Siti Ogah Demo May Day
Tak seperti biasa, Siti, buruh Pabrik Sepatu itu tak terlalu antusias meski penanggalan di rumahnya jelas-jelas menunjuk angka 1. Tepatnya 1 mei. Setahun silam, persis di tanggal yang sama, Siti bolos kerja, terjun ke jalan bersama teman-teman buruh, berdemonstrasi menuntut kesejahteraan buruh.
Ya, memang sih, demo mereka dibilang cukup berhasil, UMR naik, meski tak setinggi harapan mereka. Demo yang cukup memakan korban, karena Siti harus rela dipotong gaji gara-gara kebijakan pabrik yang superketat. Potongan yang sudah besar, akan ditambah besar jika terbukti bolosnya pas May Day.
Tapi, hari ini,
Siti benar-benar malas untuk pergi.
“Tumben nggak
demo?” goda Wanti, yang cengar-cengir melihat gadis itu pagi-pagi sudah berada
di pabrik. “Ini satu Mei, lho, Sit.”
Tak menjawab,
Siti hanya melengos.
“Lho, kok malah
cemberut?”
Melihat Siti tak
merespon, Wanti pun angkat bahu. Karena jam masuk pabrik masih lima menit lagi,
sembari menunggu bel berbunyi, baik Siti maupun Wanti, memilih cara
sendiri-sendiri. Siti duduk mencakung di atas bangku, sementara Wanti meraih
mainan barunya. Sebuah gadget, buatan China, tapi tampangnya mulus. Ada
earphone-nya pula. Wanti sesaat jogad-joged mengikuti musik yang disetel di
gadget itu.
“Wah, keren,
HP-mu, Wan!” Gandari datang, dan langsung mendekati Wanti. “Bukannya HP-mu yang
kemarin masih bagus?”
“Iya, masih
kupakai juga. Tapi, HP kemarin nggak bisa buat nyetel musik. Nggak bisa buat
fesbukan. Jadi, aku beli lagi.”
“Apa mereknya?”
tanya Gandari lagi, sambil mengamati HP di tangan Wanti yang sengaja memamerkan
HP barunya itu.
“Blekberry.”
“Blackberry,
kali?”
“Itu yang
beneran. Ini merk palsu. Tak apa, yang penting keren, mirip blackberry,” ujar
Wanti sambil tertawa riang. “Kalau BB beneran, ya nggak mungkin aku bisa beli.”
“Berapa
harganya? Aku mau beli, ah!” ujar Gandari.
“Cuma enam ratus
ribu, kredit tiga kali beli di konternya Mas Slamet.”
Enam ratus ribu?
Siti melotot. Cicil tiga kali? Berarti, sebulan Wanti harus mengeluarkan dua
ratus ribu. Terus, pulsanya? Berapa? Padahal, gaji mereka, sebulan hanya 800
ribu. Wanti yang terus mengeluh kekurangan duit, yang setiap tanggal lima belas
sudah mulai cari-cari hutangan, dengan ringan berbicara bahwa dia mengeluarkan
duit dua ratus ribu per bulan untuk nyicil HP. Sesuatu yang sebenarnya tak dia
butuhkan. Huh!
Capek mendengar
kedua kawannya terus berkicau, Siti diam-diam menyingkir. Saat itu, sebuah
motor mendekat, dan merapat ke tempat parkir. Sumini turun dengan gaya dari
motor itu.
“Lihat, motor
baruku bagus, kan, Sit?”
“Ini motor
Sampeyan, Sum?” Siti melongo.
“Ya, bagaimana
lagi, naik angkot juga mahal. Akhirnya, aku memutuskan nyicil motor, Sit.
Sebulan lima ratus ribu. DP sejuta. Tabunganku ludes buat DP motor.”
“Lima ratus
ribu, Sum? Lha, gajimu berapa?”
“Ya, sama
denganmu, lah. Tapi, kebutuhan akan motor besar, Sum. Terpaksa, empat tahun
kami mengetatkan ikat pinggang. Tapi bapakku setuju.”
“Sum, rumahmu
kan, hanya sekiloan dari sini. Kalau angkot mahal, kamu bisa jalan kaki,” ujar
Siti. “Atau, mending beli sepeda ontel kayak aku. Kan murah tuh, nggak pake
bensin pula.”
“Oalaaah, Sit,
kamu tuh pinter tapi ndesit. Hari gini ngontel? Apa kata dunia?” Sumini berlalu
sambil cekikikan. Meninggalkan Siti yang masih geleng-geleng kepala.
“Kenapa, Sit?”
tanya Joko, yang tiba-tiba muncul. “Kok muram.”
“Nggak
kenapa-kenapa, Mas,” ujar Siti, sambil memijit-mijit kepala yang terasa pening.
“Kok tumben, 1
mei nggak demo?” Joko meraih sesuatu dari saku bajunya. Sebungkus rokok dan
korek api. Dia ambil satu batang, dan disulutnya.
“Nggak mas.”
“Kenapa? Para
buruh seperti kami nih, banyak berharap terhadap aktivis buruh macam kamu.
Sebenarnya, aku juga pengin demo. Tapi, tahu sendirilah, aku sudah berkeluarga.
Anak tiga. Kalau dipotong gaji, ya repot.” Joko menyedot rokoknya.
“Mas Joko sehari
habis berapa bungkus rokok?”
“Ya, paling
sebungkus. Kalau sedang stress, ya bisa dua bungkus.”
Hm, pantas dia
terus mengeluh duit gaji yang tak pernah cukup. Sehari sebungkus rokok,
harganya sepuluh ribu. Kali tigapuluh?
“Sit, ntar
gajian, ya? Aku mau pinjam uang, ya?” Yu Surti yang datang tergopoh-gopoh,
mendekati Siti dan berbisik tepat di telinganya. “Anakku, Nono, minta dibelikan
tivi sendiri. Daripada harus berkelahi melawan bapaknya yang suka beda selera dengannya,
kayaknya beli tivi baru jadi pemecahan terbagus. Ada tivi tetangga dijual,
seken, harganya cuma limaratus ribu. Aku pinjem uangmu, ya, Sit … ya? Ya?”
Pening di kepala
Siti kian berdenging.
“Kok diam? O,
ya, kenapa nggak ikutan demo di balaikota, Sit? Kalau yang demo sedikit, nanti
UMR nggak naik, lho.”
“Malas!” ketus
Siti, sambil berlalu.
“Kenapa malas?”
“Kalian, digaji
sepuluh juta pun akan kurang jika gaya hidup kalian terus seperti itu. Kita
tuh, orang miskin. Tetapi, pola hidup yang serbaboros, akan membuat kita kian
kelenger. Dengar, aku nggak mau demo kalau hanya untuk bikin kalian kian manja.
Kalau kalian pengin gaji kalian naik, ya demo aja sana sendiri!”
Bel pabrik
berbunyi. Pintu gerbang terbuka. Siti masuk dengan gundah gulana.
*Keterangan: terinspirasi dari
Twit #MayDay Ligwina Hananto, Terimakasih, Mbak Wina :)
** Artikel terkait May Day, silakan baca DI SINI
13 komentar untuk "Siti Ogah Demo May Day"
Tapi, lepas dari itu, gaji buruh di negeri kita rata2 memang masih memprihatinkan
Bnd, idenya cemerlang.. Terima kasih udah dijinkan ngintips [ups]
akhirnya nemu mbak afifah juga :D saya nge-fans sejak dulu loh mbak, ama mas elang #eh hehehe :P
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!