Makna Aqidah

Ditulis oleh YMA (Yeni Mulati Ahmad)

Sobat, tentu selama ini kita sering mendengar kata ‘akidah’. Misalnya, ketika ada orang pindah agama karena mengikuti pacarnya, orang mengatakan, “Akidahnya rapuh.” Atau, jika ada orang yang memanfaatkan agama untuk mendapatkan materi, ia akan disebut ‘menjual akidah.’ Tetapi, apa sebenarnya akidah itu? Yuk, kita bahas bareng-bareng!
Akidah berasal dari kata ‘aqada – ya’qidu –  ‘aqdan – aqidatan. ‘Aqdan berarti simpul, ikatan, atau perjanjian yang kokoh. Setelah terbentuk menjadi ‘aqidah, artinya menjadi keyakinan. Jadi, Aqidah adalah keyakinan yang tersimpul kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Menurut Hasan al-Banna, “Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara wajib yang diyakini kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.”
Untuk itu, kita mengenal akidah yang benar, juga akidah yang sesat. Misalnya, suatu hari Sobat diberi jimat oleh dukun, lalu Sobat percaya bahwa dengan jimat itu Sobat terhindar dari berbagai malapetaka, dan sangat yakin, serta merasa tentram jika jimat itu ada bersama Sobat. Itulah akidahmu, akidah yang sesat, tentu saja. Karena keterikatan hati bukan dengan Allah SWT, tetapi kepada jimat yang sekadar benda ciptaan Allah SWT. Na'udzubillah.
Tetapi, jimat tuh kadang bisa memberi kekuatan, lho! Ah, yang bener. Terkadang keris, batu giok, permata dan sebagainya yang dipandang sebagai jimat, itu bisa memberi semacam ‘perlindungan’ karena ada jin yang masuk di dalamnya. Dan jin itu tak bisa melakukan semua itu kecuali atas izin Allah azza wa jalla. Kalau kita percaya bahwa jin itu bisa memberikan manfaat ataupun mudharat kepada kita, berarti kita sudah menyekutukan Allah, atau menciptakan tandingan-tandingan Allah. Dan itu adalah kesirikan, yang nggak bakal diampuni oleh Allah.
Bagaimana akidah yang benar itu? Menurut DR. Shalih al-Fauzan, akidah secara syara berarti iman (percaya) kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari akhir, serta kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Itulah yang disebut sebagai rukun iman.
Sedangkan menurut DR. Ibrahim al-Buraikan, kata akidah dimaknai sebagai perbuatan hati, yakni ‘keimanan yang enggak mengandung kontra.’ ‘Iman’ berarti pembenaran, sedangkan ‘tidak mengandung kontra’ berarti tidak ada sesuatu selain iman dalam hati sang hamba. Kontra-kontra itu bisa meliputi keraguan, dugaan, waham, ketidaktahuan, kesalahan, kelupaan dan sebagainya. Kamu yakin bahwa Allah itu yang memberi rezeki, tetapi saat kamu terus menerus dilanda kemiskinan, kamu jadi ragu, apa benar sih, Allah adalah pemberi rezeki. Itu berarti keimananmu sedang mengandung kontra, berupa rasa ragu.

