menulis satu cerpen saja misalnya, kita mesti menguras energi, kadang suka mentok di tengah,bigung atau males, nah kalo kayak gitu gimana cara mengatasinya?
Comment Author Avatar
gita, menulis itu 'berjuang', mengutip kata-kata Putu Wijaya. Jadi memang butuh 'jihad' tersendiri. Butuh bekal: mental, spiritual, ilmu / wawasan yang luas. Namun, jangan merasa takut untuk mencoba. Ibarat shalat, bagi orang yang belum bisa shalat, membaca bismillah saja insya Allah sudah diterima. Namun, tentu kita nggak akan seperti itu terus kan? harus belajar-praktek, belajar-praktek sampai shalat kita benar-benar berfungsi sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar...
Jadi, ayo terus menulis! Saya juga masih belajar kok, termasuk belajar shalat lebih baik, lebih khusyuk:-)

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!