Akidah Kita Harus sama dengan Rasul dan Sahabat
Sobat, ternyata dalam perkembangannya, akidah kaum muslimin itu juga bisa melenceng. Padahal, para ulama sudah bersepakat, bahwa akidah yang benar itu harus sama dengan akidah yang dianut oleh ahlus-sunnah wal jama’ah. Siapa mereka? Yaitu Rasulullah, Sahabat, Tabi’in (orang-orang yang bertemu Sahabat tetapi tidak bertemu Rasulullah) dan Tabi’uttabi’in (orang-orang yang bertemu Tabi’in tetapi tidak bertemu Sahabat). Mengapa mereka? Ya. Karena merekalah yang disebut dengan generasi salaf (artinya mendahului yang lain dalam waktu atau zaman). Kaum salaf itu adalah khairu ummat, alias sebaik-baik umat. Rasulullah sendiri yang menjamin kebaikan mereka dalam sabdanya, “Sebaik-baik zaman adalah zamanku, kemudian zaman sesudahku, kemudian zaman sesudahnya lagi.” (HR. Muslim).
So, aqidah, yang merupakan pondasi dari ajaran agama Islam, harus merupakan sesuatu yang tidak boleh dirubah-rubah. Rasulullah telah memberikan jaminan, bahwa penerapan akidah yang paling baik adalah pada 3 zaman, yaitu zaman Rasulullah, zaman sesudah Rasulullah dan zaman sesudah zaman itu. Lho, emang ada orang yang menerapkan akidah nggak seperti mereka? Ada, banyak malahan. Misalnya, ada sekelompok orang yang mengaku Islam, tetapi mereka hanya percaya kepada Allah, dan enggak mau mengikuti sunnah Rasul, itulah yang disebut dengan gerakan inkarus-sunnah. Ada juga yang mengatakan, bahwa masih ada nabi lagi sesudah Rasulullah Muhammad saw., terus ada yang menyebut bahwa Al-Qur’an itu bisa ditafsirkan secara bebas sesuai dengan akal manusia. Waduh, padahal akal manusia itu kan sesuatu yang sifatnya serbaterbatas, ya?!

Akidah yang Kokoh Bikin Ibadah Jadi Ikhlas
Aqidah yang kokoh menjadikan ibadah kita ikhlas, yakni semata karena Allah. Tidak dibarengi dengan niatan-niatan lain, misalnya agar kita terpilih jadi ketua OSIS, atau biar cowok atau cewek yang paling keren di sekolah kita suka dengan kita. Yap, sebab kita ini, para manusia, diciptakan semata-mata untuk menyembah Allah dengan ikhlas, sebagaimana firman-Nya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Bagi seorang remaja, yang mayoritas masih sangat labil dalam soal emosi, kekuatan akidah akan membuat kita mantap menempuh jalan yang lurus menuju ridha Allah SWT. Kamu tentu ingat, bagaimana seorang Yusuf berani menolak ajakan zina dari seorang istri pembesar yang cantik jelita. Atau Mush’ab bin Umair yang meninggalkan kehidupan serba mewah dan dimanjakan, demi menjemput hidayah dari Allah SWT.

Sumber-Sumber Akidah yang Benar
Akidah yang benar, kudu diambil dari sumber yang benar, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah dan juga akal (rasio). Al-Quran merupakan dustuur, yakni petunjuk, pedoman, bagi setiap muslim agar mendapatkan keselamatan di dunia maupun di akhirat. Al-Quran juga merupakan sumber hukum yang pertama dan paling utama bagi ummat Islam. Sedangkan sunnah atau juga sering disebut sebagai Al-Hadits adalah sumber hukum yang kedua. Allah berfirman, “…dan agar dia mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah…” (QS. Al-Jumu’ah: 2). Yang dimaksud dengan hikmah adalah As-Sunnah. Namun, kita tidak boleh menggunakan hadist yang dha’if (lemah) dalam masalah akidah.
Adapun penggunaan rasio, menurut Syaikh Al-Buraikan diperbolehkan karena syariat islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Kita tahu bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran semacam tadabbur, tafakkur, ta’qul dan sebagainya. Maka akhiran-akhiran ayat yang berbunyi, ‘la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berpikir)’, ‘afalaa ta’qiluun (apakah kamu tidak berakal)’ atau ‘afalaa yatadabbaruunal Qur-ana (apakah mereka tidak mentadaburi isi Al-Qur'an). Namun, penggunaan akal itu nggak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya, Al-Qur’an dan As-Sunnah harus kudu didahulukan daripada rasio kita. Wallahu a’lam.

4 komentar untuk "Makna Aqidah"

Comment Author Avatar
Maaf kalau bahasanya agak meremaja yach?! Pada awalnya artikel ini memang ditujukan untuk kaum remaja. Meskipun sudah diedit secukupnya, tetapi ternyata kesan remajanya belum hilang juga. Ya, kalau bapak/ibu yang sudah dewasa membaca, pura2 jadi anak muda lagi deh ^^
Comment Author Avatar
JUstru karena merejama itu kita jadi terasa 'muda'... lanjutkan, Mbak!

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!